Di tengah gemuruh dunia musik Belanda pada era 70-an dan 80-an, muncullah sebuah band yang bukan hanya memikat telinga, tetapi juga hati dan jiwa banyak orang: Massada. Lahir dari akar budaya Maluku yang kuat dan tumbuh di tanah Belanda yang penuh dinamika, Massada menjadi bukti nyata bahwa musik mampu menjadi jembatan antara dua dunia, dua budaya, dan berbagai generasi.
Didirikan pada tahun 1973 oleh Johnny Manuhutu di Huizen, Provinsi Holland Utara, Belanda, Massada bukan sekadar band. Mereka adalah simbol perjalanan identitas, perjuangan, dan kreativitas. Musik mereka merupakan cerminan warisan leluhur yang dipadukan dengan semangat zaman modern. Perpaduan Latin rock, funk, jazz, dan musik tradisional Maluku yang mereka bawakan tidak hanya memunculkan gaya baru dalam dunia musik, tetapi juga membawa suara komunitas yang jarang terdengar ke panggung utama.
Asal-Usul dan Pengaruh Budaya
Massada lahir di tengah gelombang eksperimen musik pada 1970-an, ketika anggota band, mayoritas keturunan Molukku, memanfaatkan warisan budaya mereka untuk menciptakan suara yang khas. Awalnya bernama The Eagles pada 1960-an, grup ini tampil di acara-acara komunitas Maluku. Karena nama The Eagles sudah digunakan oleh band asal Amerika Serikat yang mulai populer di Belanda, grup ini mengganti namanya menjadi Massada pada tahun 1973—terinspirasi dari nama sebuah benteng di Israel. Musik mereka menggabungkan samba, jazz, rock, dan nuansa tradisional Maluku, dengan pengaruh kuat dari artis seperti Santana, terutama dalam permainan gitar dan perkusi yang kaya. Meski sering dibandingkan dengan Santana, Johnny Manuhutu mengaku tidak mengenal band tersebut saat awal karier mereka, menegaskan orisinalitas visi Massada.
Salah satu kekuatan terbesar Massada terletak pada keberanian mereka untuk bereksperimen. Di saat dunia musik sedang mencari bentuk baru, Massada hadir dengan warna tersendiri. Gaya musik Massada, yang disebut Latin Rock/Percussion, menonjolkan perkusi ekstensif, menjadikan mereka pelopor di Belanda. Identitas Maluku mereka tercermin dalam lagu-lagu berbahasa Maluku, seperti Sajang É, yang tidak hanya menghibur tetapi juga menyuarakan kebanggaan budaya dan multikulturalisme. Tantangan sosial, seperti ketegangan terkait isu Maluku di Belanda pada 1970-an, sempat menghambat penampilan mereka, tetapi Massada tetap teguh menolak kekerasan dan fokus pada musik sebagai sarana persatuan.

Perjalanan Karier dan Puncak Kesuksesan
Karier Massada melonjak setelah memenangkan kompetisi band oleh majalah Muziekkrant OOR pada 26 Februari 1975. Meski menolak kontrak rekaman demi kebebasan artistik, mereka akhirnya merilis album debut Astaganaga pada 1978. Album ini menghasilkan hit seperti Latin Dance (posisi 17) dan Dansa (Don’t Quit Dancing) (posisi 23) di tangga lagu Belanda, memperkenalkan gaya Latin rock yang menggugah. Pada 1979, album Pukul Tifa memperdalam nuansa Maluku dengan single seperti Unknown Destination dan Arumbai. Penampilan mereka di festival Pinkpop 1979 dan tur ke Jerman menegaskan reputasi mereka sebagai performer live yang luar biasa.
Puncak kesuksesan datang pada 1980 dengan album Pusaka, yang menghasilkan Sajang É, lagu berbahasa Maluku pertama yang menjadi nomor satu di Belanda, juga populer di Belgia dan Jerman. Lagu ini, awalnya ditulis untuk dokumenter tentang anak-anak di negara berkembang, menunjukkan kepedulian sosial band. Massada juga menerima Conamus Silver Harp, penghargaan bergengsi untuk musisi muda kreatif, dengan juri memuji perpaduan unik budaya Maluku, ritme Amerika Selatan, dan teknik Barat.
Tantangan dan Perubahan
Pada 1981, album Baru menandai perubahan gaya ke arah funk dan Latin tanpa lagu berbahasa Maluku, dengan vokalis tamu Lisa Boray untuk single Tomorrow Has Its Own Sorrow. Keputusan ini kurang diterima penggemar dan beberapa anggota, menyebabkan penurunan popularitas. Beberapa anggota kunci, seperti Frans Eschauzier dan Zeth Mustamu, keluar dan membentuk grup lain seperti Massiada dan Bersama. Pada 1983, rencana tur ke Indonesia dibatalkan, dan band beralih ke proyek seperti soundtrack untuk film TV Joost dan serial Briefgeheim. Cover Vahevala pada 1986 hanya mencapai posisi 14 di Dutch Tipparade, menandakan penurunan aktivitas band di akhir 1980-an.
Kebangkitan dan Aktivitas Terkini
Massada bangkit pada 1995 ketika Johnny Manuhutu bergabung dengan Massada Revival Band, diikuti comeback resmi pada 1996 di Pasar Malam Besar, Den Haag. Mereka mulai tampil di festival besar, termasuk Java Jazz Festival di Indonesia (2006, 2009, 2016, 2017) dan konser emosional di Ambon Jazz Plus Festival, Maluku, pada 2009 dan 2016, yang memperkuat ikatan dengan tanah leluhur. Pada 2011, mereka memainkan Astaganaga secara keseluruhan di Paradiso, Amsterdam, dan tampil di Pinkpop Classic pada 2012. Tahun 2014 menandai perayaan 40 tahun dengan konser di Winterswijk, sementara 2016 menjadi momen perpisahan untuk perkusionis Nippy Noya, meskipun ia masih tampil sesekali.
Pada 2018, Massada merilis album live Baronda (CD/DVD) dan memulai tur promosi. Pada 2021, mereka diabadikan dalam episode Andere Tijden VPRO untuk memperingati 70 tahun kehadiran Molukker di Belanda. Tur 50 tahun pada 2023, bersama peluncuran buku Astaganaga, 50 tahun Massada di Theater Zuidplein, menegaskan keabadian mereka. Hingga 2025, Massada tetap aktif, tampil di klub, teater, dan festival, dengan musik mereka tersedia di platform seperti Spotify, menarik penggemar lama dan baru.

Diskografi dan Lagu Ikonik
Lagu-lagu ikonik seperti Sajang É, dengan irama menular dan melodi memikat, Arumbai dengan perkusi kompleks, dan Latin Dance, favorit penampilan live, menunjukkan keahlian musikal dan fleksibilitas genre mereka. Lagu-lagu ini tetap populer, mencerminkan kemampuan Massada untuk menggabungkan budaya dan inovasi.
Album Studio:
- Astaganaga (1978)
- Pukul Tifa (1979)
- Pusaka (1980)
- Baru (1981)
Album Live:
- Massada Live (1981)
- Massada 25 Years Live (DVD, 2005)
- Baronda (CD/DVD, 2018)
Single Terkemuka:
- Latin Dance (1978)
- Dansa (Don’t Quit Dancing) (1978)
- Unknown Destination (1979)
- Arumbai (1979)
- Sajang é (1980, hit nomor satu)
- Feelin’ Lonely (1980)
- I Never Had A Love Like This Before (1980)
- Vahevala (1986, cover)
Kompilasi:
- Album dalam seri Golden Years of Dutch Pop oleh Universal Records
Biografi Johnny Manuhutu

Johnny Manuhutu lahir pada 10 September 1948 di Cirebon, Indonesia. Ia adalah seorang musisi berdarah Belanda-Maluku yang dikenal sebagai pendiri, komponis, vokalis, dan pemain perkusi dari band latin rock legendaris Massada. Manuhutu merupakan satu-satunya anggota tetap dalam formasi band yang telah mengalami banyak perubahan personel sejak awal berdirinya.
Perjalanan hidup Johnny di dunia musik dimulai sejak usia dini. Pada tahun 1951, saat berusia satu setengah tahun, ia bersama keluarganya pindah ke Belanda. Disana, kecintaannya terhadap musik tumbuh, dan pada tahun 1963 ia mendirikan grup musik The Eagles yang sering tampil di berbagai acara komunitas Maluku. Awalnya ia berperan sebagai gitaris, namun setelah bergabungnya Chris Latul, Johnny pun beralih menjadi penyanyi dan pemain perkusi.
Tahun 1995 menjadi titik kebangkitan Johnny dengan membentuk Massada Revival Band, yang bahkan tampil di pernikahannya sendiri. Dari situ, ia kembali membangun Massada versi baru dengan beberapa formasi berbeda dan tetap aktif manggung di dalam maupun luar negeri, termasuk Indonesia yang rutin mereka kunjungi sejak 2006. Pada tahun 2023, untuk merayakan perjalanan panjangnya bersama Massada, Johnny menerbitkan buku berjudul Astaganaga 50 Tahun Massada.
Di luar Massada, Johnny Manuhutu juga aktif dalam berbagai proyek musik lainnya. Pada tahun 1980, ia memproduseri album yang menampilkan karya musisi amatir Maluku. Tahun 2011, ia membentuk Tropical All Stars bersama Edgar Burgos (Trafassi), Oscar Harris, Adolf Tevreden, dan Soca Boy Van B. King, dan bersama mereka ia merekam ulang lagu I’m Too Sexy untuk kegiatan amal. Ia juga sempat tampil bersama grup Latin Soul Connection yang dibentuk bersama saudaranya Jopie, Nippy Noya, dan anggota Asian Connection. Kiprahnya bahkan sempat muncul dalam acara televisi Het Mooiste Meisje van de Klas.
Hingga kini, Johnny Manuhutu tetap menjadi sosok sentral dalam dunia musik latin dan Maluku di Belanda, menginspirasi banyak musisi muda dengan dedikasi dan semangatnya yang tak pernah padam.
Warisan dan Dampak
Massada bukan sekadar band, tetapi simbol identitas Maluku dan kekuatan musik untuk melampaui batas budaya. Penampilan live mereka, dengan formasi perkusi yang dianggap terbaik di Belanda, adalah perayaan musik dan budaya yang menggerakkan penonton. Pengaruh mereka meluas ke generasi musisi, baik dalam komunitas Maluku maupun di luar, yang terinspirasi oleh suara inovatif dan akar budaya mereka. Konser di tempat seperti Gigant, Apeldoorn, pada Mei 2024, menunjukkan komitmen mereka pada multikulturalisme.
Warisan Massada adalah bukti bahwa musik dapat menyatukan berbagai budaya. Dari panggung Pinkpop hingga Java Jazz Festival, mereka telah menunjukkan bahwa ritme Maluku, dipadukan dengan Latin rock dan funk, memiliki daya tarik universal. Dengan lebih dari lima dekade berkarya, Massada tetap menjadi kekuatan unik dan abadi di dunia musik, merayakan masa lalu sambil menginspirasi masa depan.