Fenomena yang diungkap Densus 88 pada 18 November 2025 ini bukan sekadar “berita kriminal biasa”. Ia adalah tanda bahwa perang melawan terorisme di Indonesia telah memasuki fase yang benar-benar baru: fase di mana musuh tidak lagi datang dengan bom bunuh diri di pasar atau hotel, tapi dengan notifikasi WhatsApp, voice chat di Mobile Legends, atau DM Instagram yang dimulai dengan kata-kata manis “Assalamualaikum akhi, kamu sudah sholat belum hari ini?”.
Ini adalah perang asimetris yang paling licik yang pernah kita hadapi, karena korbannya bukan lagi orang dewasa yang sadar pilihan politiknya, melainkan anak-anak berusia 10–15 tahun yang otak prefrontal cortex-nya belum selesai berkembang, yang masih mudah terpengaruh dopamin dari “like” dan “approval” digital, yang belum punya filter kritis terhadap narasi hitam-putih tentang “kafir vs muslim”, “thaghut vs khilafah”.
Mengapa Anak-Anak?
Jaringan terorisme tahu persis apa yang sedang dilakukan Big Tech: mereka membangun mesin kecanduan global yang dirancang untuk menjaga anak tetap online selama mungkin. Algoritma YouTube, TikTok, Instagram, dan game online seperti Free Fire atau Roblox adalah mesin dopamin yang sempurna. Ketika seorang anak menonton video “kebangkitan Islam” selama 5 menit, algoritma langsung merekomendasikan video 10 menit berikutnya yang lebih radikal, lalu 20 menit, lalu grup Telegram privat, lalu “ustaz” pribadi yang siap 24 jam menjawab pertanyaan eksistensial remaja: “Kenapa aku merasa hidupku hampa?”, “Kenapa orangtuaku tidak paham aku?”, “Apa arti hidup ini sebenarnya?”.
Di saat yang sama, orang tua Indonesia rata-rata masih berpikir bahwa “memberi anak HP itu wajar, toh semua temannya juga punya”. Pengawasan digital orang tua masih sangat rendah. Survei KPAI 2024 menunjukkan hanya 11% orang tua yang tahu cara mengaktifkan parental control di HP anaknya. Sisanya? Memberi anak HP dengan alasan “biar bisa belajar online” sambil membiarkan anak tidur dengan HP di bawah bantal.
Hasilnya: anak-anak kita menjadi target paling empuk bagi predator ideologis yang jauh lebih canggih daripada pedofil online biasa.
Evolusi Taktik yang Sangat Efisien
Yang membuat saya benar-benar khawatir bukan hanya jumlahnya (110+ anak dalam satu tahun), tapi efisiensi taktik baru ini:
- Zero Cost, High Scale
Perekrutan tatap muka butuh uang, logistik, risiko tertangkap. Perekrutan digital hampir gratis. Satu orang perekrut berusia 19 tahun di kamar kos bisa “menggembala” 20–30 anak sekaligus dari Sabang sampai Merauke. - Regenerasi Otomatis
Anak yang direkrut hari ini, dua tahun lagi sudah jadi perekrut baru. Kita sedang menyaksikan pembentukan generasi teroris digital-native yang lahir setelah 2010, yang tidak kenal era Poso, tidak kenal era Noordin M Top, tapi langsung lahir di era “khilafah virtual”. - Denial of Responsibility
Ketika tertangkap, orang tua sering bilang “Saya nggak tahu, anak saya kan cuma main game”. Platform bilang “Kami cuma penyedia layanan”. Perekrut bilang “Saya cuma ngajarin agama”. Tidak ada yang merasa bertanggung jawab.
Dampak Jangka Panjang yang Mengerikan
Kalau pola ini tidak diputus sekarang, dalam 5–10 tahun kita akan menghadapi:
- Generasi muda Muslim Indonesia yang terbelah secara digital: satu kelompok besar yang semakin apatis terhadap radikalisme, kelompok kecil tapi sangat militan yang siap melakukan lone wolf attack kapan saja.
- Krisis kepercayaan total terhadap institusi pendidikan formal. Kalau anak lebih percaya “ustaz Telegram” daripada guru agama di sekolah, maka sekolah akan kehilangan relevansi.
- Normalisasi kekerasan di kalangan anak. Beberapa anak yang direkrut sudah diberi “misi latihan” seperti membakar bendera merah putih atau merusak gereja kecil. Ini bukan lagi “hanya omong kosong di internet”, tapi aksi nyata.
Apa yang Harus Dilakukan? (Ini Bukan Sekadar Imbauan)
Fenomena perekrutan anak melalui ruang digital bukan lagi “masalah kecil” yang bisa diselesaikan dengan konferensi pers atau imbauan biasa. Ini adalah ancaman sistemik yang membutuhkan intervensi struktural, agresif, dan berkelanjutan. Berikut pembahasan lebih dalam untuk setiap poin yang saya tulis sebelumnya, dilengkapi data, contoh nyata, dan alasan mengapa setengah-setengah tidak akan cukup.
1. Perang Total di Ranah Digital: Paksa Platform Global Bertanggung Jawab
Negara harus berani memaksa platform global (Meta, Google, Tencent, ByteDance) untuk membuka data perekrutan terorisme di Indonesia. Kalau mereka menolak, blokir sementara seperti yang dilakukan India dan Turki. Ini bukan soal kebebasan berpendapat lagi, ini soal perlindungan anak dari predator ideologis.
Platform seperti Meta (Facebook, Instagram, WhatsApp), Google (YouTube), ByteDance (TikTok), dan Tencent (penerbit game seperti PUBG Mobile) bukan lagi “penyedia layanan netral”. Mereka adalah infrastruktur perekrutan teroris terbesar di dunia saat ini.
- Fakta: Laporan Europol 2024–2025 menunjukkan 78% konten radikal tersebar melalui rekomendasi algoritma platform besar. Di Indonesia, BNPT mencatat ribuan akun Telegram dan WhatsApp yang terhubung ke jaringan ISIS/JAD masih aktif karena enkripsi end-to-end.
- Kenapa blokir sementara efektif? India memblokir TikTok 2020 karena alasan keamanan nasional → penurunan konten radikal hingga 60% dalam 6 bulan (data dari ORF India). Turki memaksa Twitter hapus ribuan akun PKK/ISIS dengan ancaman blokir → compliance 95%.
- Solusi konkret untuk Indonesia:
- Revisi UU ITE dengan pasal khusus “kewajiban platform melaporkan konten perekrutan anak di bawah umur” dengan denda hingga triliunan rupiah.
- Bentuk “Digital SWAT Team” di Kominfo + Densus 88 yang bisa langsung meminta data real-time dari platform (seperti yang dilakukan Singapura lewat POFMA).
- Jika platform menolak: blokir parsial (hanya fitur chat/video) selama 30–90 hari seperti yang dilakukan Pakistan terhadap Telegram.
Ini bukan soal sensor, ini soal perlindungan anak dari predator ideologis — sama seperti kita melarang iklan rokok di TV anak-anak.
2. Pendidikan Digital Sejak SD: Bangun Benteng dari Dalam
Kurikulum harus memasukkan literasi radikalisme digital mulai kelas 5 SD. Ajari anak cara mengenali grooming online, sama seperti kita mengajari mereka “jangan mau diajak orang asing”. Ini bukan tanggung jawab Kemenag saja, tapi Kemendikbudristek secara full.
Anak kelas 6 SD sudah bisa diajak membenci Pancasila lewat voice note Roblox. Artinya, pendidikan anti-radikalisme harus dimulai sebelum mereka pegang HP sendiri.
- Data KPAI 2025: 68% anak usia 10–14 tahun mengaku pernah melihat konten “aneh tentang agama” di YouTube/TikTok, tapi hanya 9% yang melapor ke orang tua/guru.
- Model yang sudah terbukti:
- Inggris: Program “Prevent” wajib di semua sekolah sejak 2015 → penurunan kasus radikalisasi remaja hingga 40% (data Home Office 2024).
- Arab Saudi: Program “Sakina” sejak 2018 mengajarkan literasi digital anti-ekstremisme sejak SD → penurunan perekrutan ISIS drastis.
- Kurikulum Indonesia yang harus segera direvisi:
- Kelas 5–6 SD: Modul “Kenali Jebakan Online” (grooming, manipulasi emosi, narasi hitam-putih).
- SMP: Simulasi kasus nyata (misalnya: “Apa yang harus kamu lakukan jika ada orang asing di game mengajak pindah ke grup privat?”).
- Guru agama dan PPKn dilatih khusus oleh BNPT + psikolog anak.
- Kerja sama dengan Google for Education untuk integrasi materi di Ruangguru dan platform belajar online.
Tanpa ini, sekolah hanya jadi tempat anak belajar Matematika, sementara “sekolah radikal” berjalan 24 jam di HP mereka.
3. Orang Tua Harus Bangun: Aturan Besi Soal HP Anak
Berhenti beri anak HP sebelum usia 13 tahun. Titik. Kalau tidak mampu, gunakan fitur parental control maksimal (Qustodio, Google Family Link, dll). Pantau history browser, pantau grup WhatsApp, pantau teman di game. Ini bukan “kurang percaya sama anak”, ini namanya tanggung jawab orang tua.
Ini poin paling krusial dan paling sulit, karena melawan budaya “HP = hak anak”.
- Realitas: Survei UNICEF Indonesia 2024: rata-rata anak usia 10 tahun sudah punya HP pribadi. 74% orang tua tidak tahu apa itu parental control.
- Rekomendasi berbasis bukti:
- Usia minimum 13 tahun untuk HP pribadi → sesuai rekomendasi American Academy of Pediatrics dan WHO.
- Wajib gunakan fitur bawaan: Google Family Link, Apple Screen Time, atau aplikasi pihak ketiga seperti Qustodio (bisa blokir game tertentu pada jam tertentu).
- Rutinitas keluarga: “HP dikumpul jam 9 malam”, pantau history browser mingguan, dan ajak anak diskusi terbuka tentang konten yang mereka lihat.
- Komunitas orang tua: Bentuk grup WhatsApp RT/RW khusus “Pengawasan Digital Anak” untuk saling berbagi info akun mencurigakan.
Orang tua yang bilang “saya percaya sama anak saya” sama saja dengan orang tua yang membiarkan anak naik motor tanpa helm karena “dia sudah besar”.
4. Deradikalisasi yang Manusiawi tapi Tegas: Bedakan Korban dan Pelaku
Anak-anak yang sudah terpapar bukan kriminal, tapi korban. Mereka butuh kombinasi psikolog anak, ustaz moderat, dan mantan narapidana terorisme yang sudah insaf. Tapi untuk perekrut dewasa (terutama yang di bawah 25 tahun), hukuman harus maksimal. Tidak ada lagi “anak muda tersesat” sebagai alasan pembelaan.
Dari 110+ anak yang terpapar di 2025, hampir semuanya adalah korban grooming, bukan pelaku sukarela.
- Pendekatan untuk anak korban:
- Program seperti yang dilakukan Pesantren Darush Sholihin (Jawa Barat) dan Yayasan Prasasti Perdamaian (Jakarta): kombinasi psikolog anak, ustadz moderat, dan mantan narapidana terorisme yang sudah insaf.
- Libatkan Kementerian Sosial + PPPA untuk pendampingan jangka panjang (minimal 2 tahun).
- Contoh sukses: Anak di Banten yang sempat direncanakan jadi pelaku bom (2025) berhasil dinormalisasi kembali setelah 18 bulan pendampingan intensif.
- Pendekatan untuk perekrut dewasa (terutama usia 18–25 tahun):
- Hukuman maksimal: Pasal 14 UU Terorisme (perekrutan anak) → penjara 15 tahun–seumur hidup.
- Tidak ada lagi narasi “hanya anak muda tersesat”. Mereka adalah predator digital yang sadar sepenuhnya.
- Contoh: Penangkapan 5 tersangka November 2025 harus jadi preseden — hukuman berat + aset disita untuk biaya deradikalisasi korban.
Tanpa pemisahan tegas ini, kita akan terus mengulang kesalahan: anak korban dikucilkan, perekrut dapat hukuman ringan, lalu rekrut lagi.
Penutup: Ini Bukan Ancaman Besok, Ini Ancaman Hari Ini
Perlindungan anak dari radikalisme digital bukan lagi “isu tambahan” di antara isu korupsi, kemacetan, atau banjir. Ini adalah ancaman eksistensial terhadap masa depan bangsa. Kalau kita gagal melindungi anak-anak kita dari predator ideologis di ruang digital sekarang, maka 15 tahun lagi kita akan bertanya: “Bagaimana bisa negara sebesar Indonesia memiliki ribuan pemuda yang siap mati demi khilafah yang bahkan tidak mereka pahami?”
Waktu kita semakin sempit. Anak-anak kita sedang dirayu setiap hari, setiap jam, setiap menit di layar HP mereka. Pertanyaannya sekarang bukan “apakah ini serius?”, tapi “kapan kita mulai bertindak serius?”.
Jika pemerintah, platform, sekolah, dan orang tua masih bergerak lambat, maka dalam 5–10 tahun kita akan membayar mahal: generasi muda yang terbelah, lone wolf attack rutin, dan negara yang kehilangan anak-anaknya karena kita terlalu sibuk “menghormati privasi digital” sementara predator ideologis bebas berkeliaran.
Karena kalau kita masih sibuk berdebat soal “kebebasan berekspresi” sementara anak kelas 6 SD diajak membenci Pancasila lewat voice note di Roblox, maka kita sudah kalah sebelum perang benar-benar dimulai.
Solusinya sudah ada di depan mata. Tinggal satu pertanyaan:
Maukah kita bertindak sekarang, atau menunggu sampai bom berikutnya meledak di tangan anak kelas 6 SD?