Emansipasi Gender di Era Otomatisasi: Relevansi dan Tantangan Kesetaraan

Share:

Pendahuluan

Emansipasi gender, sebuah konsep yang telah diperjuangkan sejak abad ke-19, tetap menjadi isu sentral dalam diskursus sosial global hingga saat ini. Dengan munculnya era otomatisasi dan kemajuan teknologi pada abad ke-21, banyak yang mempertanyakan apakah emansipasi masih relevan di dunia yang semakin terdigitalisasi ini. Mari kita menganalisis relevansi emansipasi gender dalam konteks otomatisasi, mengeksplorasi tantangan yang masih ada, serta menyoroti bagaimana teknologi dapat menjadi katalisator atau justru penghambat dalam mencapai kesetaraan gender yang sejati.

Relevansi Emansipasi di Era Otomatisasi

Otomatisasi telah mengubah lanskap sosial dan ekonomi secara drastis. Pekerjaan manual yang sebelumnya didominasi oleh tenaga kerja fisik kini digantikan oleh mesin dan kecerdasan buatan (AI). Dalam konteks ini, beberapa pihak berargumen bahwa otomatisasi dapat menjadi alat untuk mencapai kesetaraan gender, karena teknologi mengurangi ketergantungan pada kekuatan fisik—yang sering diasosiasikan dengan stereotip maskulinitas—dan membuka peluang bagi perempuan untuk berkontribusi dalam berbagai sektor, termasuk teknologi, sains, dan kepemimpinan.

Namun, data menunjukkan bahwa otomatisasi belum sepenuhnya menghapus ketimpangan gender. Menurut laporan Global Gender Gap Report 2023 dari World Economic Forum, kesenjangan gender global masih signifikan, dengan rata-rata kesenjangan upah sebesar 16%. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada 2024, partisipasi angkatan kerja perempuan hanya mencapai 54%, jauh lebih rendah dibandingkan pria yang mencapai 83%. Selain itu, perempuan masih mendominasi sektor informal yang rentan terhadap eksploitasi, seperti pekerja rumah tangga atau pedagang kecil, yang sering kali tidak mendapat manfaat langsung dari otomatisasi.

Lebih lanjut, otomatisasi juga membawa risiko baru: bias algoritma. Sistem AI yang dikembangkan oleh manusia seringkali mencerminkan bias gender yang sudah ada. Misalnya, algoritma rekrutmen berbasis AI yang dilatih dengan data historis cenderung memprioritaskan kandidat pria untuk posisi kepemimpinan, karena data masa lalu menunjukkan dominasi pria di posisi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi, meskipun netral secara inheren, dapat memperkuat ketimpangan jika tidak dikelola dengan perspektif yang inklusif.

Tantangan Kesetaraan Gender dalam Konteks Modern

Meskipun otomatisasi telah menciptakan peluang baru, tantangan struktural dalam mencapai kesetaraan gender tetap ada. Salah satu tantangan utama adalah beban ganda yang masih dipikul oleh perempuan. Studi global menunjukkan bahwa perempuan menghabiskan dua hingga tiga kali lebih banyak waktu untuk pekerjaan domestik dibandingkan pria, bahkan ketika keduanya bekerja penuh waktu. Di Indonesia, budaya patriarki yang masih kuat sering kali menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab utama atas urusan rumah tangga, meskipun mereka juga berkontribusi secara ekonomi.

Tantangan lainnya adalah rendahnya representasi perempuan di sektor teknologi, yang menjadi tulang punggung otomatisasi. Data dari UNESCO (2024) menunjukkan bahwa hanya 35% profesional di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) adalah perempuan. Kurangnya representasi ini tidak hanya membatasi kontribusi perempuan dalam pengembangan teknologi, tetapi juga memperparah bias dalam desain dan implementasi teknologi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Selain itu, norma sosial dan ekspektasi gender yang kaku masih menjadi hambatan. Stereotip bahwa pria harus menjadi pencari nafkah utama dan perempuan harus mengutamakan peran domestik terus memengaruhi keputusan karier dan dinamika keluarga. Di banyak komunitas, terutama di daerah pedesaan, akses perempuan terhadap pendidikan dan pelatihan teknologi masih terbatas, sehingga mereka tertinggal dalam memanfaatkan peluang yang dibawa oleh otomatisasi.

Peluang Otomatisasi untuk Kesetaraan Gender

Di sisi lain, otomatisasi juga menawarkan peluang besar untuk memajukan kesetaraan gender. Teknologi dapat mengurangi beban pekerjaan domestik melalui inovasi seperti mesin cuci pintar, robot pembersih, dan aplikasi manajemen rumah tangga, sehingga perempuan memiliki lebih banyak waktu untuk mengejar pendidikan atau karier. Selain itu, platform digital dan pekerjaan jarak jauh (remote work) yang semakin populer sejak pandemi COVID-19 telah memungkinkan perempuan untuk bekerja secara fleksibel, yang sangat membantu bagi mereka yang memiliki tanggung jawab pengasuhan.

Namun, peluang ini hanya dapat dimanfaatkan jika ada intervensi yang disengaja untuk mengatasi ketimpangan yang ada. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara terhadap pendidikan teknologi, pelatihan keterampilan, dan peluang kerja di sektor-sektor yang berkembang pesat akibat otomatisasi. Selain itu, pengembang teknologi harus mengadopsi pendekatan yang inklusif dalam merancang sistem AI, misalnya dengan melibatkan lebih banyak perempuan dalam tim pengembangan untuk mencegah bias algoritma.

Kesimpulan

Emansipasi gender tetap relevan di era otomatisasi, bahkan menjadi semakin penting mengingat tantangan dan peluang baru yang muncul. Meskipun teknologi telah membuka pintu bagi kesetaraan, ketimpangan struktural, norma sosial yang kaku, dan bias dalam teknologi itu sendiri masih menjadi hambatan besar. Untuk mencapai kesetaraan gender yang sejati, diperlukan upaya kolektif yang melibatkan perubahan kebijakan, transformasi budaya, dan pendekatan teknologi yang inklusif. Otomatisasi dapat menjadi alat yang ampuh untuk memajukan emansipasi, tetapi hanya jika kita memastikan bahwa manfaatnya dirasakan secara merata oleh semua gender. Dengan demikian, perjuangan untuk kesetaraan gender bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan sebuah misi yang harus terus diperbarui di setiap era, termasuk di zaman otomatisasi ini.

error: Content is protected !!