Laporan Langsung dari Ambon: Bagaimana Surat Kabar Batavia Memberitakan Akhir Perlawanan Pattimura (1818)

Share:

Pada awal tahun 1818, berita tentang berakhirnya perlawanan Pattimura dan pemberontakan di Kepulauan Saparua menjadi perhatian utama pemerintah kolonial di Batavia. Informasi ini disampaikan kepada publik melalui surat kabar Bataviasche Courant, sebuah media yang memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi resmi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Dua laporan utama mengenai peristiwa ini diterbitkan dalam dua edisi berbeda: yang pertama pada 9 Februari 1818, dan yang kedua, lebih lengkap dan lebih terperinci, pada 21 Februari 1818. Kedua laporan ini memberikan gambaran langsung tentang bagaimana pemerintah kolonial melihat dan menanggapi pemberontakan Pattimura serta langkah-langkah yang diambil untuk menumpasnya.

Berita ini terbit hanya dua bulan setelah penangkapan Kapitan Pattimura (Thomas Matulessy) pada bulan November 1817. Artinya, laporan ini lebih dekat dengan peristiwa aslinya dibandingkan dengan banyak tulisan sejarah yang muncul bertahun-tahun kemudian. Oleh karena itu, laporan ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi dalam memahami bagaimana kolonial Belanda melihat dan menilai perlawanan besar yang terjadi di Maluku.

Bataviasche Courant

Bataviasche Courant adalah surat kabar resmi pemerintah kolonial Belanda yang diterbitkan di Batavia (sekarang Jakarta) pada awal abad ke-19. Surat kabar ini pertama kali terbit pada tahun 1817, menggantikan Bataviasche Koloniale Courant yang sebelumnya diterbitkan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels sekitar tahun 1810.

Sebagai publikasi resmi, Bataviasche Courant berfungsi sebagai media komunikasi pemerintah kolonial, memuat berbagai informasi seperti pengumuman resmi, berita pemerintahan, dan perkembangan bisnis. Pada tahun 1828, nama surat kabar ini diubah menjadi Javasche Courant, dan terus berperan sebagai sumber informasi utama di Hindia Belanda.

Selama masa penerbitannya, Bataviasche Courant tidak hanya memuat berita resmi, tetapi juga menerima kiriman tulisan dari pembaca, mencerminkan dinamika masyarakat kolonial saat itu. Namun, kebebasan pers sangat terbatas, dan pemerintah kolonial menerapkan sensor ketat terhadap isi yang dianggap mengancam stabilitas atau kepentingan kolonial.

Sebagai sumber sejarah, arsip Bataviasche Courant memberikan wawasan berharga tentang kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Beberapa edisi lama surat kabar ini masih dapat diakses melalui arsip digital, seperti yang disediakan oleh Europeana.

LAPORAN PERTAMA: 9 FEBRUARI 1818

Pemberontakan yang Ditumpas: Perspektif Surat Kabar Batavia

Laporan dalam Bataviasche Courant mengonfirmasi bahwa pasukan kolonial Belanda telah berhasil merebut kembali kendali atas Kepulauan Ambon, termasuk pulau-pulau strategis seperti Haruku, Saparua, dan Seram. Disebutkan bahwa “penduduk Kepulauan Ambon telah ditundukkan dengan kekuatan senjata Yang Mulia,” menunjukkan bahwa pemberontakan telah berakhir dan para pemimpin perlawanan telah ditangkap atau dihukum mati.

Salah satu bagian yang paling mencolok dari laporan ini adalah bagaimana surat kabar tersebut menggambarkan eksekusi para pemimpin perlawanan. Kapten Thomas Matulessij (Kapitan Pattimura), bersama dengan perwira-perwiranya seperti Letnan Anthonij Rhebok, ditahan oleh pihak kolonial dan dijatuhi hukuman mati. Surat kabar ini mencatat bahwa beberapa pemimpin perlawanan lainnya telah dieksekusi di tempat, sementara sebagian lainnya menunggu vonis mereka di pengadilan kolonial.

Selain hukuman mati, surat kabar ini juga mencatat bagaimana Belanda menerapkan strategi bumi hangus. Banyak desa dibakar, dan penduduknya diperintahkan untuk membangun kembali rumah mereka di bawah pengawasan kolonial. Selain itu, produksi rempah-rempah seperti cengkeh kembali diawasi secara ketat oleh pemerintah kolonial, memastikan bahwa perdagangan tetap berjalan sesuai dengan kepentingan Belanda.

Kerugian dan Korban Jiwa: Versi Resmi Belanda

Surat kabar ini juga memuat jumlah korban jiwa yang jatuh dalam konflik tersebut. Menurut laporan yang diterima di Batavia, sebanyak sebelas tentara dan pelaut Belanda tewas, sementara tiga puluh tiga lainnya terluka. Dari pihak pribumi yang berpihak pada Belanda serta warga sipil, delapan orang tewas dan tiga puluh delapan lainnya mengalami luka-luka.

Namun, jumlah korban di pihak pemberontak tidak disebutkan secara rinci. Laporan ini hanya menyebutkan bahwa ribuan penduduk telah ditawan atau dieksekusi, sementara banyak yang melarikan diri ke hutan untuk menghindari penangkapan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun surat kabar ini mencoba menyajikan laporan yang bersifat “resmi”, tetap ada upaya untuk membatasi informasi mengenai seberapa besar dampak militer kolonial terhadap penduduk setempat.

Bataviasche courant – 1818-02-09 – KB, National Library of the Netherlands, Netherlands – Public Domain.

LAPORAN KEDUA: 21 FEBRUARI 1818

Dua belas hari setelah laporan pertama, Bataviasche Courant kembali menerbitkan berita yang lebih lengkap mengenai operasi militer di Maluku. Artikel ini memberikan gambaran kronologis tentang bagaimana pasukan kolonial berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang dikuasai para pemberontak.

Operasi Militer di Haruku dan Saparua

Pemerintah kolonial mengerahkan sekitar tiga ratus tentara reguler yang dibantu oleh pasukan tambahan dari suku Alfur dan warga Ambon bersenjata. Pasukan ini dibagi menjadi tiga divisi dan dipimpin oleh Mayor Meijer. Mereka diangkut menggunakan arumbai, korakora, serta beberapa kapal perang Belanda, termasuk fregat Maria Reigersbergen, korvet Iris dan Zwaluw, serta kapal sewaan Dispatch.

Serangan pertama diarahkan ke desa-desa Kailolo dan Pelauw di Pulau Haruku pada 2 dan 3 November 1817. Pasukan kolonial menghancurkan desa-desa tersebut dan mengeksekusi sekitar dua puluh kepala desa serta pemimpin pemberontakan.

Pada 6 November, Hulaliu dan Aboru juga mengalami nasib yang sama. Setelah keberhasilan di Haruku, ekspedisi berlayar ke Pulau Saparua pada 8 November.

Pada 9 November, pasukan Belanda mendarat di Porto dan menyerang pemberontak yang membangun pertahanan di sana serta di Haria. Sementara itu, pasukan di Benteng Duurstede yang dipimpin Kapten Lisnet melancarkan serangan dari dalam benteng.

Dengan dukungan tembakan dari kapal perang, pasukan kolonial akhirnya berhasil menghancurkan benteng-benteng pertahanan pemberontak dan membebaskan Benteng Duurstede. Mayor Meijer, dengan pasukannya, berhasil menembus pertahanan dari Porto.

Pertempuran di Ulath dan Ouw

Pada 10 November, pasukan kolonial menerima laporan bahwa pemberontak telah memperkuat pertahanan mereka di desa Ulath dan Ouw. Mayor Meijer segera memimpin pasukannya yang berjumlah 140 orang untuk menyerang kedua desa tersebut.

Pertempuran berlangsung sengit, terutama di Ouw, di mana pemberontak bertahan di benteng yang telah mereka bangun. Pasukan kolonial terus mendesak pertahanan musuh hingga akhirnya berhasil merebut benteng-benteng tersebut. Namun, dalam serangan ini, Mayor Meijer tewas akibat tembakan di leher saat menyerbu benteng ketujuh. Komando kemudian diambil alih oleh Kapten Gezelschap, yang akhirnya memastikan kemenangan pasukan kolonial.

Dalam pertempuran ini, Letnan Richemont gugur, sementara Kapten Krieger mengalami luka-luka.

Penangkapan Pattimura dan Ekspedisi ke Pulau Seram

Tidak lama setelah pertempuran ini, Pattimura, Antonie Reebok, dan Pattie dari Tiouw akhirnya ditangkap. Dengan tertangkapnya para pemimpin utama pemberontakan, pasukan kolonial pun bergerak ke Nusalaut, yang kemudian menyerah tanpa perlawanan berarti.

Namun, pemerintah kolonial masih melihat ancaman dari Pulau Seram, yang dianggap sebagai tempat perlindungan bagi sisa-sisa pemberontak. Oleh karena itu, ekspedisi laut dipimpin oleh Kapten Laut Groot dengan fregat Maria Reigersbergen, korvet Venus dan Iris, serta armada korakora dari Ternate. Pasukan darat dipimpin oleh Mayor van Driel.

Pada 1 Desember 1817, pasukan kolonial menyerbu Luhu (Seram), di mana mereka menghadapi perlawanan dari pemberontak. Desa-desa yang menjadi basis pemberontakan dihancurkan, dan beberapa benteng batu yang didirikan para pemberontak juga berhasil direbut.

Bataviasche courant – 1818-02-21 – KB, National Library of the Netherlands, Netherlands – Public Domain.

Mengapa Laporan Ini Penting?

Dibandingkan dengan tulisan-tulisan sejarah yang muncul bertahun-tahun kemudian, berita dalam Bataviasche Courant memberikan gambaran yang lebih akurat tentang bagaimana Belanda menilai dan merespons perlawanan Pattimura. Laporan ini tidak hanya mengonfirmasi kemenangan kolonial, tetapi juga menggambarkan bagaimana Belanda melihat perlawanan ini sebagai ancaman serius terhadap stabilitas mereka di Maluku.

Laporan ini juga memperlihatkan bagaimana surat kabar kolonial digunakan sebagai alat propaganda. Dengan menekankan keberhasilan militer dan minimnya kerugian di pihak Belanda, surat kabar ini mencoba menanamkan kesan bahwa perlawanan telah sepenuhnya dihancurkan dan situasi telah kembali terkendali.

Namun, kenyataannya jauh lebih kompleks. Meskipun Pattimura dan pemimpin perlawanan lainnya telah dieksekusi, semangat perjuangan rakyat Maluku tidak sepenuhnya padam. Perlawanan sporadis terus berlanjut dalam bentuk perlawanan kecil dan ketidakpatuhan terhadap aturan kolonial. Selain itu, eksekusi Pattimura pada bulan Desember 1817 justru menjadikannya simbol perjuangan rakyat Maluku melawan penjajahan, yang pada akhirnya diakui sebagai bagian dari sejarah nasional Indonesia.

Kesimpulan: Peran Surat Kabar dalam Memberitakan Pemberontakan

Laporan dalam Bataviasche Courant pada 9 dan 21 Februari 1818 memberikan wawasan penting tentang bagaimana pemerintah kolonial melihat perlawanan Pattimura dan bagaimana informasi ini disampaikan kepada publik di Batavia.

Laporan pertama pada 9 Februari lebih bersifat ringkas, hanya menyoroti bahwa pemberontakan telah berakhir dan pemimpinnya telah ditangkap. Namun, laporan kedua pada 21 Februari memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai strategi militer, pertempuran yang terjadi, dan korban yang jatuh di kedua belah pihak.

Bagi Belanda, berita ini adalah propaganda untuk menunjukkan keberhasilan mereka dalam mengendalikan wilayah jajahan. Namun, bagi masyarakat Maluku, berita ini menandai akhir dari salah satu perjuangan terbesar melawan kolonialisme Belanda.

Pattimura, meskipun ditangkap dan akhirnya dihukum mati pada Desember 1817, tetap menjadi simbol perlawanan rakyat Maluku. Perjuangannya tidak hanya dikenang dalam sejarah lokal tetapi juga menjadi bagian dari narasi perjuangan nasional Indonesia.

Sebagai salah satu sumber sejarah tertua mengenai peristiwa ini, Bataviasche Courant memberikan perspektif kolonial tentang bagaimana Belanda melihat dan menangani perlawanan di Maluku. Namun, di balik narasi kemenangan militer yang disajikan oleh surat kabar ini, kisah keberanian dan keteguhan hati rakyat Maluku tetap hidup dalam ingatan sejarah Indonesia.

error: Content is protected !!