Jumat Agung selalu menjadi momen refleksi bagi banyak orang. Hari di mana umat Kristiani mengenang penyaliban Yesus Kristus sebagai bentuk pengorbanan tertinggi demi menebus dosa manusia. Namun, di negeri ini, dosa yang terus menjalar seperti wabah bukanlah sekadar kesalahan pribadi, melainkan kejahatan yang menghancurkan tatanan sosial: korupsi.
Bayangkan seandainya Jumat Agung tahun ini menjadi momentum sakral yang lebih ‘praktis’. Sebuah perayaan keadilan yang lebih nyata, dengan satu tambahan kecil dalam prosesi penyaliban: para koruptor diperlakukan seperti para penjahat di zaman Romawi kuno—digiring ke Golgota dengan salib di pundak mereka. Tapi tunggu dulu, bukankah mereka sudah terlalu terbiasa hidup dalam kemewahan? Membiarkan mereka memikul beban adalah hal yang mungkin akan mengagetkan sistem metabolisme mereka.
Kita bisa membayangkan betapa dramatisnya momen itu. Para tersangka korupsi yang biasanya tersenyum lebar di depan kamera dengan rompi oranye KPK, kali ini benar-benar diuji nyalinya. Tidak ada lagi sidang bertele-tele, tidak ada lagi alasan kesehatan mendadak yang mengharuskan mereka dirawat di rumah sakit mewah. Kali ini, pengadilan rakyat yang memutuskan nasib mereka.
Di puncak bukit eksekusi, kita bisa melihat para pemimpin yang selama ini gemar menyalahgunakan dana publik dipajang dengan plakat bertuliskan dosa masing-masing: ‘Mengorupsi Dana Bansos’, ‘Mencuri Anggaran Pendidikan’, ‘Menggelembungkan Proyek Infrastruktur’. Masyarakat yang selama ini hanya bisa menonton sandiwara hukum di televisi, akhirnya mendapat kesempatan untuk menyaksikan keadilan dalam bentuknya yang paling puritan.
Mungkin terdengar kejam, tapi bukankah selama ini rakyat yang telah disalibkan oleh kerakusan mereka? Anak-anak yang tidak bisa sekolah karena dana beasiswa dikorupsi, pasien yang kehilangan nyawa karena fasilitas rumah sakit tak layak akibat anggaran kesehatan dikorupsi, petani yang tetap miskin karena subsidi pupuk malah mengalir ke kantong pejabat. Bukankah ini kejahatan yang lebih biadab dibanding sekadar mencuri roti karena lapar?
Namun, bagaimana jika penyaliban ini bukan sekadar metafora? Bagaimana jika ada bentuk hukuman sosial yang lebih keras bagi mereka yang telah merampok masa depan rakyat? Bayangkan jika mereka harus berbaris di jalanan dengan papan bertuliskan kejahatan mereka, dipaksa mendengar suara rakyat yang telah mereka khianati. Atau lebih jauh lagi, diharuskan mengembalikan setiap rupiah yang mereka curi hingga generasi penerus mereka pun harus ikut menanggungnya. Apakah itu cukup untuk menghapus jejak dosa mereka?
Tapi, pertanyaannya: apakah mereka takut? Apakah pengikutnya jera?
Tidak. Mereka tidak takut, dan pengikutnya pun tidak jera.
Korupsi bukan hanya soal individu, tapi budaya yang sudah mengakar. Penyaliban—baik secara harfiah maupun simbolik—tidak akan cukup jika sistem masih memberi celah bagi mereka untuk lolos. Selama hukuman hanya tontonan, selama ada jalan belakang untuk bebas, selama mereka tetap bisa menikmati hasil jarahan setelah ‘pertunjukan selesai,’ rasa takut hanyalah fatamorgana.
Dan para pengikutnya? Mereka belajar satu hal: bukan berhenti korupsi, tapi lebih lihai dalam melakukannya.
Ironisnya, dalam kenyataan, para koruptor justru memiliki jalan keluar yang lebih mudah. Dengan uang yang mereka curi, mereka bisa membeli keadilan, menyewa pengacara mahal, bahkan menikmati ‘pengasingan’ di luar negeri. Mereka tak perlu takut pada konsekuensi moral, karena di negeri ini, moralitas sering kali tunduk pada kepentingan ekonomi dan politik.
Tentu saja, kita masih hidup di era demokrasi dan hukum, sehingga metode ini tidak bisa diterapkan secara harfiah. Namun, ada satu pertanyaan yang layak kita renungkan: jika Yesus yang tak bersalah disalibkan untuk menebus dosa manusia, mengapa koruptor yang begitu banyak dosanya justru bebas menikmati hasil jarahan mereka? Mungkin, pada Jumat Agung ini, bukan sekadar doa dan refleksi yang dibutuhkan, tapi sebuah revolusi terhadap sistem yang membiarkan para pencuri berdasi terus tertawa di atas penderitaan rakyat.
Jumat Agung adalah pengingat akan pengorbanan demi kebaikan. Mungkin sudah saatnya kita bertanya: siapa yang akan berkorban untuk menebus bangsa ini dari dosa korupsi? Atau haruskah kita terus membiarkan para perampok berkeliaran, sambil berharap keajaiban turun dari langit?