Pada 26 Mei 2025, perairan Maluku Utara menjadi saksi peristiwa ilmiah luar biasa dengan ditemukannya kembali ikan purba Coelacanth (Latimeria menadoensis). Spesies yang dijuluki “fosil hidup” ini, yang sempat dianggap punah selama 70 juta tahun hingga ditemukan kembali pada 1938, kembali mencuri perhatian dunia melalui ekspedisi yang dipimpin oleh Dr. Gino Limmon dari Universitas Pattimura (UNPATTI). Penemuan ini tidak hanya memperluas pemahaman tentang distribusi Coelacanth di Indonesia, tetapi juga menegaskan pentingnya konservasi ekosistem laut dalam di Maluku Utara.
Perjalanan Penemuan
Ekspedisi ini merupakan kolaborasi antara UNPATTI, Underwater Scientific Exploration for Education (UNSEEN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Universitas Udayana, Universitas Khairun, dan didukung oleh Blancpain Ocean Commitment. Berbeda dari penemuan sebelumnya yang mengandalkan Remotely Operated Vehicle (ROV), tim kali ini berhasil mendokumentasikan Coelacanth dewasa secara langsung pada kedalaman 145 meter melalui foto dan video in-situ oleh dua penyelam Trimix. Dokumentasi ini menjadi yang pertama di Indonesia yang dilakukan langsung oleh penyelam, menandai terobosan besar dalam eksplorasi laut dalam.
Dr. Gino Limmon, Ketua Tim Ekspedisi, mengungkapkan kegembiraannya atas keberhasilan ini. “Penemuan Coelacanth ini adalah momen bersejarah bagi kami. Ini membuktikan bahwa Maluku Utara menyimpan kekayaan biodiversitas yang luar biasa, dan kami baru mulai menguak misterinya,” ujarnya dalam wawancara dengan ANTARA News. Ia juga menekankan pentingnya pendekatan langsung dalam penemuan ini: “Dokumentasi oleh penyelam Trimix memungkinkan kami melihat Coelacanth dalam habitat aslinya dengan lebih jelas, memberikan data yang sangat berharga untuk penelitian lebih lanjut.”
Mengenal Coelacanth: Fosil Hidup dari Era Devonian
Coelacanth (Latimeria menadoensis) adalah ikan purba dari periode Devonian, sekitar 400 juta tahun lalu. Dengan sirip berbentuk cuping yang menyerupai anggota tubuh tetrapoda, spesies ini menjadi kunci dalam memahami evolusi vertebrata darat. Berbeda dari Latimeria chalumnae di Afrika yang berwarna kebiruan, Latimeria menadoensis memiliki sisik kecokelatan dengan noda putih tidak beraturan. Spesies ini hidup di kedalaman 100-700 meter, menyukai gua-gua atau ceruk vulkanik bawah laut dengan suhu 12.4–20.5°C.
Coelacanth pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1938 di lepas pantai Afrika Selatan, setelah sebelumnya hanya dikenal melalui catatan fosil yang berusia puluhan juta tahun. Penemuan ini menjadi salah satu peristiwa paling signifikan dalam sejarah biologi abad ke-20. Namun, kejutan belum berakhir. Pada tahun 1997, seorang ilmuwan Amerika, Arnaz dan Mark Erdmann, secara tidak sengaja menemukan spesimen Coelacanth di pasar ikan Manado, Sulawesi Utara. Penemuan ini mengindikasikan adanya populasi Coelacanth kedua, yang kemudian secara resmi diidentifikasi sebagai spesies baru, Latimeria menadoensis, berbeda dengan spesies Afrika, Latimeria chalumnae.
Penemuan di Maluku Utara ini menegaskan spekulasi sejak 1999, ketika Latimeria menadoensis pertama kali diidentifikasi di Manado, Sulawesi Utara, oleh Dr. Mark V. Erdmann. “Kami telah menduga keberadaan Coelacanth di Maluku Utara sejak lama, tetapi baru sekarang kami punya bukti kuat. Ini seperti menemukan harta karun yang telah lama tersembunyi,” kata Dr. Limmon dalam laporan Espos Indonesia.
Signifikansi Ilmiah dan Konservasi
Penemuan ini memiliki makna besar bagi ilmu pengetahuan dan konservasi. Pertama, ini memperluas peta distribusi Coelacanth di Indonesia, yang sebelumnya tercatat di Sulawesi Utara, Biak, dan Raja Ampat. Kedua, dokumentasi langsung oleh penyelam membuka peluang baru untuk mempelajari ekologi dan perilaku Coelacanth. Dr. Limmon menyoroti potensi ini: “Data visual yang kami dapatkan akan membantu kami memahami lebih dalam bagaimana Coelacanth beradaptasi di ekosistem mesofotik. Ini langkah awal untuk penelitian jangka panjang.”
Dari sisi konservasi, Latimeria menadoensis terdaftar sebagai spesies “Vulnerable” oleh IUCN Red List dan dilindungi oleh hukum Indonesia melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 7/1999 serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/2018. Spesies ini juga masuk dalam Apendiks I CITES, yang melarang perdagangan internasional. Untuk melindungi habitatnya, lokasi penemuan sengaja dirahasiakan. “Kami berkomitmen untuk menjaga kerahasiaan lokasi ini demi keamanan Coelacanth. Kami juga mendorong pembentukan kawasan konservasi di Maluku untuk melindungi spesies ini,” tegas Dr. Limmon, seperti dikutip dari Mongabay.co.id.
Tantangan dan Harapan
Meskipun membawa harapan, Coelacanth menghadapi ancaman seperti penangkapan tidak sengaja, polusi plastik, dan aktivitas perikanan. Ekosistem laut dalam yang menjadi habitatnya sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Dr. Limmon menekankan urgensi tindakan konservasi: “Coelacanth adalah warisan alam yang tak ternilai. Kita harus bekerja sama—peneliti, pemerintah, dan masyarakat—untuk memastikan mereka tetap hidup di lautan kita.”
Dr. Mark Erdmann, penasihat proyek, menambahkan bahwa penemuan ini adalah pengingat akan misteri laut Indonesia. Namun, Dr. Limmon menegaskan peran Maluku Utara dalam narasi ini: “Maluku Utara bukan hanya titik di peta, tetapi pusat keanekaragaman hayati yang harus kita jaga. Penemuan ini adalah panggilan untuk bertindak,” ujarnya dalam wawancara dengan RRI.co.id.
Penutup
Penemuan kembali Coelacanth di Maluku Utara adalah bukti keajaiban alam dan ketangguhan kehidupan yang telah bertahan selama ratusan juta tahun. Dengan kepemimpinan Dr. Gino Limmon dan timnya, penemuan ini tidak hanya memperkaya ilmu pengetahuan, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya konservasi laut. Melalui upaya bersama, Indonesia dapat memastikan bahwa Coelacanth, sang fosil hidup, tetap menjadi bagian dari kekayaan laut untuk generasi mendatang.