Kegagalan Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah: Analisis Penyebab, Dinamika Sosial, dan Implikasi Kebijakan

Share:

Proyek pengembangan kawasan food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng) merupakan salah satu program strategis nasional (PSN) pemerintah yang dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Namun, setelah tiga tahun berjalan, proyek ini menemui jalan buntu dengan ribuan hektare lahan terbengkalai, ditumbuhi semak belukar, bahkan ada ratusan hektare yang dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit swasta. Laporan media menyebutkan para petani mengaku menyerah menanam padi setelah beberapa kali gagal panen. Fenomena ini bukanlah kejadian baru, melainkan merupakan pengulangan kesalahan besar masa lalu yang menciptakan sebuah studi kasus mendalam tentang konflik antara ambisi pertanian skala besar, batasan ekologis alami, dan aspirasi sosial masyarakat lokal.

Faktor Teknis: Ketidakcocokan Ekosistem Gambut sebagai Basis Pertanian Padi

Kegagalan proyek food estate di Kalimantan Tengah memiliki akar yang sangat dalam pada aspek teknis dan ekologis, terutama terkait pemilihan lokasi di lahan gambut. Karakteristik fisik, kimia, dan hidrologis lahan gambut di wilayah ini sejak awal tidak mendukung untuk budidaya tanaman padi secara intensif. Lahan gambut dikenal memiliki kedalaman yang seringkali melebihi ambang batas aman untuk pertanian, daya dukung rendah terhadap beban, serta kesuburan yang sangat miskin. Banyak sumber menyebut bahwa kedalaman gambut di blok-blok tertentu, seperti di blok B, mencapai 3,9 meter, jauh di atas batas aman 3 meter yang direkomendasikan untuk pertanian. Lahan dengan kedalaman lebih dari 2-3 meter umumnya tidak sesuai untuk padi menurut banyak ahli.

Aspek kimia lahan gambut adalah masalah utama yang mematikan bagi produktivitas padi. Tanah gambut bersifat sangat asam (pH tinggi), sehingga tidak cocok untuk tanaman padi yang membutuhkan pH netral sekitar 5-6. Menurut Leonard S. Ampung, Plt Sekda Kalteng, kondisi asam yang parah dapat terjadi akibat rekayasa pengairan yang salah, yaitu pengeringan lahan gambut melalui kanalisasi. Pengeringan ini menyebabkan oksidasi bahan organik dan lapisan pirit (sulfida besi) yang terpendam. Proses oksidasi pirit ini melepaskan senyawa asam yang sangat kuat, menurunkan pH air hingga di bawah 3,5—kondisi yang sangat toksik dan mematikan bagi tanaman padi. Data lapangan menunjukkan bahwa dari 243.216 hektare lahan eks-PLG, hanya 1% yang dinilai sesuai untuk budidaya padi, sedangkan sisanya memiliki kesesuaian sedang hingga rendah karena faktor keasaman dan kandungan zat racun. Bahkan, varietas unggul padi yang digunakan oleh pemerintah dianggap kurang adaptif terhadap kondisi lahan gambut masam dan kurang subur.

Masalah hidrologi adalah tantangan terbesar lainnya. Lahan gambut di Kalteng cenderung selalu tergenang secara alami. Untuk bisa ditanami padi, lahan harus dikeringkan melalui sistem drainase. Namun, pembuatan saluran drainase dan irigasi di lahan gambut telah terbukti merusak kubah air alami, menyebabkan penurunan muka air tanah, dan meningkatkan risiko kebakaran lahan (karhutla). Pembukaan kanal drainase membuat gambut kering, rentan kebakaran, dan merusak ekosistem. Sebaliknya, jika tidak ada sistem drainase yang efektif, lahan akan tetap tergenang dalam waktu lama, menyebabkan tanaman padi mati tenggelam. Sistem manajemen air yang buruk, seperti saluran irigasi yang dibangun sembarangan tanpa pintu air untuk mengendalikan luapan sungai, menjadi penyebab utama gagal panen. Petani di Pulang Pisau melaporkan hasil panen mereka hanya mencapai 1,5 ton per hektar, jauh di bawah target 3,5–4 ton per hektar, karena banjir dan genangan air. Bahkan di lahan tadah hujan, genangan air yang terlalu dalam justru menurunkan produksi padi. Studi lapangan menemukan bahwa meskipun benih, kapur, dan pestisida sudah dibagikan kepada petani, namun karena infrastruktur irigasi belum berfungsi baik, lahan tetap tergenang dan tanaman mati.

Teknologi pertanian modern yang diterapkan juga seringkali tidak sesuai dengan karakteristik lahan. Penggunaan traktor roda dua atau empat, mesin tanam (jarwo transplanter), dan combine harvester seringkali mandul karena kondisi lahan yang lembek, berlumpur, dan sulit dijangkau oleh alat berat. Selain itu, penerapan sistem tanam modern seperti “tabur” (broadcasting) tanpa pertimbangan musim air pasang dan keluarnya hama tikus justru menyebabkan bibit padi hanyut dan gagal tumbuh. Sementara itu, praktik tradisional pengairan berselang (intermiten) yang diajarkan oleh petani lokal justru lebih efektif dalam menekan hama dan penyakit serta menjaga kesehatan tanah, tetapi diabaikan oleh pemerintah. Akhirnya, kegagalan agronomis ini tercermin nyata dari data produksi. Di Kabupaten Katingan, hasil panen padi di lahan gambut hanya 1,9 ton/ha, jauh lebih rendah dibanding lahan mineral di Lumajang (7,2 ton/ha) dan Semarang (7,3 ton/ha). Meski Menteri Pertanian klaim produktivitas naik dari di bawah 2 menjadi 4 metrik ton/ha, angka ini masih jauh dari target dan di bawah rata-rata nasional 5,1-5,2 ton/ha.

Parameter TeknisDeskripsi Masalah di
Lahan Gambut
Kalimantan Tengah
Dampak Terhadap
Produksi
Kedalaman Gambut> 3 meter, melebihi
batas aman 3m untuk
pertanian.
Daya dukung lahan
rendah, risiko subsi-
dence (land subsidence).
pH TanahSangat asam (<3.5),
akibat oksidasi pirit.
Racun bagi tanaman
padi, pertumbuhan
terhambat, gagal total.
Ketersediaan NutrisiRendah (kesuburan
rendah), kandungan
NPK rendah.
Produksi rendah, butuh pupuk sintetis dalam
jumlah besar.
Tata Air (Drainase)Hidrologi alami ter-
ganggu, sistem drainase tidak memadai.
Banjir meluas, genang-
an air permanen,
tanaman tenggelam.
Tata Air (Irigasi)Saluran irigasi rusak,
tidak berfungsi optimal,
pintu air hilang.
Kekeringan saat
kemarau, genangan
saat hujan, gagal panen.
Teknologi PertanianTraktor dan alsintan
lainnya tidak efektif di
lahan lembek.
Produksi turun drastis,
biaya operasional tinggi,
efisiensi rendah.

Dinamika Sosial-Masyarakat: Konflik Agraria, Keterasingan Petani, dan Kerusakan Lingkungan

Di balik kompleksitas teknis, kegagalan proyek food estate di Kalteng dipicu oleh dinamika sosial yang dalam dan konflik struktural antara agenda nasional sentralis dengan hak-hak masyarakat lokal. Salah satu akar masalah utama adalah konflik agraria yang muncul akibat tumpang tindih izin dan pengalihan lahan. Pada tahun 2020, Desa Tewai Baru di Kabupaten Gunung Mas telah dialokasikan untuk program perhutanan sosial, namun pada bulan yang sama proyek food estate mulai dilaksanakan di lahan tersebut. Hal serupa terjadi di Desa Tajepan dan Palingkau Asri, di mana 274 hektare lahan food estate tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Wira Usahatama Lestari (WUL). Investigasi menemukan bahwa pelanggaran ini diduga bermula dari aksi mantan perangkat desa yang menjual lahan warga tanpa sepengetahuan mereka. Perusahaan-perusahaan seperti PT Bangun Cipta Mitra Perkasa (PT BCMP) dan PT WUL yang memiliki riwayat karhutla berulang juga terlibat dalam pengembangan lahan di kawasan eks-PLG, menambah kompleksitas konflik agraria.

Hubungan antara instansi pengelola proyek dan petani lokal sangat reaktif dan penuh ketidakpercayaan. Pemerintah gagal melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Sosialisasi yang minim menyebabkan petani awalnya ragu dan menolak partisipasi. Saat proyek berjalan, petani hanya dianggap sebagai “objek program” atau tenaga kerja murah, bukan sebagai mitra strategis. Mereka tidak diberi masukan atau pendampingan yang cukup untuk mengelola lahan baru dan menggunakan teknologi modern. Akibarnya, ketika gagal panen pertama kali terjadi, petani tidak memiliki kapasitas untuk mengevaluasi penyebabnya atau mencari solusi alternatif. Mereka dihadapkan pada dilema: terus menanam di lahan yang terbukti gagal, atau menyerahkan lahan mereka. Banyak petani yang memilih menyerah dan beralih ke komoditas lain seperti tanaman semusim, sayuran, atau beralih sepenuhnya ke perkebunan sawit, termasuk menjual lahan mereka sendiri. Kisah Sanal (69) dan Yamani di Desa Tajepan yang dua kali gagal panen dan kemudian menyerah adalah contoh konkret dari fenomena ini.

Sosial-ekonomi masyarakat lokal juga sangat terdampak negatif. Produktivitas pertanian yang rendah dan gagal panen menyebabkan pendapatan rumah tangga menurun drastis. Pendapatan rata-rata masyarakat di desa-desa terdampak food estate berkisar antara 137,7–172,18 USD/bulan, yang lebih rendah daripada Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Pulang Pisau pada tahun 2020 (202,92 USD). Di Desa Ria-Ria, sebanyak 30% rumah tangga dilaporkan kekurangan beras. Meskipun pemerintah berjanji memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi petani gagal panen, hal itu tidak disertai dengan peningkatan kapasitas atau solusi jangka panjang. Ketergantungan masyarakat pada lahan gambut yang mereka gunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari pun terancam, karena proyek ini dijalankan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat adat.

Selain itu, konversi lahan gambut dan hutan primer menuju food estate membawa dampak lingkungan dan sosial yang luas. Pembukaan lahan besar-besaran menyebabkan hilangnya tutupan pohon seluas 2.945,26 hektare pada 2022 di kawasan eks-PLG saja. Ini berarti hilangnya habitat satwa liar penting seperti orangutan (Pongo pygmaeus) dan spesies endemik lainnya. Banjir di daerah sekitar lahan food estate juga meningkat tiga kali lipat pasca-pembukaan hutan, dari maksimal 50 cm menjadi hingga 150 cm. Masyarakat lokal menyaksikan bagaimana lahan-lahan basah yang dahulu berfungsi sebagai daerah resapan air dan penyangga banjir kini berubah menjadi lahan tidur atau perkebunan sawit, sementara mereka sendiri harus berjuang melawan banjir dan kekeringan yang semakin parah. Program ini, yang seharusnya meningkatkan ketahanan pangan, malah meningkatkan ketidakpastian pangan dan ketimpangan sosial di kalangan masyarakat lokal.

Analisis Kebijakan: Pelanggaran Regulasi dan Strategi Manajemen yang Keliru

Kegagalan proyek food estate di Kalimantan Tengah merupakan manifestasi dari kebijakan yang rapuh, pelanggaran regulasi, dan pendekatan manajemen yang fundamental salah. Dari segi legalitas, proyek ini menabrak aturan-aturan lingkungan yang sudah ada. Keputusan Presiden Joko Widodo pada April 2020 untuk membuka 900.000 hektare lahan gambut di Kalteng bertentangan langsung dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 71/2014 jo. PP No. 57/2016 tentang Pengelolaan Ekosistem Gambut, yang melarang konversi lahan gambut fungsi lindung. Lebih lanjut, Peraturan Menteri LHK No. 24/2020, yang seharusnya menjadi payung hukum, justru memungkinkan perubahan peruntukan kawasan hutan lindung untuk food estate, berpotensi melanggar Pasal 26 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang tidak mencantumkan food estate sebagai bentuk pemanfaatan hutan lindung. Bahkan, Permen LHK No. 7 Tahun 2021 yang mengizinkan pemanfaatan kawasan hutan lindung dinilai ambigu karena tidak jelas kriteria “tidak sepenuhnya berfungsi lindung”, membuka celah besar bagi deforestasi.

Perencanaan strategis proyek juga cacat dari awal. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa perencanaan tidak didasarkan pada data valid dan tidak sesuai dengan praktik pertanian berkelanjutan. Ada ketidakselarasan antara data awal pemerintah dan realitas di lapangan. Misalnya, pemerintah menyatakan ada 165.000 hektare lahan aluvial (tanah mineral) di eks-Proyek Lahan Gambut (PLG), namun hasil survei lapangan menemukan bahwa sebagian besar adalah lahan gambut. Bahkan di areal yang sebelumnya ditetapkan sebagai lokasi food estate, ternyata sudah terdapat HGU perusahaan sawit, menunjukkan kegagalan koordinasi antar kementerian dan instansi terkait. Pemilihan lokasi di eks-PLG era Soeharto, yang sudah dinyatakan gagal dan merusak lingkungan, merupakan langkah strategis yang sangat kontroversial dan berisiko tinggi. Belajar dari kegagalan PLG yang tidak melibatkan AMDAL di awal, proyek food estate era terbaru juga dituduh tidak melakukan kajian lingkungan strategis mendalam, hanya melakukan rapid assessment.

Secara manajemen, proyek ini dilaksanakan melalui pendekatan linier dan sentralistik yang melanggar prinsip-prinsip manajemen dasar. Menurut teori manajemen George R. Terry, keberhasilan suatu organisasi bergantung pada empat fungsi utama: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengendalian (controlling). Proyek food estate gagal di tahap perencanaan karena kurang matang, yang kemudian memengaruhi semua fungsi manajemen berikutnya. Ada tumpang tindih kewenangan dan kurangnya sinergi antar kementerian, yaitu Kementerian Pertanian (teknis pertanian), Kementerian PUPR (irigasi dan drainase), Kementerian LHK (izin dan konservasi), dan Kementerian Pertahanan (pengelolaan di Gunung Mas), tanpa adanya koordinator tunggal yang kuat. Komunikasi antar lembaga ini buruk, misalnya, dokumen UKL-UPL untuk kegiatan food estate tidak dibuat karena pihak Kementerian Pertanian beralasan lahan tersebut berasal dari Kementerian PUPR.

Implementasi proyek juga penuh dengan kendala operasional. Anggaran besar dialokasikan, mencapai Rp6 triliun untuk tahap pertama (2020-2023) dan rencana Rp105,9 triliun untuk periode 2025-2029, namun banyak ditemukan mangkrak atau tidak terserap dengan baik. Contohnya, di Desa Tewai Baru, 600 hektare lahan mangkrak karena kosongnya anggaran, dan alat-alat berat berkarat. Alat berat untuk proyek mangkrak dan tidak terpakai dilaporkan November 2022. Bahkan, klaim produksi oleh Kementan sering dituduh sebagai data palsu untuk menutupi kegagalan implementasi. Evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah sendiri, seperti pernyataan Stafsus Presiden Ari Dwipayana, hanya menyiratkan perlunya evaluasi terus-menerus tanpa memberikan gambaran konkret apa yang telah berhasil diperbaiki. Dengan demikian, kebijakan yang diterapkan tidak hanya melanggar regulasi dan merugikan lingkungan, tetapi juga menunjukkan kegagalan total dalam perencanaan, koordinasi, dan manajemen implementasi.

Dampak Luar Biasa: Deforestasi, Emisi Karbon, dan Ketergantungan Impor

Kegagalan proyek food estate di Kalimantan Tengah memiliki dampak yang jauh melampaui lahan-lahan tidur dan kekecewaan petani. Dampaknya bersifat eksternalisasi luas, menyangkut degradasi lingkungan global, kontribusi terhadap perubahan iklim, serta paradoks ketahanan pangan nasional. Pertama dan yang paling signifikan adalah dampak lingkungan, khususnya deforestasi dan pelepasan emisi karbon. Proyek ini telah menyebabkan hilangnya tutupan hutan primer di lahan gambut. Sebanyak lebih dari 1.500 hektare hutan telah dibuka untuk kegiatan food estate di Gunung Mas antara Januari-Oktober 2022, termasuk 700 hektare untuk perkebunan singkong. Di Merauke, Indonesia, konversi lahan gambut untuk proyek serupa melepaskan 427,2 ton karbon per hektare , dan di Kalteng, pembukaan vegetasi di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 1 meter melepaskan 62,25 metrik ton CO2 per hektare per tahun. Dengan luas area food estate yang besar, total emisi karbon dari deforestasi untuk proyek ini diperkirakan sangat besar, setara dengan 143,74% dari batas bawah emisi deforestasi tahunan Indonesia. Area hutan rawa gambut sekunder seluas 137 hektare di Desa Pilang, Gunung Mas, telah dibuka, yang notabene merupakan koridor vital bagi populasi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus).

Kedua, dampak global berupa peningkatan risiko kebakaran lahan dan hutan (karhutla). Pengeringan lahan gambut melalui kanalisasi adalah praktik yang telah terbukti memicu kebakaran hebat. Eksistensi lahan gambut yang sudah kering dan mudah terbakar telah menyebabkan terjadinya kebakaran luas di kawasan food estate. Pada 2023, tercatat 4.159,62 hektare lahan food estate terbakar, sebagian besar akibat lahan yang terbengkalai. Pada 2019, luas karhutla di eks-PLG mencapai 167.086 hektare, dan pada 2023, luas terbakar di kawasan FLEG eks-PLG mencapai 48.955 hektare. Perusahaan-perusahaan seperti PT Wira Usahatama Lestari (WUL) dan PT Bangun Cipta Mitra Perkasa (PT BCMP) yang beroperasi di kawasan yang sama juga memiliki riwayat karhutla berulang. Dengan kondisi iklim El Niño yang diperkirakan meningkatkan risiko kekeringan, potensi karhutla di lahan gambut yang telah dimanfaatkan oleh food estate menjadi sangat tinggi.

Ketiga, dampak paradoks terhadap ketahanan pangan nasional. Tujuan utama proyek adalah untuk meningkatkan kemandirian pangan dan menurunkan ketergantungan impor. Namun, realitasnya menunjukkan hal yang bertentangan. Setelah tiga tahun, produksi padi di Kalteng justru menurun dari 457.952 metrik ton pada 2020 menjadi 343.918 metrik ton pada 2022. Bahkan pada 2023, produksi nasional turut menurun. Sementara itu, Indonesia tetap bergantung pada impor beras, dengan volume impor mencapai 356.286 ton pada 2020 dan 500.000 metrik ton pada akhir 2022. Klaim dari Kementerian Pertanian bahwa proyek berhasil meningkatkan produksi padi menjadi 4,5 ton per hektare di Kalteng tampaknya tidak sejalan dengan banyak laporan lapangan yang menyebutkan produktivitas jauh di bawah target dan bahkan gagal total. Yang lebih ironis, sebagian lahan food estate yang gagal malah dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit swasta. Karena harga tandan buah segar (TBS) sawit lebih stabil dan laba lebih besar dibandingkan beras, perusahaan swasta justru mendapatkan keuntungan dari lahan yang ditinggalkan oleh pemerintah, sementara bangsa Indonesia terus bergantung pada impor beras. Dengan demikian, proyek ini tidak hanya gagal mencapai tujuannya, tetapi juga meninggalkan jejak lingkungan yang parah dan memperburuk ketidakpastian pangan jangka panjang.

Pelajaran dari Masa Lalu: Mengapa Proyek Serupa Berulang Lagi?

Studi kasus kegagalan food estate di Kalimantan Tengah bukanlah fenomena unik. Ia merupakan pengulangan cerita yang mirip dengan proyek-proyek besar serupa di masa lalu, terutama Mega Rice Project (MRP) era Presiden Habibie pada tahun 1990-an. MRP adalah proyek cetak sawah seluas satu juta hektare di Kalteng, yang juga dilakukan tanpa kajian hidrologi memadai dan tanpa memperhitungkan kondisi ekologis lahan gambut. Hasilnya, proyek ini gagal total, hanya menyelesaikan sekitar 110.000 hektare dan meninggalkan kerugian finansial hampir Rp7 triliun, serta kerusakan lingkungan serius berupa banjir besar dan kebakaran lahan. Proyek PLG era Soeharto, yang menjadi fondasi bagi MRP, juga dicabut pada 1998 karena perencanaan yang buruk dan dampak lingkungan serius. Ironisnya, pemerintah kembali memilih lokasi eks-PLG/MRP sebagai basis untuk food estate era terbaru, menunjukkan bahwa pelajaran berharga dari masa lalu sepertinya telah dilupakan atau sengaja diabaikan.

Alasan utama proyek-proyek serupa berulang lagi adalah karena mereka didasarkan pada pendekatan “rekayasa ekosistem” yang agresif, bukan “adaptasi terhadap ekosistem”. Prinsip dasar di balik semua proyek ini adalah bahwa lahan gambut, yang secara alami adalah ekosistem basah, dapat diubah menjadi lahan kering untuk pertanian padi melalui pembuatan kanal drainase dan sistem irigasi. Paradigma ini telah terbukti salah secara ilmiah. Lahan gambut adalah simbiosis unik antara air, bahan organik, dan tanaman, dan gangguan terhadap keseimbangan hidrologi ini menyebabkan degradasi permanen. Ketika air dikuras, bahan organik teroksidasi, lapisan pirit terpapar, dan lahan menyusut (land subsidence). Proyek-proyek ini juga seringkali dijalankan tanpa memahami atau memperhitungkan pengetahuan lokal dan praktik pertanian yang sudah berlangsung selama puluhan tahun di lahan rawa. Para ahli menekankan pentingnya mempelajari model-model pertanian lama yang berbasis pada pengelolaan air, seperti sistem irigasi intermiten (siram terputus) yang efektif menekan hama dan penyakit, serta menggunakan varietas padi lokal yang toleran terhadap kondisi genangan air dan keasaman.

Selain itu, pengulangan kegagalan ini juga dipicu oleh asumsi bahwa pertanian skala besar oleh entitas pemerintah atau BUMN akan lebih efisien dan berhasil daripada pertanian rakyat. Namun, pengalaman di Kalteng menunjukkan sebaliknya. Keberhasilan proyek di Desa Gedabung, Pulang Pisau, yang mencapai produktivitas 6 ton/ha, terjadi karena melibatkan petani dan pemerintah desa secara aktif, menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif lebih efektif. Sebaliknya, proyek-proyek besar yang sentralistik dan tidak melibatkan masyarakat cenderung gagal karena tidak memahami konteks lokal, dari cuaca hingga sosial ekonomi. Pendekatan “strong sustainability” yang menekankan perlindungan ekosistem sebagai modal dasar pembangunan, seharusnya menjadi landasan perencanaan, bukan justifikasi untuk menghancurkan ekosistem. Alih-alih, pemerintah memilih pendekatan “weak sustainability” yang menganggap sumber daya alam dapat digantikan oleh investasi manusia, sebuah asumsi yang telah terbukti salah di Kalteng.

Dalam konteks yang lebih luas, proyek-proyek serupa seperti MIFEE di Papua juga mengalami kegagalan serupa akibat ketergantungan pada lahan gambut, konflik agraria, dan biaya produksi yang tinggi. Guru Besar IPB, Dwi Andreas Santosa, menyatakan bahwa food estate gagal karena melanggar empat pilar pengembangan lahan pertanian skala besar: perencanaan berbasis data, keterlibatan masyarakat, kelayakan ekonomi, dan konservasi lingkungan. Semua pilar ini tampaknya telah dilanggar dalam proyek food estate di Kalteng. Dengan demikian, pengulangan kesalahan ini menunjukkan bahwa reformasi kebijakan dan perubahan paradigma adalah mutlak diperlukan. Pembelajaran dari masa lalu harus menjadi dasar bagi semua kebijakan pengelolaan lahan di masa depan, bukan sekadar catatan sejarah yang diabaikan.

Rekomendasi dan Arah Masa Depan: Menuju Model Pertanian yang Berkelanjutan

Berdasarkan analisis menyeluruh atas kegagalan proyek food estate di Kalimantan Tengah, dapat disimpulkan bahwa pendekatan besar-besaran, sentralistik, dan rekayasa-ekosistem yang diterapkan selama ini telah gagal total. Untuk menghindari pengulangan kesalahan serupa di masa depan, diperlukan rekomendasi strategis yang mencakup evaluasi menyeluruh, perubahan paradigma kebijakan, dan pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Langkah-langkah pertama yang harus diambil adalah evaluasi ulang yang transparan dan independen terhadap semua proyek food estate di Indonesia. Evaluasi harus melibatkan semua pihak, termasuk para ahli, LSM lingkungan, akademisi, dan tokoh masyarakat lokal. Tujuan utamanya adalah untuk mengevaluasi dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari proyek-proyek yang sudah berjalan, serta menentukan status lahan-lahan yang terbengkalai. Bagi lahan-lahan yang telah rusak parah, segera dilakukan proses restorasi ekosistem agar kembali berfungsi sebagai penyangga iklim dan daerah resapan air. Proyek-proyek yang sudah jelas tidak layak, seperti di lahan gambut (>1 meter) yang tidak memiliki HGU sah, seharusnya dihentikan dan lahan tersebut dikembalikan ke status konservasi.

Kedua, perlu adanya revisi total terhadap kebijakan dan regulasi. Pertama, Peraturan Menteri LHK No. 24/2020 dan peraturan turunannya yang memungkinkan konversi lahan gambut fungsi lindung harus dicabut atau direvisi untuk selaras dengan PP No. 71/2014. Kedua, seluruh proyek strategis nasional yang melibatkan konversi lahan harus melalui kajian lingkungan strategis (KLHS) yang mendalam dan melibatkan masyarakat sejak tahap awal. Tidak ada lagi kegiatan besar-besaran di lahan gambut, hutan lindung, atau kawasan kritis tanpa data ilmiah yang kuat dan persetujuan masyarakat.

Ketiga, pendekatan manajemen harus diubah dari sentralistik menjadi partisipatif dan berbasis masyarakat. Petani bukan lagi dianggap sebagai objek, tetapi sebagai subyek utama dalam proses perencanaan dan pengelolaan. Pemerintah harus melibatkan masyarakat lokal dalam menentukan komoditas apa yang sesuai dengan lahan mereka, kapan saatnya menanam, dan bagaimana cara memanen hasilnya. Penguatan kelembagaan petani melalui pembentukan korporasi atau kelompok tani yang mandiri dan berwawasan bisnis sangat penting, didukung oleh pendampingan yang berkelanjutan. Investasi seharusnya tidak hanya pada infrastruktur fisik seperti bendungan, tetapi juga pada peningkatan kapasitas SDM petani melalui pelatihan dan edukasi.

Keempat, arah pertanian di lahan rawa harus dirubah. Alih-alih memaksakan tanaman padi di lahan yang tidak cocok, prioritas harus diberikan pada diversifikasi pangan dan pengembangan komoditas non-pangan yang lebih sesuai dengan kondisi ekologis. Leonard S. Ampung menyarankan pengembangan padi ladang, singkong, jagung, umbi-umbian, dan hortikultura. Varietas padi lokal seperti padi Siam yang toleran genangan dan keracunan Fe seharusnya lebih didorong. Di lahan gambut dangkal (<1 meter) yang sudah terdegradasi, pertanian bisa dilanjutkan dengan menggunakan teknologi pengelolaan air yang tepat, seperti sistem talang-talang (macak-macak) dan tanaman penutup (cover crops) untuk menjaga keseimbangan hidrologi. Di lahan gambut yang lebih dalam, sebaiknya difokuskan untuk konservasi dan rehabilitasi, bukan pertanian.

Terakhir, perlu adanya transformasi mentalitas di kalangan pembuat kebijakan. Sukses pertanian tidak bisa diukur hanya dari luasan lahan yang dibuka atau tonase produksi yang dilaporkan, tetapi dari keberlanjutan ekosistem, kesejahteraan petani, dan ketahanan pangan yang nyata. Memaksa perubahan pola tanam dan mengejar target tanpa memperhatikan konteks lokal adalah pendekatan yang sudah terbukti merugikan. Sebagai gantinya, pemerintah harus mendorong model-model pertanian skala kecil yang berkelanjutan, karena mereka justru menyediakan sebagian besar pangan dunia. Dengan menerapkan rekomendasi-rekomendasi ini, Indonesia dapat belajar dari kesalahan di Kalimantan Tengah dan membangun sebuah sistem pertanian nasional yang lebih bijaksana, adil, dan berkelanjutan.

error: Content is protected !!