Mengapa PKI Gagal Menaklukkan Maluku: Dari Penolakan Ideologi hingga “Gulag” di Pulau Buru, Sebuah Pelajaran tentang Benteng Identitas Lokal

Share:

Maluku, dengan segala keajaibannya, menjadi saksi bisu bagaimana sebuah ideologi raksasa seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) bisa runtuh sebelum bahkan sempat berdiri tegak. Pada tahun 1965, saat PKI menguasai jutaan hati di Jawa dengan janji revolusi kelas, di Maluku partai ini justru seperti ombak yang pecah di karang—tak pernah benar-benar menyentuh daratan. Dan ketika badai anti-komunis pasca-Gerakan 30 September (G30S) melanda, Pulau Buru di Maluku dipilih sebagai “gulag Indonesia,” tempat ribuan tahanan politik (tapol) PKI dibuang untuk kerja paksa dan “rehabilitasi.”

Ini bukan kebetulan semata, ketidakpopuleran PKI di Maluku dan pemilihan Buru adalah dua sisi mata uang yang sama, mencerminkan bagaimana identitas lokal bisa menjadi perisai terhadap gelombang ideologi nasional, sekaligus alat bagi rezim untuk membersihkan “hantu merah” dengan cara yang licik dan ekonomis. Ini adalah cerita tentang kekuatan budaya yang tak tergantikan, tapi juga tentang tragedi hak asasi manusia yang masih menghantui sejarah kita.

Struktur sosial Maluku, dengan sistem pela-gandong yang menekankan solidaritas antar-kampung, bukanlah tanah subur bagi narasi perjuangan kelas PKI. Di sini, masyarakat hidup dalam keseimbangan adat: tanah komunal, sagu dan kelapa milik bersama, tanpa ketimpangan tajam seperti di Jawa di mana tuan tanah menindas petani miskin. Program reformasi agraria PKI, yang radikal di mata petani Jawa, justru terasa mengancam di Maluku karena bisa merusak individualisasi tanah adat. Tambahkan lapisan agama—mayoritas Kristen dan Muslim yang saling berdampingan—dan Anda akan mengerti mengapa PKI dianggap racun. Ideologi komunisme, dengan citra ateisnya, bertabrakan dengan nilai-nilai spiritual yang kuat; propaganda anti-komunis yang menyebut PKI anti-Tuhan semakin memperkuat penolakan.

Pemilu 1955 menjadi bukti nyata: PKI hanya meraup 4.849 suara di Maluku, kalah telak dari Masjumi (112.227 suara) yang didukung umat Muslim, atau Parkindo (95.642 suara) dari kalangan Kristen. Dukungan PKI di sini sebagian besar dari migran Buton yang merasa terpinggirkan, bukan penduduk asli yang setia pada adat dan agama. Kekuatan dualisme kosmologis Maluku: harmoni salam-sarani (Muslim-Kristen) tak mudah digerus oleh ideologi yang mengasumsikan konflik universal. Di era ketika nasionalisme Sukarno bergolak, Maluku memilih jalan sendiri, dipengaruhi memori pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) 1950-an yang menolak intervensi pusat. PKI, sebagai bagian agenda Jakarta, terasa asing—seperti tamu yang tak diundang di pesta adat.

Ketika G30S meledak dan rezim Suharto naik melalui kudeta anti-komunis, penolakan ini menjadi aset strategis. Di Maluku, respons masyarakat adalah penolakan total: pembersihan pasca-1965 menargetkan kelompok kecil PKI, terutama Buton, yang dipaksa mengungsi ke Seram Selatan antara 1966-1968 untuk hindari stigma. Kisah Karel Satsuitubun, polisi Maluku yang gugur melawan pasukan Cakrabirawa, menjadi simbol kepahlawanan anti-PKI, dianugerahi Pahlawan Revolusi. Bahkan hingga kini, narasi ex-tapol di Ambon tetap tabu, nyaris terlupakan karena masyarakat lebih suka melupakan babak kelam itu.

Inilah yang membuat Maluku ideal untuk proyek selanjutnya: Pulau Buru sebagai tempat pembuangan tapol. Bukan hanya karena keterpencilannya—pulau tandus dengan pegunungan ganas dan lautan yang mematikan, di mana pelarian berarti bunuh diri—tapi juga karena “kebersihan ideologis” wilayah ini. Pramoedya Ananta Toer, salah satu tapol terkenal yang diasingkan ke sana, pernah menggambarkan betapa hutan di Buru tak seperti di Jawa—tak ada makanan liar, hanya kematian kelaparan atau serangan binatang buas menanti mereka yang berani kabur. PKI lemah di Maluku, jadi kecil risiko tapol mendapat simpati lokal; mereka terlihat sebagai “orang asing” di mata penduduk. Kemungkinan rezim Suharto mempertimbangkan hal ini: jika dibuang ke Jawa, tapol bisa memicu pemberontakan. Di Buru, isolasi geografis sempurna untuk “pulau tutupan,” tanpa jalur pelayaran reguler.

Tapi jangan anggap ini semata logistik; ada ambisi ekonomi dan politik yang lebih dalam. Mulai 1969, sekitar 12.000 tapol golongan B dipindah dari penjara overcrowding seperti Nusakambangan ke Buru berdasarkan Keputusan Presiden No. 16/1969. Mereka dipekerjakan paksa: membuka hutan, bangun irigasi, ciptakan sawah seperti 94 hektare di Unit IV—bagian dari program Pelita dan transmigrasi untuk jadikan Buru “lumbung beras.” Pramoedya Ananta Toer, tapol terkenal, menggambarkan kerja dari subuh hingga malam tanpa alat modern, “menggarap proyek apa saja untuk pembangunan.”

Ekonomisnya brilian: rezim hemat biaya, dapat tenaga kerja gratis untuk ekspansi. Politiknya? “Rehabilitasi” tanpa pengadilan, membersihkan nama di mata internasional—pembebasan 1978 disiarkan TVRI untuk “menyenangkan dunia luar.” Ide pendirian Pulau Buru sendiri sebagai kamp konsentrasi berasal dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, saat menangani pemberontakan partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1926-1927, yang mendirikan pembuangan Boven Digul di Papua. Seperti Gulag Siberia, tapol tak hanya dipenjara, tapi dieksploitasi.

Dalam konteks luas, ketidakpopuleran PKI di Maluku dan pemilihan Buru adalah metafor keragaman Indonesia: wilayah timur mengingatkan bahwa nasionalisme tak satu ukuran. Opini saya, ini kekuatan—mencegah radikalisasi—tapi juga risiko: fragmentasi dan stigma bagi minoritas seperti Buton atau ex-tapol. Hari ini, bekas barak Buru jadi monumen tragedi, mengingatkan jangan ulangi sejarah. Apa jika PKI sukses di Maluku? Mungkin konflik lebih besar. Tapi penolakannya memperkuat harmoni adat, meski dengan biaya darah. Ini pelajaran: di antara ombak dan doa Maluku, identitas lokal adalah benteng terbaik melawan badai politik, tapi juga pengingat bahwa kekuasaan sering mengeksploitasi ketenangan itu untuk agenda gelap.

error: Content is protected !!