Yudas Iskariot: Pengkhianat, Penyesal, dan Misteri Kasih Karunia

Share:

“Mengapa Yudas mengkhianati Yesus?” Pertanyaan ini tak lekang oleh waktu. Ia bergema dalam setiap peringatan Jumat Agung dan Paskah, dalam setiap renungan tentang kesetiaan dan pengampunan, dan dalam hati kita yang pernah—secara sadar atau tidak—melukai kasih seseorang. Tapi lebih jauh dari sekadar pengkhianat, sosok Yudas Iskariot justru menyimpan sebuah misteri besar: apakah kasih karunia Tuhan cukup bahkan untuk dia?

Kisah Yudas mengandung banyak pelajaran, kontroversi, dan bahkan harapan tersembunyi. Mari kita menyelami lebih dalam dari empat sudut pandang: Kitab Suci, teologi kasih karunia, rencana keselamatan Allah, dan sastra serta tafsir modern. Kita juga akan menelusuri bagaimana para tokoh gereja memahami sosok ini sejak zaman awal gereja hingga hari ini.


1. Pengkhianatan dan Penyesalan: Yudas dalam Kitab Suci

Dalam Injil, Yudas adalah salah satu dari dua belas murid Yesus. Ia bukan orang luar. Ia duduk, makan, dan berjalan bersama Sang Guru. Tetapi ia juga yang menjual Yesus kepada imam-imam kepala dengan harga 30 keping perak (Matius 26:14–16). Di taman Getsemani, ia mencium Yesus—bukan karena kasih, melainkan sebagai kode penangkapan.

Namun sesudahnya, Yudas menyesal. Ia mengembalikan uang itu dan berkata, “Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah.” (Matius 27:3–5). Tapi sayangnya, ia tidak datang kepada Yesus. Ia memilih menggantung diri dalam keputusasaan yang dalam.

Penyesalan itu nyata, tapi tidak sampai pada pertobatan yang membebaskan. Tidak seperti Petrus yang juga gagal tapi berbalik dan diampuni, Yudas berhenti pada rasa bersalah yang menghancurkan.

2. Teologi Kasih Karunia: Apakah Yudas Bisa Diampuni?

Di jantung iman Kristen adalah kasih karunia—pengampunan Allah yang tak terhingga bagi setiap orang yang bertobat. Maka muncul pertanyaan yang mengusik: Kalau Yudas menyesal, mengapa ia tidak diampuni?

Teologi Kristen mengajarkan bahwa tak ada dosa yang lebih besar dari kasih Allah. Namun, pengampunan membutuhkan satu langkah penting: datang kembali kepada Tuhan. Yudas tidak mengambil langkah itu. Ia menyesal, tapi tidak menyerahkan dirinya pada kasih yang menyembuhkan.

Sejumlah pemikir seperti Hans Urs von Balthasar bahkan menyatakan: kita tidak bisa memastikan siapa pun masuk neraka, bahkan Yudas. Karena misteri kasih Allah lebih dalam dari yang bisa kita ukur.

3. Bagian dari Rencana Ilahi: Yudas dan Salib Kristus

Yesus sendiri berkata bahwa Anak Manusia memang harus diserahkan, tapi “celakalah orang yang menyerahkan Dia!” (Markus 14:21). Ini menggambarkan paradoks antara rencana keselamatan Allah dan pilihan bebas manusia.

Yudas, meski memilih jalan pengkhianatan, secara tidak langsung turut serta dalam rencana keselamatan: penyaliban Yesus yang menjadi dasar pengampunan dosa dunia. Ini tidak membuat pengkhianatan Yudas menjadi “baik,” tetapi menunjukkan bahwa Allah bisa memakai kejatuhan manusia untuk menggenapi rencana-Nya.

4. Tafsir dan Sastra: Yudas sebagai Tokoh Tragis

Dalam teks non-kanonik seperti Injil Yudas (abad ke-2), Yudas digambarkan bukan sebagai pengkhianat, melainkan murid istimewa yang “membantu Yesus” melepaskan diri dari dunia fisik. Walau tidak diakui gereja, teks ini menunjukkan bahwa sejak dulu orang mencoba memahami Yudas dari sisi lain.

Dalam sastra, Yudas adalah simbol tragis dari manusia yang kehilangan harapan. Ia muncul dalam puisi, drama, dan novel sebagai cermin dari siapa saja yang pernah membuat keputusan salah dan menyesal, tapi tak tahu ke mana harus kembali.


Pandangan Tokoh-Tokoh Gereja tentang Yudas Iskariot

1. Agustinus dari Hippo (354–430 M) – Kehendak Bebas dan Predestinasi

Pandangan utama: Yudas adalah contoh nyata dari kehendak bebas manusia yang memilih untuk tidak menaati Allah, meskipun berada dalam lingkaran ilahi.

Agustinus sangat menekankan predestinasi dan kehendak bebas. Bagi dia, Yudas tidak dipaksa oleh Tuhan untuk berkhianat; ia melakukannya karena kehendak bebasnya sendiri, yang telah dibelokkan oleh keserakahan dan cinta dunia. Namun, Allah tetap berdaulat atas semua peristiwa, dan bahkan pengkhianatan Yudas dipakai untuk menggenapi rencana keselamatan.

“Allah bisa menggunakan kejahatan manusia untuk membawa kebaikan yang lebih besar, tanpa menjadi penyebab dosa itu sendiri.”
Agustinus, Enchiridion XXVI

Namun, Agustinus juga mengakui bahwa misteri kasih karunia dan penolakan tetap berada di luar jangkauan akal manusia. Mengapa Petrus kembali dan Yudas tidak? Itu bagian dari misteri ilahi yang tidak bisa seluruhnya dijelaskan secara logika.

2. Thomas Aquinas (1225–1274) – Penyesalan Tanpa Kasih

Pandangan utama: Penyesalan Yudas bersifat duniawi, bukan penyesalan rohani yang menuntun kepada keselamatan.

Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae membedakan antara dua jenis penyesalan:

  • Attritio: penyesalan karena takut hukuman (seperti Yudas).
  • Contritio: penyesalan karena cinta kepada Tuhan (seperti Petrus).

Yudas, menurut Thomas, menyesal karena merasa bersalah dan takut akan akibat dosanya, bukan karena mencintai Tuhan yang ia khianati. Ini menyebabkan ia tidak berpaling kembali kepada Tuhan, melainkan jatuh dalam keputusasaan.

“Ia menyesal karena akibat dosa, bukan karena dosa itu melukai Allah.”
Summa Theologiae, III, Q. 84

Thomas juga mencatat bahwa bunuh diri Yudas adalah tanda ia tidak mempercayai belas kasihan Allah. Oleh karena itu, dalam kerangka moral skolastik, Yudas kehilangan keselamatan karena menolak kasih Allah dengan memilih kematian sendiri.

3. Martin Luther (1483–1546) & John Calvin (1509–1564) – Dosa dan Takdir

Martin Luther

Luther melihat Yudas sebagai alat dalam rencana Allah, namun tetap bertanggung jawab atas dosanya. Dalam semangat Reformasi, Luther menekankan bahwa manusia telah jatuh dalam dosa dan tidak bisa menyelamatkan diri sendiri—hanya oleh kasih karunia Allah.

Yudas adalah gambaran orang yang mendengar firman tetapi hatinya keras. Ia hidup dekat dengan Yesus, namun tidak berubah. Bagi Luther, ini peringatan serius bahwa kehadiran fisik dalam gereja tidak menjamin keselamatan, jika hati tidak diperbaharui.

“Yudas duduk di meja bersama Tuhan, namun iblis telah menguasainya.”
Luther’s Works, vol. 23

John Calvin

Calvin berbicara tegas tentang kedaulatan Allah. Ia melihat bahwa Yudas telah ditentukan oleh kehendak Allah, namun secara misterius juga bertanggung jawab atas kejahatannya. Ini mencerminkan tensi antara predestinasi dan tanggung jawab moral.

Bagi Calvin, Yudas adalah contoh orang yang tidak benar-benar lahir baru, meskipun kelihatan saleh di luar. Ini menggarisbawahi ajaran Calvin tentang elect dan reprobate—mereka yang dipilih untuk keselamatan dan mereka yang tidak.

Namun Calvin tetap berhati-hati: tidak semua dapat dipastikan masuk neraka, termasuk Yudas, sebab “penghakiman adalah milik Tuhan.”

4. Hans Urs von Balthasar (1905–1988) – Harapan bagi Yudas

Pandangan utama: Kita tidak boleh secara mutlak menghakimi Yudas, karena kasih Allah mungkin bekerja bahkan dalam kematiannya.

Von Balthasar, seorang teolog Katolik abad ke-20, menawarkan pandangan yang sangat bernuansa harapan. Dalam bukunya Dare We Hope “That All Men Be Saved”?, ia menulis bahwa meskipun Gereja percaya akan adanya neraka, tidak berarti kita tahu siapa yang benar-benar masuk ke dalamnya.

Menurutnya, Yudas adalah lambang manusia yang putus asa, dan putus asa adalah bentuk kejatuhan spiritual terdalam. Namun bahkan keputusasaan Yudas tidak menutup kemungkinan bahwa di saat terakhir, dalam keheningan maut, kasih Kristus tetap dapat menjangkaunya.

“Yesus turun ke dalam dunia orang mati… apakah Ia tidak juga mencari Yudas di sana?”
Von Balthasar, Dare We Hope…?

Von Balthasar tidak berkata bahwa Yudas pasti diselamatkan. Tapi ia mendorong kita untuk berharap tanpa menghakimi, karena kasih karunia Allah bisa melampaui batas pemahaman manusia.

Apa Maknanya bagi Kita?

Dari Agustinus hingga Von Balthasar, kita melihat benang merah:

  • Yudas tetap bertanggung jawab atas tindakannya.
  • Allah tetap berdaulat, bahkan atas kejahatan manusia.
  • Penyesalan tanpa pertobatan sejati tidak menyelamatkan.
  • Kita tidak bisa sepenuhnya memahami misteri penghakiman Allah.

Namun, juga ada pelajaran besar: jangan menghakimi diri atau orang lain terlalu cepat. Sebab siapa tahu, kasih Allah tetap bekerja dalam kedalaman yang tak kita duga.

“Janganlah menjadi hakim atas nasib akhir seseorang, bahkan Yudas. Sebab salib itu cukup untuk semua—bahkan mungkin juga untuk dia.”
Refleksi Teologis


Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Yudas?

  1. Penyesalan saja tidak cukup. Kita perlu datang kepada Tuhan dan membuka diri bagi kasih-Nya. Yudas mengakui dosanya, bahkan mengembalikan uang hasil pengkhianatan. Namun ia berhenti sampai disitu. Ia tidak datang kepada Yesus. Dalam banyak kasus, penyesalan bisa membuat seseorang merasa cukup telah “mengakui” kesalahannya, namun tanpa keterbukaan untuk menerima pengampunan. Pertobatan sejati membutuhkan relasi—yaitu datang kepada Tuhan, mengizinkan kasih-Nya menyentuh luka terdalam kita, dan percaya bahwa Dia masih mau menerima kita.
  2. Dosa bisa menjadi pintu pertobatan, jika kita tidak terjebak dalam keputusasaan. Dalam dunia rohani, bahkan kejatuhan sekalipun dapat menjadi jalan pulang—jika kita merespons dengan hati yang lembut dan terbuka. Banyak orang kudus dalam sejarah gereja justru pernah jatuh sangat dalam: Daud, Petrus, Paulus. Tapi mereka tidak membiarkan rasa bersalah membunuh harapan. Mereka bertobat dan menyerahkan hidup mereka kembali ke dalam tangan Tuhan. Dosa tidak harus menjadi akhir kisah. Justru bisa menjadi awal yang baru—jika kita memilih untuk bangkit.
  3. Allah bisa memakai kegagalan kita untuk kebaikan yang lebih besar. Ironisnya, pengkhianatan Yudas menjadi bagian dari rencana keselamatan Allah. Bukan berarti Allah menyetujui dosa Yudas, tetapi Allah sanggup menjadikannya alat untuk menggenapi karya penebusan. Dalam kehidupan kita pun, Allah sering memakai luka, kegagalan, bahkan penyesalan kita untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Tidak ada bagian dari hidup yang sia-sia, jika diserahkan kepada Dia yang berkuasa menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya.
  4. Tak seorang pun di luar jangkauan kasih karunia, selama masih mau kembali. Ini adalah inti dari Injil: tak ada orang yang terlalu jauh untuk dijangkau oleh kasih Allah. Tidak ada masa lalu yang terlalu gelap. Tidak ada hati yang terlalu rusak. Yudas, sayangnya, tidak percaya akan hal ini. Tapi kita bisa memilih berbeda. Selama nafas masih ada, selama hati masih bisa digerakkan oleh Roh Kudus, maka masih ada harapan untuk kembali kepada-Nya. Kasih karunia itu tidak terbatas, dan senantiasa menunggu.

Sisi Positif? Mungkin Ada

Sulit menerima bahwa ada hal baik dari pengkhianatan. Tapi dalam terang salib, Yudas menjadi bagian dari kisah penebusan yang mengubah dunia. Dari penderitaan dan kematian Yesus, lahirlah harapan, pengampunan, dan kehidupan baru bagi manusia.

Jadi meski tindakannya salah, dari situ Allah menggenapi sesuatu yang agung. Ini bukan membenarkan dosa, tapi menunjukkan betapa dalam dan luasnya kasih karunia Tuhan.

Penutup: Jangan Jadi Yudas yang Kedua

Yudas adalah pengingat keras bahwa bahaya terbesar bukan dosa, melainkan putus asa dalam dosa. Tuhan tidak menolak mereka yang gagal, tetapi menanti mereka yang mau kembali.

Jika engkau pernah merasa seperti Yudas—menyesal, merasa tak layak, atau kehilangan harapan—jangan berhenti di sana. Lihatlah salib. Di sana, kasih yang lebih besar dari dosamu telah terbuka. Jangan jadi Yudas yang kedua. Jadilah Petrus yang kembali, menangis, dan menerima kasih yang mengangkat kembali hidupnya.


error: Content is protected !!