Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila, sebuah momen yang bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan pengingat mendalam akan perjuangan sejarah dan fondasi ideologi negara. Di tahun 2025 ini, peringatan tersebut mengusung tema “Pancasila Perekat Bangsa Menuju Indonesia Raya”, yang seolah-olah menjadi panggilan tepat waktu di tengah situasi nasional yang penuh turbulensi. Tema ini bukan hanya slogan, tapi sebuah ajakan untuk merefleksikan bagaimana Pancasila—sebagai dasar negara—dapat menyatukan keragaman Indonesia yang luas, dari Sabang hingga Merauke, dalam menghadapi tantangan kontemporer.
Hari Kesaktian Pancasila lahir dari peristiwa tragis Gerakan 30 September (G30S) 1965, di mana upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) gagal, dan Pancasila dipandang sebagai “kesaktian” yang menyelamatkan negara dari ancaman ideologi asing. Presiden Soekarno pertama kali menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai hari peringatan ini, yang kemudian diperkuat oleh pemerintahan Orde Baru sebagai simbol ketahanan ideologi nasional. Namun, maknanya jauh melampaui sejarah kelam itu. Pancasila—dengan lima silanya: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—adalah manifesto kebangsaan yang dirancang untuk menyatukan suku, agama, ras, dan golongan yang beragam.
Bagi saya, peringatan ini bukan ritual kosong, tapi refleksi kolektif. Di era digital seperti sekarang, di mana informasi menyebar cepat dan seringkali memecah belah, Hari Kesaktian Pancasila mengingatkan kita bahwa ideologi negara ini bukan artefak museum, melainkan alat hidup untuk membangun harmoni. Tema tahun 2025, “Pancasila Perekat Bangsa Menuju Indonesia Raya”, menekankan peran Pancasila sebagai lem perekat yang kuat, mendorong bangsa menuju visi besar: Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat. Ini relevan karena “Indonesia Raya” bukan hanya lagu kebangsaan, tapi impian tentang negara yang kuat secara ekonomi, sosial, dan politik, di mana setiap warga merasakan keadilan.
Melihat kondisi Indonesia pada akhir September 2025, tema ini terasa seperti obat penawar bagi luka bangsa. Sejak akhir Agustus, negeri ini diguncang gelombang demonstrasi besar di hampir seluruh kota besar, yang mengingatkan pada krisis 1998. Demonstrasi ini dipicu oleh isu-isu seperti ketidakadilan ekonomi, korupsi, dan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-rakyat, termasuk dominasi negara dalam sektor ekonomi melalui BUMN, TNI, dan Polri. Ratusan ekonom bahkan menyebut Indonesia dalam “darurat ekonomi”, dengan desakan untuk reformasi mendalam agar kembali ke jalur keadilan sosial.
Secara ekonomi, meski pertumbuhan PDB mencapai 5,12% pada kuartal II 2025—tertinggi dalam beberapa periode terakhir—fundamental nasional tetap solid, dengan konsumsi swasta dan pemerintah menyumbang 62,53% terhadap PDB, serta proyeksi pertumbuhan 4,9% sepanjang tahun. Namun, gejolak sosial-politik telah menekan pasar: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 1,21% menjadi 7.736 pada 1 September 2025, sementara imbal hasil obligasi pemerintah naik tipis. Di tengah ini, pemerintah menegaskan dukungan untuk stabilitas pasar modal dan optimisme ekonomi, tapi realitas di lapangan menunjukkan polarisasi yang dalam: kelompok masyarakat merasa terpinggirkan, sementara elite politik sibuk dengan dinamika internal.
Di sinilah relevansi Pancasila sebagai “perekat bangsa” menjadi krusial. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, langsung menjawab polarisasi yang timbul dari demo-demo ini. Alih-alih membiarkan perbedaan pendapat menjadi jurang pemisah, Pancasila mendorong dialog dan musyawarah, seperti yang diamanatkan dalam sila keempat. Bayangkan jika tema ini diimplementasikan: pemerintah bisa menggunakan Pancasila sebagai basis untuk reformasi kebijakan fiskal yang lebih inklusif, seperti arah baru kebijakan fiskal yang menyalakan mesin pertumbuhan melalui investasi dan konsumsi. Di sisi sosial, Pancasila bisa menjadi alat untuk mengatasi intoleransi dan ketidakadilan, memastikan bahwa “keadilan sosial bagi seluruh rakyat” bukan slogan, tapi kenyataan.
Situasi saat ini adalah ujian kesaktian Pancasila itu sendiri. Di tengah maraknya hoaks dan provokasi di media sosial, yang sering memperburuk polarisasi, kita perlu mengembalikan Pancasila ke akarnya—bukan sebagai alat kekuasaan, tapi sebagai kompas moral. Misalnya, dalam menghadapi darurat ekonomi yang disebutkan para ekonom, pemerintah harus prioritaskan keadilan sosial, seperti redistribusi kekayaan dan pemberdayaan UMKM, agar “menuju Indonesia Raya” bukan mimpi elite semata. Jika tidak, gejolak seperti demo September 2025 bisa berlanjut, mengancam stabilitas yang telah dibangun pasca-pandemi.
Lebih lanjut, relevansi ini terlihat dalam visi jangka panjang seperti Indonesia Emas 2045, di mana Pancasila menjadi fondasi untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Namun, tanpa persatuan, visi itu hanyalah ilusi. Lihat saja bagaimana demonstrasi telah memengaruhi kepercayaan investor; ini menunjukkan bahwa stabilitas politik adalah prasyarat untuk kemajuan ekonomi. Pancasila, sebagai perekat, bisa menjadi solusi dengan mendorong inklusivitas: melibatkan masyarakat sipil, pemuda, dan kelompok minoritas dalam pengambilan keputusan, sehingga menghindari dominasi yang berisiko melemahkan aktivitas ekonomi lokal.
Tantangan terbesar adalah bagaimana menerjemahkan tema ini ke dalam aksi nyata. Di era globalisasi, Pancasila sering dianggap usang oleh generasi muda yang lebih tertarik pada tren internasional. Namun, justru di sinilah kekuatannya: Pancasila fleksibel, mampu beradaptasi dengan isu kontemporer seperti perubahan iklim, digitalisasi, dan ketimpangan. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, harus intensifkan pendidikan Pancasila di sekolah dan masyarakat, bukan sekadar upacara, tapi diskusi mendalam tentang aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, masyarakat juga bertanggung jawab. Dalam situasi seperti sekarang, di mana unjuk rasa menjadi ekspresi kekecewaan, kita harus gunakan Pancasila sebagai panduan untuk protes damai, bukan kekerasan. Harapan saya, Hari Kesaktian Pancasila 2025 menjadi titik balik: dari gejolak menuju rekonsiliasi, di mana bangsa bersatu untuk membangun Indonesia Raya yang adil dan makmur.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2025, dengan tema “Pancasila Perekat Bangsa Menuju Indonesia Raya”, adalah panggilan untuk bangsa Indonesia merefleksikan sejarah sambil menghadapi realitas saat ini. Di tengah demo, ketidakpastian ekonomi, dan polarisasi politik, Pancasila bukanlah relik masa lalu, melainkan kunci untuk persatuan dan kemajuan. Mari kita komitmenkan diri: implementasikan sila-sila Pancasila dalam kehidupan berbangsa, agar Indonesia benar-benar menjadi negara raya yang disegani dunia. Jika tidak, kita hanya akan mengulang kesalahan sejarah, bukan belajar darinya.
Selamat Hari Kesaktian Pancasila—semoga kesaktian itu hidup dalam setiap hati Indonesia.