Natal: Antara Iman, Tradisi, dan Perselisihan—Mengapa Umat Kristen Tak Sepakat Merayakannya?

Share:

Bagi sebagian orang, Natal adalah puncak perayaan iman: kelahiran Sang Mesias yang menjadi daging, perwujudan kasih Allah yang tak terpahami. Namun bagi yang lain, Natal hanyalah tradisi manusia tanpa dasar Alkitabiah—bahkan berisiko mengaburkan kemurnian ibadah yang sejati.

Perdebatan ini bukan sekadar soal tanggal atau pohon cemara. Ia menembus akar teologis paling dalam: Apa yang sah dalam ibadah? Apakah cukup “tidak dilarang” oleh Alkitab, atau harus “secara eksplisit diperintahkan”? Pertanyaan ini telah memecah persekutuan, memicu larangan di parlemen Puritan abad ke-17, dan masih menghantui diskusi jemaat masa kini.

Artikel ini menelusuri tiga dimensi utama yang membentuk kontroversi Natal:

  1. Dasar teologisnya—apakah Natal memiliki landasan dalam Firman Tuhan atau hanyalah warisan budaya?
  2. Sejarah kelahirannya—bagaimana tanggal 25 Desember muncul, dan apakah ia benar-benar “warisan pagan”?
  3. Keragaman pandangan denominasi—dari Gereja Ortodoks yang memperlakukannya sebagai sakramen, hingga gereja Reformed yang menolaknya demi kesetiaan pada prinsip Alkitabiah.

Dengan memadukan analisis Alkitab, sejarah gereja, dan realitas kontemporer, tulisan ini tidak hanya menjawab apakah seorang Kristen “wajib” merayakan Natal, tetapi juga mengajak pembaca merenungkan apa artinya beribadah dengan integritas di tengah tradisi yang begitu kuat—namun tak selalu jelas dasarnya.

Dasar Teologis Natal: Antara Ketiadaan Komando dan Kebebasan Konsekuensi

Pertanyaan fundamental mengenai status Natal bagi seorang Kristen—apakah ia sebuah kewajiban atau sebuah pilihan—terletak pada interpretasi Alkitabiah yang sangat berbeda mengenai otoritas Firman Allah dalam persekutuan umat-Nya. Analisis mendalam terhadap sumber-sumber teologis Kristen menunjukkan adanya dua kerangka hermeneutik utama yang saling bertentangan, yang secara langsung menentukan pandangan denominasi terhadap perayaan Natal. Kerangka pertama adalah Prinsip Regulatif Ibadah (Regulative Principle of Worship), yang menuntut bahwa setiap elemen dalam ibadah harus memiliki justifikasi eksplisit dalam Alkitab. Kerangka kedua adalah Prinsip Normatif Ibadah (Normative Principle of Worship), yang memperbolehkan segala praktik yang tidak secara tegas dilarang dalam Alkitab, selama hal tersebut tidak mengganggu urutan gereja atau misinya. Kedua prinsip ini menciptakan dua narasi teologis yang berbeda mengenai Natal: sebagai tradisi manusia yang tak terhindarkan atau sebagai ekspresi iman yang sah.

Titik awal dari argumen yang menolak kewajiban Natal adalah ketiadaan perintah, contoh, atau implikasi apa pun dalam Alkitab mengenai para murid untuk merayakan kelahiran Yesus. Berbeda dengan Perjamuan Kudus, yang secara rinci diinstruksikan oleh Yesus sendiri kepada murid-murid-Nya (“Apa yang kamu lakukan ini untuk mengenangkan Aku”), tidak ada ayat yang menyatakan, “lakukanlah ini untuk mengenang hari kelahiranku.” Ini merupakan posisi yang sangat kuat bagi mereka yang berpegang teguh pada Prinsip Regulatif. Menurut pandangan ini, Natal adalah sebuah inisiatif manusia yang sepenuhnya bersifat tradisional dan tidak memiliki dasar biblis. Argumentasi ini diperkuat oleh tradisi gereja awal, yang selama tiga abad pertamanya sama sekali tidak merayakan ulang tahun, bahkan para bapa gereja besar seperti Origen dari Alexandria secara tegas mengutuk praktik perayaan ulang tahun sebagai hal yang asing bagi ajaran Kristen. Origen bahkan menyatakan bahwa tidak ada seorang kudus pun yang ditemukan merayakan hari kelahirannya, dan ia menganggap gagasan perayaan ulang tahun sebagai “sinful“. Demikian pula, Tertullian, seorang bapa gereja dari Abad ke-2, memperingatkan jemaatnya agar tidak terjerumus ke dalam praktik pagan, termasuk perayaan ulang tahun, yang hanya dikenal dari tokoh-tokoh seperti Firaun dan Herodes dalam Alkitab. Oleh karena itu, dari perspektif ini, Natal bukan hanya tidak diwajibkan, tetapi juga secara teologis berbahaya karena kemungkinan terjadinya sincretisme dengan budaya pagan.

Di sisi lain, banyak tradisi Kristen, termasuk Katolik, Ortodoks, dan sebagian besar Protestan, menolak Prinsip Regulatif dalam bentuknya yang paling ekstrem dan menganut pandangan yang didasarkan pada kebebasan konsekuensi (liberty of conscience). Pendekatan ini sering kali merujuk pada surat Paulus kepada orang-orang Roma, khususnya Roma 14:4-6a, yang menjadi fondasi teologis utama untuk praktik-peraktik yang tidak secara eksplisit dikomando dalam Alkitab. Ayat ini menyatakan: “Saudara-saudara, terimalah orang yang lemah imannya, tetapi janganlah kamu bertengkar tentang pendapat-pendapatnya. Yang satu memandang satu hari lebih kudus daripada hari lain; yang lain memandang semuanya sama. Hai yang memandang satu hari lebih kudus, ia memandangnya untuk Tuhan. Dan hai yang memakan semuanya, ia memakannya untuk Tuhan, karena ia mengucap syukur kepada Allah; dan hai yang tidak mau makan, ia tidak makan untuk Tuhan, dan ia mengucap syukur kepada Allah”. Surat Roma ini secara eksplisit membahas “masalah sekunder” (adiaphora), yaitu masalah-masalah yang tidak diatur secara spesifik dalam Firman Allah, di mana para percaya mungkin memiliki keyakinan yang berbeda. Dalam konteks Natal, ini berarti bahwa seseorang boleh memandang Natal sebagai hari yang istimewa untuk disembahyangkan, sementara yang lain boleh memandangnya sama dengan hari-hari lainnya. Namun, baik yang satu maupun yang lain harus melakukan apa yang mereka yakini benar “untuk Tuhan” dan tidak boleh saling menghakimi satu sama lain. Roman 14 menegaskan bahwa setiap orang akan memberikan pertanggungjawaban kepada Tuhan sendiri dan kita tidak boleh menjadi hakim atas hati nurani orang lain.

Konsep ini diperluas lebih lanjut ke dalam pemahaman tentang “konsekuensi yang lemah” dan “konsekuensi yang kuat”. Paulus menjelaskan bahwa ada orang yang lemah imannya yang menganggap makanan tertentu atau menghormati hari-hari tertentu sebagai dosa, sementara orang yang kuat imannya memahami bahwa semua ciptaan Tuhan baik dan tidak ada yang harus dianggap najis jika diterima dengan syukur. Dalam analisis Natal, orang yang menolak perayaan Natal karena keyakinan konsekuensinya (misalnya, karena alasan sejarah pagan atau karena alasan regulatif) dapat dipandang sebagai “lebih lemah”, sementara orang yang merayakannya sebagai bentuk penyembahan dan ekspresi kasih kepada Inkarnasi dapat dipandang sebagai “lebih kuat”. Namun, Paulus menekankan bahwa tujuan akhirnya adalah kesatuan dan persaudaraan, bukan penekanan pada perbedaan dogmatis. Oleh karena itu, Natal dipandang sebagai salah satu bentuk ekspresi iman yang sah, bukan sebagai kewajiban yang harus dipaksakan. Ini adalah landasan bagi gereja-gereja untuk mengizinkan perayaan Natal dalam persekutuan umum tanpa memaksa mereka yang memiliki keraguan konsekuensi untuk ikut serta.

Selain Roma 14, beberapa tradisi Kristen juga merujuk pada pasal-pasal lain dalam Perjanjian Baru untuk membenarkan praktik ibadah yang tidak secara langsung diwajibkan. Misalnya, Wahyu 22:18-19, yang berbunyi, “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan nubuat-nubuat kitab ini: jika seorang menambah sesuatu padanya, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertera dalam kitab ini; dan jika seorang mengurangi sesuatu dari perkataan-kitab nubuat yang sesungguhnya, maka ia akan mengurangi bagian nya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus yang tertera dalam kitab ini,” sering kali digunakan sebagai argumen anti-tradisi. Namun, argumen ini sering kali disalahpahami. Para ahli teologi menekankan bahwa larangan ini secara eksklusif berlaku untuk Kitab Wahyu itu sendiri dan tidak dapat digeneralisasi menjadi larangan terhadap semua tradisi manusia dalam gereja. Justru sebaliknya, surat-surat Paulus seperti 1 Korintus 10:30-31, yang menyatakan, “kalau aku makan dengan bersyukur, mengapa aku akan diejek karena makanan yang kuterima dengan bersyukur? Maka baik makananmu maupun minumanmu, lakukanlah semuanya untuk kemuliaan Allah,” memberikan justifikasi teologis yang lebih kuat untuk aktivitas yang tidak secara spesifik diatur, selama dilakukan untuk kemuliaan Tuhan.

Dengan demikian, dasar teologis Natal berpusat pada perdebatan fundamental mengenai batas-batas otoritas Alkitab. Apakah Alkitab hanya mengizinkan apa yang diperintahkannya, atau apakah Alkitab memberikan kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang baik dan benar yang tidak dilarang-Nya? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan apakah Natal dilihat sebagai kewajiban, tradisi, atau ekspresi iman. Bagi mereka yang berpegang pada Prinsip Regulatif, Natal adalah aturan manusia yang ilegal dalam persekutuan umat Allah. Bagi mereka yang berpegang pada Prinsip Normatif dan Roma 14, Natal adalah “hari yang dimandang kudus untuk Tuhan,” sebuah bentuk penyembahan yang sah dan legimit bagi mereka yang percaya.

Dokumen TeologisPosisi Utama Mengenai NatalJustifikasi Utama
Surat Roma 14:4-6aNatal adalah masalah
konsekuensi
(adiaphoron).
Seseorang bebas me-
mandang hari Natal
lebih kudus, sementara
yang lain tidak, selama
dilakukan “untuk
Tuhan”. Larangan meng-
hakimi satu sama lain.
Westminster Directory for Public Worship
(1645)
Natal adalah festival
manusia yang tidak
memiliki dasar Alkitabiah.
Festival hari kudus, yang lazim disebut hari raya,
tidak memiliki dasar
dalam Firman Allah dan
tidak boleh dilanjutkan.
1689 Baptist
Confession of Faith
(Ch. 22)
Natal adalah tradisi
manusia yang tidak
boleh dipaksakan dalam
persekutuan umum.
Memaksa jemaat untuk merayakan Natal adalah “mengikat hati nurani”
dengan aturan manusia,
yang melanggar
kebebasan kristiani.
Second Helvetic
Confession (1566)
Natal adalah praktik
yang sah untuk
mengenang Inkarnasi.
Mengenang Inkarnasi,
Kelahiran, Salib, dan
Kebangkitan Yesus
adalah bentuk pe-
nyembahan yang
“sangat diapresiasi”
oleh gereja.

Analisis pada tabel di atas menunjukkan betapa beragamnya pandangan teologis ini. Di satu ujung spektrum, dokumen seperti Westminster Directory secara tegas melarang Natal dalam ibadah resmi, berdasarkan Prinsip Regulatif. Di ujung lain, dokumen seperti Second Helvetic Confession secara eksplisit menyetujui dan bahkan “menyanjung tinggi” praktik perayaan Natal sebagai bentuk edifikasi spiritual. Di tengahnya, dokumen seperti 1689 Baptist Confession mengambil posisi moderat, membebaskan individu untuk merayakannya di rumah sambil melarangnya dalam persekutuan umum demi menjaga kebebasan konsekuensi. Ini mengilustrasikan bahwa tidak ada satu jawaban teologis tunggal, melainkan spektrum panjang pandangan yang dibentuk oleh tradisi, hermeneutik, dan prioritas teologis yang berbeda.

Asal Usul Sejarah dan Penetapan Tanggal Natal: Dari Kalkulasi Teologis hingga Kontroversi Paganisme

Meskipun Alkitab tidak memberikan mandat untuk merayakan Natal, tradisi ini telah menjadi inti dari identitas Kristen selama lebih dari seribu enam ratus tahun. Asal-usul dan penyebarannya menunjukkan proses yang kompleks yang melibatkan perhitungan teologis internal, konteks budaya Romawi, dan reaksi terhadap praktik pagan. Memahami sejarah ini sangat penting untuk menilai validitas dan legitimasi perayaan Natal. Terdapat dua teori utama yang secara historis diusulkan untuk menjelaskan mengapa Natal dirayakan pada tanggal 25 Desember, dan kedua teori ini sering kali dipandang sebagai saling eksklusif, meskipun analisis yang lebih cermat menunjukkan kemungkinan adanya interaksi di antara keduanya.

Teori pertama, yang sering disebut sebagai Teori Kalkulasi atau Teori Astronomis (The Calculation Hypothesis), berpendapat bahwa tanggal 25 Desember dipilih berdasarkan alasan teologis internal Kristen yang independen dari festival pagan. Inti dari teori ini adalah konsep yang dikenal sebagai “Umur Integral” (Integral Age), sebuah keyakinan yang berkembang di kalangan bapa-bapa gereja awal bahwa para nabi besar meninggal pada hari yang sama dengan hari mereka dikonsepsi. Hipotesis ini memungkinkan para teolog untuk “menghitung” kembali dari hari kematian Yesus untuk menemukan tanggal kelahirannya. Dalam tradisi gereja Barat, Hari Paskah (dan oleh karena itu, kematian Yesus) dihitung berdasarkan konsensus yang berkembang bahwa Yesus mati pada hari Jumat, 25 Maret, yang merupakan hari Paschal. Berdasarkan keyakinan ini, jika Yesus dikonsepsikan pada 25 Maret, maka kelahirannya harus datang sembilan bulan kemudian, yaitu pada 25 Desember. Teori ini pertama kali direkam oleh Clement dari Alexandria pada akhir abad ke-2, yang mencatat bahwa ada berbagai usaha untuk menentukan tanggal lahir Yesus, termasuk November 18, April 19, dan Mei 20. Namun, Hipolitus dari Roma adalah salah satu yang tertua yang secara eksplisit mengaitkan kelahiran Yesus dengan tanggal 25 Desember. Dalam komentarnya tentang Daniel (c. 235 M), Hipolitus menyatakan bahwa Yesus lahir pada tanggal 25 Desember, yang ia sebut “delapan hari sebelum kalender Januari”. Meskipun ia menggunakan Kalender Julian, ini merupakan bukti tertulis tertua yang menetapkan tanggal tersebut secara spesifik. Teori kalkulasi ini juga didukung oleh narasi Lukas, di mana Juni 24 (hari lahir Yohanes Pembaptis) dan Maret 25 (hari konsepsi Yesus) dihitung berdasarkan servis Imam Zakharia selama Hari Pendamaian (Yom Kippur). Dengan menghubungkan konsepsi Yesus pada 25 Maret, tanggal 25 Desember menjadi hasil yang logis secara teologis dan kronologis.

Teori kedua, yang sering disebut sebagai Teori Sejarah Agama (History of Religions Hypothesis), mengusulkan bahwa Gereja secara strategis memilih tanggal 25 Desember untuk merebut dan merekayasa ulang festival musim dingin pagan yang sudah mapan di dunia Romawi. Festival-festival ini termasuk Saturnalia, sebuah liburan Romawi yang berlangsung dari 17 hingga 23 Desember yang ditandai dengan kegembiraan, pesta, hadiah, dan pelonggaran norma sosial. Selain itu, pada tahun 274 M, Kaisar Aurelius secara resmi merayakan Dies Natalis Solis Invicti, “Hari Lahir Sang Matahari Tak Terkalahkan,” pada tanggal 25 Desember, yang bertepatan dengan solstis musim dingin. Menurut teori ini, Gereja melihat potensi propaganda dari tanggal yang sama dan secara sadar memilihnya untuk “memenangkan” populasi Romawi dengan menawarkan perayaan Natal yang lebih mulia dan fokus pada Yesus sebagai “Surya Kebenaran” atau “Terang Dunia”. Argumen ini didukung oleh fakta bahwa perayaan Natal pertama kali muncul dan diadopsi secara luas di lingkungan Roma. Kronografi Filokalus (Chronograph of 354), sebuah almanak Romawi yang ditulis pada tahun 336 M, adalah sumber tertulis pertama yang secara eksplisit menyebutkan perayaan Natal pada tanggal 25 Desember. Ini menunjukkan bahwa perayaan ini telah menjadi standar di Roma pada saat itu. Gereja-gereja lain kemudian mengadopsi tradisi ini, sehingga menjadi universal.

Namun, klaim “pemakaian kembali” (appropriation) ini dibantah oleh banyak ahli teologi dan sejarawan Kristen. Mereka berargumen bahwa Gereja pada abad ke-4 sedang secara aktif mendefinisikan dirinya melawan budaya pagan, bukan menyerapnya secara pasif. Daripada sekadar mengganti nama festival pagan, Gereja menciptakan sebuah observasi baru yang sepenuhnya fokus pada Inkarnasi sebagai pusat iman Kristen. Ini adalah upaya untuk meniadakan makna pagan dari festival tersebut dan mengisinya dengan makna teologis Kristen yang baru. Lagi pula, perayaan Natal tidak muncul sampai abad ke-4, jauh setelah festival pagan telah berjalan selama berabad-abad. Ini mengindikasikan bahwa ini adalah inisiatif Kristen yang sadar, bukan sekadar evolusi organik dari praktik pagan. Selain itu, beberapa elemen yang sering dikaitkan dengan Natal, seperti pohon Natal, bahkan memiliki asal-usul yang lebih baru dan terpisah dari festival pagan.

Tabel berikut membandingkan Festival Pagan Musim Dingin dengan Perayaan Natal Kristen untuk menyoroti perbedaan filosofi di baliknya.

AspekFestival Pagan Musim Dingin (e.g., Saturnalia,
Sol Invictus)
Perayaan Natal Kristen
Fokus UtamaPertanian, masa subur,
ritual untuk menjamin
kelangsungan hidup di
masa depan.
Sejarah, inkarnasi,
anugerah Allah yang
diberikan pada masa
lampau.
TujuanMenghormati dewa
(Saturnus, Mithras) atau
matahari, memastikan
musim semi yang subur.
Menyembah Allah yang
hadir dalam manusia
(Yesus Kristus), bukan
dewa atau matahari.
PendekatanBerorientasi pada masa depan, pemujaan, dan
upacara.
Berorientasi pada masa
lalu, pemahaman, dan
penyembahan.
Tema SentralKekuatan alam, siklus
waktu, keabadian alam
semesta.
Anugerah ilahi,
keselamatan, dan
hubungan personal
dengan Tuhan.
PraktikRitual pemujaan, per-
tukaran hadiah sebagai
simbol pertumbuhan,
pesta pora.
Bacaan Alkitab, nyanyian psalm, doa, dan
perayaan sakramental.

Evolution dari festival Epifani (Epiphany) juga merupakan bagian penting dari cerita Natal. Awalnya, Epifani dirayakan pada tanggal 6 Januari oleh Gereja-Gereja Oriental dan beberapa Gereja Barat untuk merayakan seluruh peristiwa inkarnasi, termasuk kelahiran, pembaptisan, dan pernikahan di Kana. Gereja Gnostik Basilides bahkan merayakan Epifani pada tanggal 6 Januari pada abad ke-2 untuk menandai “penampakan” Kristus pada baptis-Nya. Gereja Ortodoks kemudian merebut kembali festival ini untuk menekankan bahwa inkarnasi terjadi pada saat kelahiran, bukan pada saat baptis. Hanya pada abad ke-4, Gereja Roma secara definitif memisahkan Natal (25 Desember) dari Epifani (6 Januari) dan menempatkannya sebagai acara utama, sementara Epifani di Gereja Barat kemudian berfokus pada kunjungan Magi. Pengalihan ini menunjukkan bagaimana tradisi liturgi berevolusi untuk menekankan aspek-aspek tertentu dari iman Kristen.

Secara historis, ada beberapa klaim yang sering dibuat mengenai Natal yang kurang didukung oleh data. Salah satunya adalah klaim bahwa Natal tidak mungkin terjadi pada bulan Desember karena desas-desus tentang peternak domba yang menjaga kawalan di lapangan malam hari. Klaim ini didasarkan pada Lukas 2:8, yang menyebutkan bahwa para gembala “sedang berjaga-jaga di padang di malam hari dan menjaga kawalan ternak mereka”. Namun, para sarjana menyarankan agar kita tidak mengambil detail ini terlalu serius. Peternakan domba di daerah Palestina tidak selalu terjadi di musim dingin, dan fakta bahwa gembala-gembala ini ada di tempat yang sama di pagi hari untuk melihat bayi Yesus menunjukkan bahwa mereka mungkin tidak tinggal di padang selama semalaman. Lebih penting lagi, argumen ini mengabaikan kenyataan bahwa banyak budaya lain di Timur Dekat kuno memiliki praktik perjalanan musiman, yang mungkin membuat gembala-gembala hadir di wilayah tersebut pada musim dingin. Jadi, klaim bahwa Natal tidak bisa terjadi pada bulan Desember karena kondisi cuaca adalah sebuah argumen yang lemah dan sering kali digunakan sebagai alasan anti-Natal yang bersifat retoris. Demikian pula, klaim bahwa sebuah sensus Romawi tidak akan pernah diadakan pada musim dingin karena jalan yang licin adalah spekulasi. Sensus Romawi memang diadakan di musim dingin, dan sistem transportasi Romawi yang canggih memungkinkan perjalanan bahkan dalam kondisi cuaca yang sulit. Oleh karena itu, argumen-argumen ini, meskipun populer, tidak kuat secara historis.

Sebagai kesimpulan, asal-usul Natal adalah hasil dari kombinasi dari dua arus teologis dan budaya yang saling mempengaruhi. Teori kalkulasi menjelaskan mengapa para teolog Kristen pertama kali mungkin menemukan tanggal 25 Desember sebagai tanggal yang signifikan secara teologis. Teori sejarah agama menjelaskan bagaimana tanggal ini kemudian diadopsi secara luas di lingkungan Romawi sebagai strategi untuk merebut festival musim dingin yang sudah mapan. Perayaan Natal bukanlah produk sincretisme yang pasif, melainkan sebuah inisiatif Kristen yang sadar untuk mengisi kembali festival musim dingin dengan makna teologis Inkarnasi yang baru. Ini adalah upaya untuk mengubah budaya, bukan hanya menyerapnya.

Spektrum Pandangan Denominasi: Dari Instrumen Liturgi hingga Tradisi Manusia yang Ditolak

Pandangan denominasi Kristen terhadap Natal secara langsung tercermin dari cara mereka menerapkan prinsip-prinsip teologis fundamental yang berbeda. Spektrum ini bergerak dari pandangan yang menganggap Natal sebagai bagian integral dari liturgi gereja dan instrumen penyembahan yang esensial, hingga pandangan yang melihat Natal sebagai tradisi manusia yang sama sekali tidak diwajibkan dan bahkan berbahaya, yang harus dihindari atau bahkan dilarang dalam persekutuan umat Allah. Spektrum ini secara efektif mencerminkan perpecahan utama dalam tradisi Kristen modern: perbedaan antara gereja yang menekankan tradisi, sakramen, dan hierarki (Katolik dan Ortodoks) versus gereja yang menekankan kembali kepada Alkitab, kebebasan individu, dan anti-tradisi (Reformasi).

Di satu ujung spektrum adalah Gereja Katolik Latin dan Gereja Ortodoks Timur. Bagi kedua tradisi ini, Natal bukanlah sekadar hari libur budaya atau pilihan pribadi, melainkan sebuah sakramentalitas yang menghidupkan kembali doktrin sentral tentang Inkarnasi. Natal adalah titik puncak dari masa persiapan spiritual Advent dan menjadi momen liturgi yang panjang dan kaya. Di Gereja Ortodoks, misalnya, periode perayaan Natal meluas selama berhari-hari, bahkan minggu, hingga 40 hari, dengan Natal dimulai pada tanggal 25 Desember (menurut Kalender Julian) dan berlanjut hingga Pertobahan Yesus pada 6 Januari. Theologi Natal Ortodoks sangat mendalam, di mana payung lahirnya Yesus digambarkan dalam iconografi sebagai peti mati, yang secara simultan menegaskan kegembiraan Inkarnasi dan kesedihan akan salib. Natal adalah momen di mana realitas transendensi dan imanensi bertemu, di mana “waktu yang kekal bertemu dengan waktu yang alami”. Perayaan ini adalah sarana untuk mengalami anugerah inkarnasi secara langsung, bukan sekadar merenungkannya secara intelektual. Gereja-gereja ini berpegang pada tradisi apostolik yang tidak tertulis, di mana perayaan Natal telah menjadi bagian dari praktik ibadah selama ribuan tahun, dan mereka memandangnya sebagai warisan iman yang sah yang meneruskan pewartaan Injil.

Di ujung spektrum yang berlawanan berada tradisi Protestan Reformasi, khususnya Reformed, Presbyterian, dan Puritan. Tradisi ini didominasi oleh Prinsip Regulatif Ibadah, yang secara tegas menyatakan bahwa hanya praktik-praktik yang secara eksplisit diperintahkan dalam Alkitab yang dapat dilakukan dalam persekutuan umat Allah. Berdasarkan argumen bahwa Natal tidak memiliki dasar Alkitabiah, gereja-gereja ini secara historis menolak perayaan Natal dalam ibadah resmi. Dokumen-dokumen teologis reformasi merekam penolakan ini secara jelas. Synod of Dort, misalnya, pada awalnya secara eksplisit melarang perayaan Natal. Kemudian, meskipun ada evolusi, dokumen seperti Westminster Directory for Public Worship (1645) secara tegas menyatakan: “Festival days, vulgarly called holy-days, having no warrant in the word of God, are not to be continued”. Kata-kata ini secara definitif mengkategorikan Natal sebagai festival manusia yang tidak memiliki dasar dalam Firman Allah.

Penolakan ini tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga sangat berakar dalam konteks politik dan sosial abad ke-17. Selama Revolusi Inggris, Parlemen Puritan yang dipimpin oleh Oliver Cromwell secara resmi melarang perayaan Natal pada tahun 1647. Undang-undang ini memerintahkan toko-toko dan pasar untuk tetap buka pada tanggal 25 Desember, dan secara efektif menghapus status legal dari Natal sebagai hari libur. Larangan ini juga menargetkan praktik-praktik yang dianggap koruptif, seperti mabuk-mabukan, perjudian, dan pesta pora yang sering kali melekat pada perayaan Natal saat itu. Parlemen bahkan memerintahkan juru kunci untuk secara tahunan mengingatkan warga negara bahwa tanggal 25 Desember tidak boleh dirayakan di gereja atau tempat lain, dan mengubah nama hari tersebut menjadi “Christ-tide” untuk membersihkannya dari kaitan dengan “mass” (mis). Larangan ini berlangsung hingga Restorasi Monarki pada tahun 1660. Di Skotlandia, John Knox secara eksplisit melarang perayaan Natal dalam First Book of Discipline (1560), dan Kirk Skotlandia (Gereja Bangsa) mempertahankan larangan ini, bahkan menentang upaya Raja James I untuk menghidupkannya kembali pada tahun 1618. Penolakan ini didasarkan pada keyakinan bahwa Natal adalah “tradisi manusia” yang tidak memiliki dasar dalam Alkitab dan terkait dengan praktik “Popish” (Katholik).

Tradisi Baptis Reformed dan beberapa gerakan Restorasi modern menerapkan Prinsip Regulatif dengan cara yang paling ketat dan konsisten. Bagi mereka, Natal bukan hanya tidak diwajibkan, tetapi juga tidak boleh dipaksakan kepada jemaat melalui ibadah formal. Mereka membuat distingsi yang tajam antara “kebebasan konsekuensi” (seseorang bebas merayakan Natal di rumah dengan keluarga mereka) dan “pembatasan konsekuensi” (gereja mempersyaratkan partisipasi dalam ibadah Natal). Menurut pandangan ini, mempersyaratkan atau mengharuskan perayaan Natal dalam persekutuan umat adalah “mengikat hati nurani” dengan aturan manusia, yang merupakan pelanggaran berat terhadap kebebasan kristiani yang dijamin dalam Perjanjian Baru. Mereka berargumen bahwa memaksa orang untuk merayakan Natal adalah menganggap tradisi manusia sama pentingnya dengan wahyu ilahi, yang dapat menjadi jalan menuju legalisme dan formalisme. Oleh karena itu, gereja-gereja seperti Protestant Reformed Churches in America, meskipun secara historis menolak perayaan Natal, akhirnya mencapai konsensus yang lebih lunak untuk memungkinkan perayaan Natal dalam ibadah publik, namun ini sering kali didasarkan pada pertimbangan misional atau edifikasi, bukan sebagai kewajiban dogmatis.

Di tengah-tengah spektrum ini, terdapat mayoritas gereja-gereja Protestan moderat, Lutheran, dan Anglican. Tradisi Lutheran, misalnya, secara historis merayakan Natal secara besar-besaran, sering kali dengan lebih dari satu jam di gereja pada malam Natal. Tradisi Anglican juga mengadopsi perayaan Natal yang kaya secara liturgi. Gereja-gereja ini, meskipun tidak sepenuhnya berpegang pada Prinsip Regulatif dalam bentuknya yang paling ketat, sering kali berpegang pada Prinsip Normatif dan Roma 14. Mereka memandang Natal sebagai bentuk ekspresi iman yang sah dan valid, sebuah cara untuk menyampaikan pesan sentral tentang Inkarnasi kepada jemaat. Mereka tidak melihatnya sebagai kewajiban yang harus dipaksakan, melainkan sebagai tradisi yang bermanfaat untuk edifikasi dan penyembahan. Beberapa gereja Protestan moderat modern bahkan mulai menunjukkan fleksibilitas pastorale baru. Sebagai contoh, beberapa gereja Lutheran di Amerika Serikat memilih untuk tidak mengadakan ibadah pagi pada Hari Natal untuk memprioritaskan waktu keluarga, dengan merekam ajaran untuk ditonton nanti. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam tradisi yang biasanya merayakan Natal, ada pergeseran untuk menyeimbangkan kewajiban ibadah dengan tanggung jawab keluarga, menunjukkan dinamika yang terus berkembang dalam praktik Natal.

Denominasi / TradisiPandangan tentang
Natal
Dasar Teologis
dan Historis
Katolik & OrtodoksBagian integral dari
liturgi dan
penyembahan.
Tradisi apostolik yang
tidak tertulis, sakra-
mentalitas, teologi
Inkarnasi yang
mendalam.
Reformed / Presbiterian / PuritanTradisi manusia yang
tidak diwajibkan, sering
kali ditolak atau dilarang.
Prinsip Regulatif Ibadah,
ketiadaan dasar Al-
kitabiah, penolakan ter-
hadap praktik “Popish”
dan pagan.
Lutheran / AnglicanEkspresi iman yang sah
dan valid, sering kali
dirayakan secara besar-
besaran.
Prinsip Normatif Ibadah,
Roma 14, tradisi liturgi
yang kaya dan berakar
kuat.
Baptis Reformed / RestorasiTradisi manusia yang
tidak boleh dipaksakan
dalam persekutuan
umum.
Prinsip Regulatif yang
diterapkan secara
konsisten, larangan
“mengikat hati nurani”
dengan aturan manusia.
Gereja Protestan ModeratOpsi pribadi yang sah,
sering kali didukung
untuk edifikasi.
Roma 14, toleransi,
kebebasan konsekuensi,
dan fleksibilitas pastoral.

Tabel di atas secara ringkas merangkum spektrum pandangan denominasi yang sangat beragam ini. Ini menunjukkan bahwa tidak ada satu jawaban tunggal untuk pertanyaan “Haruskah seorang Kristen merayakan Natal?” Jawaban tersebut sangat bergantung pada tradisi teologis, hermeneutik, dan sejarah yang diwarisi oleh setiap denominasi. Natal telah menjadi salah satu area di mana perbedaan fundamental antara tradisi Kristen termanifestasi paling jelas, mencerminkan perdebatan yang telah berlangsung selama berabad-abad mengenai sumber otoritas bagi kehidupan dan persekutuan gereja.

Natal dalam Konteks Global: Divergensi Kalender dan Adaptasi Budaya

Natal, yang sering kali dipandang sebagai perayaan universal, sebenarnya adalah fenomena yang sangat beragam secara geografis, teologis, dan kultural. Analisis mendalam terhadap praktik Natal di seluruh dunia mengungkapkan dua wawasan utama yang saling terkait: pertama, divergensi kalender yang menyebabkan perayaan Natal yang terpisah secara astronomis di berbagai belahan dunia; dan kedua, adaptasi budaya yang dramatis yang menunjukkan bagaimana Natal dapat berfungsi sebagai medium yang fleksibel untuk menyampaikan pesan Injil dalam konteks lokal yang berbeda. Fenomena-fenomena ini menantang gagasan Natal sebagai entitas tunggal dan monolitik, dan menyoroti kompleksitas praktik liturgi global.

Salah satu aspek paling mengejutkan dari Natal modern adalah perpecahan global yang disebabkan oleh perbedaan kalender. Mayoritas Gereja Ortodoks—termasuk Gereja Ortodoks Rusia, Yerusalem, Serbia, Coptik Mesir, Armenia, dan Ethiopia—tetap menggunakan Kalender Julian, yang dirancang oleh Julius Caesar pada tahun 45 SM. Kalender ini memiliki sedikit kesalahan tahunan, yang menyebabkan ia bergeser secara bertahap terhadap tahun tropis astronomis. Akibatnya, tanggal 25 Desember menurut Kalender Julian sekarang jatuh pada tanggal 7 Januari menurut Kalender Gregorian yang digunakan secara luas di dunia Barat. Oleh karena itu, Natal diadakan oleh sekitar 260 juta Kristen Ortodoks pada tanggal 7 Januari. Upaya untuk menyelaraskan kalender ini melalui Kalender Julian Direvisi, yang diusulkan oleh Milutin Milanković pada tahun 1923, tidak berhasil secara universal. Meskipun Kalender Julian Direvisi diadopsi oleh beberapa gereja Ortodoks seperti Yunani, Siprus, dan Romania, sebagian besar gereja Ortodoks menolaknya, melihatnya sebagai preseden berbahaya dan intervensi politik, terutama di bawah tekanan Soviet terhadap Gereja Rusia. Bahkan, beberapa gereja Ortodoks yang lebih progresif, seperti Gereja Ortodoks Ukraina, mulai beralih ke Kalender Gregorian untuk perayaan Natal, yang berarti bagi mereka, Natal akan dirayakan pada 25 Desember mulai tahun 2023. Hal ini secara dramatis menunjukkan bahwa “Natal” bukanlah satu peristiwa tunggal yang diasinkronisasikan secara global, melainkan serangkaian perayaan yang terpisah secara geografis dan teologis.

Gereja / TradisiKalender yang
Digunakan untuk
Natal
Tanggal Natal (Gregorian)Catatan
Gereja Katolik
Latin
Gregorian25 DesemberStandar
internasional.
Gereja Ortodoks RusiaJulian7 JanuariMenolak
Kalender Julian
Direvisi.
Gereja Ortodoks YunaniRevised Julian25 DesemberMengadopsi
Kalender Julian
Direvisi.
Gereja Ortodoks UkrainaGregorian (untuk Natal)25 DesemberMulai September 2023, beralih dari Julian ke
Gregorian untuk
Natal.
Gereja Ortodoks CoptikJulian7 JanuariTetap setia pada Kalender Julian.
Gereja Ortodoks SerbiaJulian7 JanuariMenolak
Kalender Julian
Direvisi.
Gereja Ortodoks ArmeniaGregorian / Julian6 Januari
(Gregorian) atau
19 Januari
(Julian)
Merayakan Natal
dan Epifani ber-
sama pada 6
Januari
Gregorian.

Adaptasi budaya Natal menunjukkan fleksibilitas yang sama besarnya. Di banyak budaya non-Barat, Natal bukanlah perayaan yang terisolasi, melainkan menjadi pusat dari tradisi musim dingin lokal yang unik. Sebuah contoh yang sangat menonjol adalah di Pulau-Pulau Pasifik. Di sana, Natal adalah perayaan komunal yang terpusat pada oven tanah (umu atau lovo), di mana daging sapi dan babi dimasak selama berhari-hari. Perayaan ini melampaui ibadah dan menjadi momen untuk cerita (tutala), musik, tarian, makan bersama, dan pertukaran hadiah, yang semuanya mengarah pada perdamaian, harapan, sukacita, dan persatuan komunitas. Natal di sini adalah sarana untuk memperkuat hubungan sosial dan spiritual yang sudah ada, bukan sekadar perayaan iman yang diimpor.

Demikian pula, di Australia, Gereja Bersatu menunjukkan adaptasi yang inklusif dengan merayakan Natal dalam lebih dari 29 bahasa, termasuk banyak bahasa Aborigin. Langkah ini dimaksudkan untuk mengingatkan jemaat bahwa Yesus lahir sebagai orang Yahudi yang berbicara Aramaic, dan untuk menunjukkan bahwa Injil adalah berita yang universal yang dapat diterima oleh semua suku bangsa dan budaya. Di Amerika Serikat, beberapa gereja Lutheran liberal menunjukkan fleksibilitas pastorale dengan tidak mengadakan ibadah pagi pada Hari Natal, memilih untuk memprioritaskan waktu keluarga bagi jemaat mereka. Ini adalah contoh bagaimana Natal dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan pastoral jemaat modern, meskipun hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan antara kewajiban ibadah dan tanggung jawab keluarga.

Model-model teologi kontekstual, seperti yang dikembangkan oleh Stephen Bevans dan Laurie Green, memberikan kerangka kerja untuk memahami dan menerapkan adaptasi semacam ini secara sadar. Vincent J. Donovan, misalnya, berargumen bahwa “bangsa-bangsa” dalam Matius 28:19 merujuk pada kelompok etnis dan budaya, dan bahwa Allah menerima keselamatan seseorang melalui tradisi dan kebiasaan budayanya. Model Inklusivitas, Intensionalitas, dan Adaptabilitas yang diusulkan oleh Green memberikan pedoman konkret bagi para pemimpin gereja untuk menyesuaikan pesan Natal dengan konteks lokal mereka, dengan cara yang menghormati identitas budaya sambil secara bersamaan menegaskan nilai-nilai Injil. Ini menunjukkan bahwa Natal yang otentik bukanlah produk dari homogenisasi budaya Barat, melainkan hasil dari dialog yang terus-menerus antara Injil dan tradisi lokal.

Namun, adaptasi ini juga menghadapi tantangan. Globalisasi dan sekularisasi telah mengubah Natal menjadi entitas yang ambigu. Di satu sisi, Natal menjadi sarana pembagian budaya yang universal. Di sisi lain, ia menghadapi tantangan dari “Perang Natal” (War on Christmas), di mana istilah sekuler seperti “Selamat Natal” digugat, dan dari sekularisasi yang menggeser fokus dari Yesus menjadi hadiah dan konsumsi. Di negara-negara seperti China, Natal bahkan tidak diakui sebagai hari libur nasional, yang menunjukkan bagaimana konteks politik dapat membatasi ruang bagi perayaan agama. Ini menciptakan dilema pastoral yang nyata bagi gereja-gereja di dunia Barat: bagaimana mempertahankan makna spiritual Natal di tengah budaya yang semakin sekuler dan komersial, sambil tetap relevan bagi jemaat yang terikat erat dengan tradisi budaya Natal?

Oleh karena itu, masa depan Natal bergantung pada kemampuan gereja untuk melakukan kontekstualisasi yang cermat. Ini berarti melampaui ritual yang kaku dan fokus pada narasi inkarnasi yang universal sambil secara sadar membatasi dampak komersialisasi dan sincretisme budaya yang tidak sepadan, seperti peran Santa Klaus yang berlebihan. Dengan menggunakan kerangka kerja teologi kontekstual, gereja-gereja dapat merayakan Natal dengan cara yang otentik dan relevan bagi jemaat mereka, memastikan bahwa pesan sentral tentang “Allah menjadi manusia” terus terdengar di setiap sudut dunia.

Implikasi Praktis dan Tantangan Kontemporer: Navigasi Natal di Era Sekuler

Di luar diskusi teologis dan sejarah, perayaan Natal membawa serangkaian implikasi praktis yang kompleks bagi kehidupan jemaat masa kini. Isu-isu pastoral, dinamika konflik, dan tantangan budaya yang terus berkembang menuntut pemimpin gereja untuk menavigasi Natal dengan hati-hati dan bijaksana. Dari perdebatan tentang peran Santa Klaus hingga respons terhadap “Perang Natal” dan tren sekularisasi, Natal telah bertransformasi dari hari kudus yang relatif sederhana menjadi arena yang sarat dengan nuansa sosial dan budaya.

Salah satu isu pastoral yang paling sering dibahas adalah peran Santa Klaus. Bagi banyak gereja, terutama di Amerika Serikat, Santa Klaus telah menjadi subjek kontroversi yang intens. Beberapa gereja menentang kehadiran Santa Klaus dalam konteks gereja karena berbagai alasan teologis dan pedagogis. Pertama, mereka khawatir Santa Klaus akan menjadi pengalih perhatian utama dari Yesus sebagai fokus utama Natal. Dengan menonjolkan figur yang mitologis ini, risiko anak-anak melupakan makna spiritual dari perayaan tersebut menjadi sangat tinggi. Kedua, Santa Klaus adalah karakter fiktif, dan beberapa teolog khawatir bahwa mempromosikan cerita palsu dapat mengaburkan garis antara firman ilahi dan dongeng, yang secara tidak sengaja dapat mengajarkan anak-anak untuk meragukan kebenaran Injil. Ketiga, atribut-atribut yang diberikan kepada Santa Klaus—seperti omniscien, omnipotent, dan omnipresen—secara tidak sengaja meniru sifat-sifat Allah, yang dapat menciptakan bentuk idola terselubung dalam pikiran anak-anak. Keempat, Santa Klaus sering kali dikaitkan dengan konsumerisme dan materialisme, yang bertentangan dengan nilai-nilai Injil tentang pemberian tanpa pamrih dan kasih.

Namun, ada juga pandangan yang lebih nuansawi. Beberapa gereja dan pemimpin Kristen berpendapat bahwa Santa Klaus dapat diadaptasi secara positif. Alih-alih melihatnya sebagai musuh, mereka melihatnya sebagai karakter yang dapat dimanfaatkan secara pedagogis. Salah satu pendekatan ini adalah dengan menghubungkan Santa Klaus dengan Santo Nikolaus dari Myra, seorang uskup abad ke-4 yang dikenal karena kebaikan dan pemberian rahasia kepada orang miskin, terutama kepada anak perempuan yang tidak dapat menikah karena kekurangan biaya pernikahan. Dengan cara ini, Santa Klaus tidak lagi menjadi figur mitologis, melainkan simbol dari teladan Kristus dalam pelayanan dan pemberian. Gereja-gereja bahkan dapat menggunakan cerita-cerita ini untuk mengajar anak-anak tentang kasih karunia dan pemberian tanpa pamrih. Pendekatan ini menunjukkan bahwa kontroversi Santa Klaus bukanlah soal “Santa versus Yesus” secara absolut, melainkan soal bagaimana pesan Natal disampaikan dan diframing. Teknik manajemen konflik seperti STOP-SHIFT-RESPOND dapat sangat berguna bagi pemimpin gereja untuk berdialog dengan anggota jemaat yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai Santa Klaus, dengan fokus pada masalah dan bukan pada orang, serta mencoba memahami perspektif satu sama lain.

Tantangan yang lebih besar dan lebih luas adalah “Perang Natal” (War on Christmas), sebuah fenomena budaya di mana penggunaan kata “Selamat Natal” dianggap sebagai bentuk intoleransi terhadap budaya multikultural, yang kemudian digantikan oleh ungkapan yang lebih netral seperti “Selamat Liburan”. Gerakan ini, yang sering kali didorong oleh skeptisisme dan sekularisme, mencerminkan kekhawatiran yang lebih dalam di kalangan sebagian orang Kristen bahwa budaya sekuler sedang secara sistematis menghilangkan referensi Kristiani dari ruang publik. Bagi mereka, hilangnya “Selamat Natal” bukanlah masalah kecil, melainkan tanda pertama dari penghapusan total dari nilai-nilai Kristen dari identitas nasional Barat. Ini menciptakan dilema bagi gereja: bagaimana cara mempertahankan makna spiritual Natal di tengah budaya yang semakin sekuler dan komersial? Beberapa gereja merespons dengan mengadakan kampanye promosi “Selamat Natal,” sementara yang lain lebih memilih untuk fokus pada narasi Natal yang universal dan humanis, menekankan tema-tema seperti damai sejahtera, harapan, dan pemberian kepada sesama, yang dapat diterima oleh orang-orang dari berbagai latar belakang, termasuk non-Kristen.

Tren demografis modern menambah kompleksitas pada gambaran Natal. Pew Research Center melaporkan penurunan keyakinan dogmatis di kalangan masyarakat AS mengenai elemen-elemen inti Natal yang tercantum dalam Injil. Persentase orang yang mempercayai empat elemen Natal secara bersamaan—kelahiran perawan, Magi yang dipandu oleh bintang, anugerah malaikat kepada para gembala, dan Yesus yang berada di palungan—turun dari 65% pada tahun 2014 menjadi 57% pada tahun 2017. Ini adalah indikator dari sekularisasi yang lebih luas dan perlambatan iman di Barat. Secara bersamaan, persepsi mengenai Natal sebagai hari religius juga menunjukkan penurunan. Pada tahun 2017, 55% orang dewasa AS menyatakan merayakan Natal sebagai hari religius, turun dari 59% pada tahun 2013. Penurunan ini terutama terlihat di kalangan Protestan Utara yang lebih liberal, yang keyakinan dogmatismenya menurun secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa Natal, seperti banyak praktik agama lainnya, menghadapi tantangan relevansi di kalangan generasi yang lebih muda dan lebih sekuler.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, gereja-gereja di seluruh dunia terus beradaptasi. Di satu sisi, mereka mempertahankan tradisi liturgi yang kaya dan berakar kuat, seperti yang terlihat di Gereja Ortodoks, yang memperlakukan Natal sebagai sakramentalitas yang mendalam. Di sisi lain, mereka menunjukkan fleksibilitas dan kepekaan budaya, seperti yang terlihat dalam perayaan Natal multibahasa di Australia atau perayaan Natal yang berpusat pada oven tanah di Pasifik. Fleksibilitas pastorale juga tampak di Amerika Serikat, di mana beberapa gereja Lutheran memilih untuk tidak mengadakan ibadah pagi pada Hari Natal untuk memprioritaskan waktu keluarga, menunjukkan pemahaman bahwa kewajiban ibadah harus seimbang dengan tanggung jawab keluarga. Namun, bahkan langkah-langkah seperti ini bisa menimbulkan perdebatan internal, karena ada yang berpendapat bahwa mengurangi jam ibadah pada hari yang paling penting dalam kalender liturgi adalah sebuah pengkhianatan terhadap tradisi.

Sebagai kesimpulan, Natal di zaman modern adalah fenomena yang ambivalen. Di satu sisi, ia adalah perayaan iman yang kaya, sakramental, dan sangat berarti bagi jutaan orang Kristen di seluruh dunia. Di sisi lain, ia adalah target dari sekularisasi, komersialisasi, dan kontroversi budaya yang terus-menerus. Implikasi praktisnya menuntut pemimpin gereja untuk menjadi diplomat budaya, seorang teolog kontekstual, dan seorang pendeta pastoral. Mereka harus mampu menavigasi perbedaan pandangan di antara jemaat mereka, merespons tantangan budaya secara cerdas, dan pada saat yang sama, menawarkan pesan Natal yang otentik dan relevan. Kesuksesan mereka dalam melakukan hal ini akan menentukan relevansi Natal bagi generasi mendatang. Natal tidak lagi bisa dipandang sebagai hari libur yang pasti; sebaliknya, ia telah menjadi arena di mana gereja harus secara aktif mempertahankan dan mendefinisikan kembali maknanya di tengah dunia yang terus berubah.


REFERENSI
  1. Changing Times, Changing Dates
  2. Explainer: Why do churches celebrate Christmas and Easter on different dates?
  3. When Traditions End: On the Changing Date of Christmas and Ukrainian Identity
  4. How Many Days is Orthodox Christmas?
  5. Why some people celebrate Christmas in January
  6. Revised Julian calendar
  7. Why change Orthodox Christmas date? Change the whole calendar!
  8. Christmas on the Orthodox Calendar, and Appalachian “Old Christmas”
  9. How December 25 Became Christmas
  10. Celebrating Christmas on December 25 began as early as 2 century CE, history shows
  11. ‘Every 25th of December’: The Dating of Christmas
  12. A Brief History of Christmas
  13. How We Got Christmas
  14. Why December 25?
  15. Christmas
  16. Christmas-Keeping and the Reformed Faith
  17. Should churches observe holy days?
  18. Do You Celebrate Christmas?: The Likely Origin of the Question and Answers for Today
  19. The Church’s Observance of Christmas
  20. Should a Christian celebrate holidays?
  21. IS CHRISTMAS BIBLICAL?
  22. Are Modern Christian Holidays “Unbiblical”?
  23. Two Objections to Christmas
  24. Christmas controversies
  25. Why Some Christians Don’t Celebrate Christmas
  26. The Weak, the Strong, and the Challenge of Christian Liberty Romans
  27. Paganism and Christian Liberty
  28. A Puritan Sort of Christmas
  29. Christmas under the Puritans
  30. Celebrating a Calvinist Christmas with a Clear Conscience
  31. Putting the Mess in Christmess
  32. Who put the ‘Ex-‘ in Xmas?
  33. Christmas: An Historical Survey Regarding Its Origins and Opposition to It
  34. The Puritan View on Christmas: Worship Regulated by Scripture
  35. The Puritan Ban on Christmas
  36. The Canterbury Tales
  37. Freedom of religion
  38. Context is Key: A Conversation Between Biblical Studies, Practical Theology and Missiology
  39. Preaching Across the Pews
  40. Case Study: The War on Christmas
  41. Americans Say Religious Aspects of Christmas Are Declining in Public Life
  42. Santa Claus and the Church
  43. Navigating Conflict in Worship Ministry
  44. Christmas 2023 Religious Programming on the BBC
  45. Christ born into every culture
  46. With Christmas falling on a Sunday, Protestant pastors cancel services
error: Content is protected !!