Spica Alphanya Tutuhatunewa adalah contoh nyata bagaimana akar lokal dapat menjadi fondasi bagi kepemimpinan global. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, Ambon—sebuah pilihan yang mencerminkan kedekatannya dengan tantangan pembangunan daerah, ketahanan pangan, dan keberlanjutan sumber daya alam di Maluku. Pendidikan di kampus lokal ini bukan sekadar awal akademis, melainkan pernyataan komitmen terhadap tanah kelahirannya.
Yang luar biasa adalah transisi karier Spica—dari lulusan pertanian menjadi salah satu diplomat perempuan paling berpengaruh di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Perjalanan ini menunjukkan bahwa fondasi intelektual tidak harus kaku; ilmu tentang sistem, keberlanjutan, dan pengelolaan sumber daya ternyata sangat relevan dalam diplomasi modern yang semakin berfokus pada isu lingkungan, ketahanan pangan global, dan ekonomi hijau. Keberhasilannya mencerminkan bahwa talenta dan kepemimpinan sejati bisa tumbuh dari mana saja—termasuk dari kampus di kawasan timur Indonesia yang seringkali kurang mendapat sorotan nasional.
Lintasan Karier Tangguh: Dari Akademisi Unggul Menjadi Pelopor Diplomasi Modern
Spica Alphanya Tutuhatunewa telah membuktikan dirinya sebagai salah satu sosok paling tangguh, inspiratif, dan berprestasi dalam jajaran diplomat senior Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Lintasan karier yang ia jalani bukanlah sekadar serangkaian penunjukan jabatan, melainkan sebuah perjalanan yang didorong oleh dedikasi, rekam jejak cemerlang, dan kapabilitas intelektual yang mapan. Profilnya merupakan studi kasus tentang bagaimana gabungan antara pendidikan akademis yang kuat, pengalaman administratif yang luas, dan pemahaman mendalam tentang dinamika geopolitik dapat membentuk seorang pemimpin strategis di panggung internasional.
Pencapaian monumental dalam karier administratifnya adalah pengangkatannya sebagai Direktur Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) di Jakarta. Jabatan ini menempatkannya di garda depan dalam proses pembentukan generasi diplomat masa depan Indonesia. Peran ini melampaui sekadar fungsi manajerial; ia secara langsung berkontribusi pada pengembangan kapasitas, pelatihan, dan mentori para calon diplomat. Pengangkatan seorang individu dengan rekam jejak lapangan yang solid untuk memimpin institusi pendidikan utama bagi diplomat muda menunjukkan bahwa kemampuannya diakui tidak hanya dalam operasi diplomatik praktis, tetapi juga dalam ranah teoretis dan strategis. Ini adalah indikasi bahwa institusi Kementerian Luar Negeri melihat potensi leadership-nya untuk membangun fondasi yang lebih kuat bagi organisasi di masa depan. Pengalaman ini memberinya wawasan unik tentang siklus hidup seorang diplomat, mulai dari fase pendidikan hingga implementasi kebijakan di lapangan, yang tentu saja akan sangat berharga ketika ia menempati posisi yang lebih tinggi dan strategis. Keberhasilan dalam mempersiapkan generasi baru diplomat mencerminkan visi jangka panjang dan komitmennya terhadap keberlanjutan institusional di Kementerian Luar Negeri.
Sebelum menjabat sebagai Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa (Pusat SKK Amerop), salah satu posisi kepemimpinan tertinggi di Kemenlu, Spica juga pernah menjabat sebagai Konsul Jenderal untuk Victoria dan Tasmania pada tahun 2018. Penunjukan ini menempatkannya di garis depan diplomasi non-resident, di mana ia bertanggung jawab atas perlindungan warga negara Indonesia (WNI) di wilayah tersebut serta promosi kepentingan Indonesia di Australia selatan. Tugas sebagai Konsul Jenderal mensyaratkan kemampuan untuk bekerja secara mandiri, membuat keputusan cepat, dan menjalin hubungan yang erat dengan pemerintah daerah, komunitas WNI, serta entitas bisnis lokal. Pengalaman ini mengasah kemampuannya dalam diplomasi praktis, manajemen krisis, dan advokasi komunitas. Ia harus mampu menerjemahkan kebijakan luar negeri dari Jakarta ke tingkat lokal, menyesuaikan pendekatan agar sesuai dengan konteks regional, dan secara efektif mewakili Indonesia di sebuah negara bagian yang memiliki karakteristik budaya dan politiknya sendiri. Pengalaman ini memberinya landasan empiris yang kuat dalam memahami tantangan nyata yang dihadapi oleh diplomat Indonesia di luar ibu kota negara tujuan, sebuah perspektif yang sangat berharga ketika ia kemudian memimpin sebuah unit yang bertanggung jawab atas analisis dan perumusan kebijakan strategis untuk dua blok kekuatan global yang sangat beragam.
Lintasan karier Spica Alphanya Tutuhatunewa adalah sebuah narasi evolusi dari seorang akademisi menjadi seorang administrator, dan kemudian menjadi seorang diplomat lapangan sebelum akhirnya mencapai puncaknya sebagai arsitek kebijakan strategis. Setiap langkah dalam perjalanannya menambahkan layer baru pada kapabilitasnya, mengubahnya dari seorang praktisi menjadi seorang pemikir strategis. Dari Universitas Pattimura, ia mendapatkan fondasi intelektual; dari Sekdilu, ia mendapatkan visi jangka panjang untuk institusi; dari perannya sebagai Konsul Jenderal, ia mendapatkan pemahaman mendalam tentang dinamika dunia nyata; dan dari jabatannya sebagai Kepala Pusat SKK Amerop, ia menerapkan semua pengetahuan tersebut untuk membentuk arah besar hubungan Indonesia dengan dunia Barat. Kemampuan untuk beradaptasi dan berkembang di setiap lingkungan—baik itu laboratorium akademis, ruang kelas, balai konsulat, maupun ruang rapat strategis—adalah ciri khas utama dari seorang pemimpin yang tangguh dan inspiratif, sebuah label yang tepat menggambarkan Spica Alphanya Tutuhatunewa.

Peran Strategis di Tengah Dinamika Global: Membentuk Hubungan Indonesia-Amerika-Eropa
Posisi Spica Alphanya Tutuhatunewa sebagai Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa (Pusat SKK Amerop) sejak tahun 2019 adalah tonggak penting dalam karier diplomatiknya dan sebuah penunjukan strategis bagi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Jabatan ini, yang dipercayakan oleh Presiden Joko Widodo, menempatkannya di garda terdepan dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap dua blok kekuatan global yang memiliki dampak fundamental terhadap stabilitas regional dan global: Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Peran ini bersifat multidimensional, memerlukan pemahaman mendalam tentang isu-isu domestik kedua kekuatan tersebut, dinamika hubungan internasional, serta kemampuan untuk menerjemahkan kepentingan nasional Indonesia ke dalam bahasa dan kerangka kerja yang relevan bagi mitranya. Pemilihan Spica untuk posisi ini menandakan tingkat kepercayaan yang tinggi atas kapabilitasnya dalam mengelola kompleksitas geopolitik dan ekonomi yang melekat pada hubungan Indonesia dengan dunia Barat.
Hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat telah mengalami evolusi signifikan selama masa jabatannya, yang culminasi puncaknya adalah peningkatan status hubungan bilateral menjadi Comprehensive Strategic Partnership (CSP) pada 13 November 2023. Pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Joe Biden di Washington, D.C., menandai sebuah babak baru dalam kerjasama kedua negara. Kerangka kerja CSP ini tidak lagi bersifat transaksional atau terbatas pada satu bidang, melainkan merupakan struktur multi-domain yang komprehensif. Empat area inti yang menjadi fokus kerja sama ini adalah: kemitraan ekonomi, respons terhadap krisis iklim, keamanan regional, dan hubungan antarpribadi (people-to-people ties). Sebagai Kepala Pusat SKK Amerop, Spica pasti memiliki peran sentral dalam perumusan kebijakan dan negosiasi yang mendasari pencapaian historis ini. Ia harus memastikan bahwa kepentingan Indonesia—mulai dari akses pasar, transfer teknologi hijau, hingga keamanan maritim—diwujudkan dalam bentuk “deliverables” yang konkret. Misalnya, pada bidang ekonomi, hal ini bisa mencakup upaya untuk meningkatkan investasi dan perdagangan dua arah. Di bidang iklim, ini berarti kolaborasi dalam transisi energi dan mitigasi perubahan iklim. Untuk keamanan regional, ini dapat melibatkan dialog dan kerja sama dalam menjaga stabilitas di kawasan Indo-Pasifik. Dan untuk hubungan antarpribadi, ini bisa berupa program pertukaran pelajar, budaya, dan pariwisata yang diperkuat.
Lebih lanjut, kerangka CSP ini menyertakan beberapa komitmen konkret yang menunjukkan adanya komitmen institusional. Ini termasuk penyusunan perjanjian kerja sama pertahanan baru, pembukaan jalan untuk kerja sama pada mineral kritis, serta inisiatif pendidikan seperti program satelit baru Georgetown University di Indonesia. Semua elemen ini menuntut analisis mendalam dan perumusan strategi yang cermat. Spica, bersama dengan timnya, kemungkinan besar bertanggung jawab untuk menganalisis implikasi dari perjanjian pertahanan tersebut, mengevaluasi potensi dan risiko dari kerja sama mineral kritis, serta memastikan bahwa program pendidikan baru ini dapat dioptimalkan untuk kepentingan SDM Indonesia. Peningkatan status hubungan ini secara eksplisit dirancang untuk selaras dengan Visi Indonesia 2045, sebuah agenda ambisius untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju, serta dengan Arahan Keamanan Nasional AS Oktober 2022, yang menyoroti pentingnya Indo-Pasifik. Ini menempatkan Spica di posisi yang unik untuk memastikan sinergi antara agenda domestik Indonesia dengan prioritas keamanan global yang diidentifikasi oleh AS.
Di samping hubungan dengan AS, perannya di bawah kepemimpinan Spica juga sangat vital dalam menjaga dan memperkuat hubungan dengan Uni Eropa. Meskipun sumber yang tersedia tidak merinci detail hubungan bilateral Indonesia-UE, fokus pada kawasan ini menunjukkan bahwa Uni Eropa tetap menjadi mitra strategis yang signifikan. Uni Eropa, sebagai blok ekonomi terbesar kedua di dunia dan kekuatan moral dalam isu-isu global seperti iklim dan hak asasi manusia, memiliki banyak kesempatan untuk bekerja sama dengan Indonesia. Spica dan timnya harus terus mendorong dialog yang produktif di berbagai platform, termasuk ASEAN-EU dan G20, di mana Indonesia memegang presidensi bergilir. Fokus kerja sama potensial dengan UE bisa mencakup investasi infrastruktur hijau, pengembangan teknologi bersih, kolaborasi dalam sektor pertanian dan pertanian berkelanjutan, serta dialog demokrasi dan good governance. Menavigasi hubungan dengan UE juga menuntut pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan AS, karena UE lebih menekankan pada multilateralisme dan standar regulasi yang tinggi. Spica harus mampu memposisikan Indonesia sebagai mitra yang andal dan progresif di mata UE, sambil terus mempertahankan prinsip-prinsip kedaulatan dan non-blok.
Inovasi Kebijakan Berbasis Data: Revolusi Diplomasi Publik di Bawah Kepemimpinannya
Salah satu warisan paling signifikan dan revolusioner dari kepemimpinan Spica Alphanya Tutuhatunewa di Pusat SKK Amerop adalah transformasinya terhadap pendekatan diplomasi publik Indonesia. Tradisionalnya, diplomasi publik sering kali diartikan sebagai kampanye informasi atau promosi budaya yang bersifat monologis. Namun, di bawah arahan Spica, pendekatan ini telah berevolusi menuju model yang lebih ilmiah, berbasis data, dan interaktif. Inisiatif yang paling menonjol dalam hal ini adalah pelaksanaan survei opini publik nasional yang dilakukan secara nasional oleh Pusat SKK Amerop di bawah kepemimpinannya. Survei ini, yang melibatkan 1.200 responden dari semua 34 provinsi di Indonesia, bertujuan untuk mengukur tingkat visibilitas, pemahaman, dan persepsi masyarakat Indonesia terhadap Uni Eropa (UE) dan perannya dalam isu-isu global serta bilateral. Proses ini dilakukan secara kolaboratif dengan Divisi Riset dan Pengembangan Kompas, sebuah media ternama di Indonesia, yang menunjukkan pendekatan yang canggih dan profesional dalam metode penelitian yang digunakan.
Hasil dari survei nasional ini mengungkapkan sebuah temuan strategis yang krusial: tingkat kesadaran rendah di kalangan masyarakat Indonesia terhadap peran dan kontribusi UE. Temuan ini mengidentifikasi sebuah gap yang signifikan antara diplomasi resmi dan pemahaman publik. Secara tradisional, diplomasi sering kali difokuskan pada dialog antarnegara (pemerintah ke pemerintah), dengan asumsi bahwa dampaknya akan “menetes” turun ke masyarakat. Namun, temuan Spica menunjukkan bahwa asumsi ini tidak selalu benar. Ketika masyarakat umum tidak menyadari siapa mitra strategis mereka atau apa yang mereka lakukan, efektivitas diplomasi tersebut menjadi terbatas. Dengan mengidentifikasi gap ini, Spica dan timnya di BSKLN tidak hanya melakukan diagnosis, tetapi juga memberikan dasar yang kuat untuk merancang intervensi diplomasi publik yang lebih strategis, terarah, dan efektif. Ini adalah sebuah contoh nyata dari diplomasi prediktif, di mana data digunakan untuk memahami masalah sebelum mencoba menyelesaikannya.
Berdasarkan temuan survei, Pusat SKK Amerop di bawah kepemimpinannya dapat merancang serangkaian strategi untuk menutup gap tersebut. Intervensi ini bisa bersifat edukatif, misalnya melalui kampanye media massa dan kampanye online yang menyoroti prestasi UE dalam isu-isu yang relevan dengan Indonesia, seperti keterlibatan dalam program Indonesia’s Pandemic Fund yang diselenggarakan World Bank, atau dukungan UE terhadap inisiatif iklim global. Intervensi juga bisa bersifat promosional, dengan lebih menonjolkan kontribusi UE dalam investasi infrastruktur, penelitian dan pengembangan, serta program pertukaran siswa dan profesional. Selain itu, intervensi bisa bersifat personal, seperti memperkuat program budaya dan pariwisata untuk membangun jembatan empati dan pemahaman lintas budaya. Dengan menggunakan data sebagai panduan, ia dapat mengalokasikan sumber daya mereka secara lebih cerdas, memastikan bahwa pesan-pesan yang disebarkan resonan dengan audiens target dan mengatasi kesalahpahaman yang ada. Ini menandakan modernisasi fundamental dalam cara diplomasi Indonesia berinteraksi dengan publiknya.
Selain inovasi di bidang diplomasi publik, kepemimpinan Spica juga ditandai oleh partisipasi aktifnya di panggung dunia. Statusnya sebagai pembicara (speaker) pada sebuah acara yang diselenggarakan oleh SETA Ankara untuk tahun 2025 adalah validasi internasional atas kapasitas dan reputasinya. Acara-acara semacam ini biasanya dihadiri oleh para diplomat senior, akademisi, dan pakar kebijakan dari seluruh dunia. Keikutsertaan Spica dalam forum ini menempatkannya di posisi yang ideal untuk mempresentasikan perspektif Indonesia mengenai isu-isu strategis di kawasan Amerika dan Eropa, serta membangun jaringan dengan para pemangku kepentingan global lainnya.
Lebih lanjut, kepemimpinannya juga tercermin dalam cara ia membangun tim. Delegasi yang dipimpinnya saat kunjungan ke Parahyangan Center for International Studies (PACIS) pada 24 Juni 2025, yang terdiri dari para diplomat dari Amerika Utara, para diplomat muda (Monica Sonya Maria, Reinhart), dan seorang Sekretaris Pertama (Sifelia), menunjukkan komitmen Spica terhadap pengembangan talenta dan pembangunan kapasitas internal. Dengan melibatkan diplomat muda dalam kunjungan resmi, ia memberikan mereka kesempatan untuk belajar langsung dari praktik diplomasi tingkat tinggi dan berkontribusi pada diskusi strategis. Ini adalah investasi jangka panjang dalam memastikan keberlanjutan kepemimpinan di bidang diplomatik Indonesia. Pembinaan staf junior dan junior senior ini mencerminkan gaya kepemimpinannya yang holistik, yang tidak hanya berfokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses pengembangan sumber daya manusia yang akan membawa Indonesia maju dalam diplomasi global di masa depan. Dengan demikian, inovasi Spica tidak hanya terletak pada kebijakan dan produk akhirnya, tetapi juga pada cara ia memimpin, mengembangkan, dan menginspirasi tim di sekitarnya.

Representasi sebagai Transformasi Institusional: Katalisator Inklusi Perempuan dan Regional
Dalam konteks diplomasi Indonesia, posisi Spica Alphanya Tutuhatunewa sebagai Kepala Pusat SKK Amerop bukan hanya tentang urusan kebijakan strategis, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam. Pengangkatannya ke posisi kepemimpinan tertinggi di salah satu pusat kebijakan strategis terpenting di Kementerian Luar Negeri menempatkannya sebagai perwujudan transformasi institusional yang berorientasi inklusi. Aspek-aspek krusial dari profilnya—sebagai seorang perempuan dan sebagai diplomat asal wilayah timur Indonesia—menjadi elemen-elemen penting yang merefleksikan pergeseran paradigma dalam birokrasi negara dan diplomasi Indonesia. Ia bukan hanya seorang pemimpin, tetapi juga sebuah preseden yang kuat, menantang stereotip dan membuka jalan bagi generasi baru diplomat yang lebih beragam.
Pertama, sebagai seorang perempuan yang menempati posisi strategis ini, Spica Alphanya Tutuhatunewa menjadi contoh nyata dari kemajuan yang telah dicapai oleh perempuan dalam karier diplomatik di Indonesia. Dunia diplomatik, seperti banyak profesi lainnya, secara historis telah didominasi oleh pria. Jabatan setingkat ini sering kali diasosiasikan dengan elit laki-laki. Oleh karena itu, pengangkatan seorang wanita ke posisi ini adalah sebuah langkah maju yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa institusi Kementerian Luar Negeri telah mulai mengakui dan memanfaatkan potensi kepemimpinan perempuan di level tertinggi. Spica dapat berfungsi sebagai perwira suara dan mentor bagi para diplomat perempuan muda, menunjukkan kepada mereka bahwa ambisi kepemimpinan tidak memiliki gender. Studi kasusnya dapat menjadi materi analisis tentang bagaimana institusi formal dan informal dapat diterapkan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di level kepemimpinan. Keberhasilannya menginspirasi banyak orang dan menunjukkan bahwa kualifikasi, dedikasi, dan rekam jejak profesional adalah faktor penentu utama, bukan jenis kelamin.
Kedua, latar belakang geografis Spica sebagai diplomat asal Ambon memiliki implikasi yang sama kuatnya dengan aspek gendernya. Ambon, sebagai kota kelahirannya, sering kali diasosiasikan dengan sejarah konflik etnis yang kompleks dan perjuangan untuk persatuan bangsa. Menempatkan seseorang dari Ambon dalam peran strategis yang menentukan masa depan hubungan Indonesia dengan dunia Barat adalah sebuah pesan yang kuat dan bernuansa diplomatik. Pesan ini menyampaikan beberapa lapisan makna. Secara internal, ini adalah sebuah alat diplomasi yang efektif untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Ini mengirimkan pesan bahwa potensi dan keahlian ada di seluruh nusantara, dan bahwa warisan luka masa lalu tidak boleh menjadi batu sandungan bagi masa depan. Ini adalah demonstrasi nyata dari rekonsiliasi dan inklusi, menunjukkan bahwa Ambon, yang pernah menjadi episentrum konflik, kini mampu menghasilkan tokoh-tokoh hebat yang dapat dipercaya untuk membawa Indonesia ke panggung dunia.
Secara eksternal, keberadaan Spica sebagai diplomat asal timur Indonesia memberikan citra positif tentang kesetaraan kesempatan dan diversitas di dalam birokrasi negara Indonesia. Dalam diplomasi, citra dan persepsi sangatlah penting. Ketika negara-negara mitra melihat Indonesia yang dipimpin oleh seorang diplomat dari Ambon, mereka melihat sebuah negara yang majemuk, inklusif, dan percaya diri dengan kekuatan internalnya. Ini bisa mengurangi stigma atau stereotip yang mungkin masih ada tentang wilayah timur Indonesia. Spica menjadi duta dari wilayahnya, menunjukkan kepada dunia bahwa kecerdasan, integritas, dan kepemimpinan tidak terbatas oleh garis lintang dan bujur. Ini adalah contoh nyata dari “soft power” yang dimiliki oleh keragaman nasional Indonesia. Dengan menempatkan figur dari Ambon di posisi strategis, Kementerian Luar Negeri tidak hanya memenuhi kriteria kelayakan, tetapi juga secara sadar menggunakan representasi ini untuk memperkuat citra dan tujuan diplomasi Indonesia secara keseluruhan.
Secara kolektif, kombinasi dari identitas perempuan dan regional Spica menciptakan sebuah katalisator untuk transformasi internal di dalam institusi Kemenlu. Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan yang efektif dapat datang dari latar belakang yang beragam. Ini dapat mendorong perubahan dalam budaya kerja, proses rekrutmen, dan sistem promosi di dalam institusi. Ketika figur seperti Spica berhasil dan dihormati, itu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendorong untuk lebih banyak lagi individu dari latar belakang yang berbeda untuk mengejar karier kepemimpinan. Ini adalah langkah-langkah kecil namun signifikan menuju institusionalisasi nilai-nilai kesetaraan dan inklusi di dalam birokrasi negara. Dengan demikian, peran Spica Alphanya Tutuhatunewa melampaui tugas-tugas diplomatiknya; ia adalah seorang agen perubahan yang secara aktif membentuk masa depan institusional Kementerian Luar Negeri dan Republik Indonesia.
Rekam Jejak Prestasi
Untuk memahami sepenuhnya kapabilitas dan dampak Spica Alphanya Tutuhatunewa, penting untuk menempatkannya dalam konteks analitis yang lebih luas, termasuk membandingkannya dengan lanskap diplomatik Indonesia dan mereview rekam jejak prestasinya secara komprehensif. Analisis ini akan menyoroti bagaimana kepemimpinannya berbeda dari pendekatan tradisional dan bagaimana inisiatif-inisiatif spesifiknya, seperti survei opini publik, menjadi warisan strategis yang abadi.
Salah satu perbedaan paling menonjol dalam kepemimpinan Spica adalah pendekatannya yang berbasis data, yang secara signifikan berbeda dari metodologi diplomasi tradisional yang sering kali lebih bergantung pada intuisi, pengalaman, dan dialog elite. Pendekatan tradisional sering kali berpusat pada elite diplomacy—dialog antara pejabat pemerintah tingkat tinggi. Sementara dialog ini tetap penting, Spica menunjukkan bahwa untuk diplomasi modern yang efektif, pemahaman tentang persepsi publik juga mutlak diperlukan. Dengan meluncurkan survei nasional yang melibatkan ribuan responden dari seluruh Indonesia, ia mengadopsi metodologi riset pasar untuk tujuan diplomasi tradisional. Ini adalah sebuah terobosan, karena ia tidak hanya bertanya kepada pemerintah mitra “apa yang mereka pikirkan”, tetapi juga bertanya kepada rakyat Indonesia “apa yang Anda pikirkan tentang mereka”. Hasilnya, yaitu identifikasi gap kesadaran publik terhadap UE, adalah sebuah insight strategis yang tak ternilai. Ini menunjukkan bahwa diplomasi tidak lagi hanya tentang mempengaruhi pemerintah, tetapi juga tentang membangun dukungan publik yang solid untuk kebijakan luar negeri, yang pada akhirnya akan memperkuat posisi Indonesia dalam dialog internasional.
Rekam jejak prestasinya juga dapat dilihat melalui pencapaian-pencapaian yang diukur dalam skala dan dampaknya. Jabatannya sebagai Direktur Sekdilu adalah prestasi yang sulit dinilai secara langsung tetapi memiliki dampak jangka panjang yang besar. Kualitas dan kapabilitas diplomat-diplomat masa depan Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh program-program yang dikembangkan di bawah kepemimpinannya. Ia berkontribusi pada pembangunan modal sosial dan intelektual yang akan membawa Indonesia maju di panggung dunia. Demikian pula, pengalamannya sebagai Konsul Jenderal di Melbourne adalah prestasi operasional yang signifikan. Menjalankan kantor konsulat di luar Jakarta adalah tugas yang menantang, yang menuntut kemampuan adaptasi, kreativitas, dan ketahanan. Keberhasilannya dalam menjalankan peran ini menunjukkan kemampuannya untuk beroperasi secara mandiri dan efektif dalam kondisi yang kompleks.
Prestasi yang paling mudah diukur saat ini adalah peran sentralnya dalam memperkuat hubungan Indonesia-AS menjadi Comprehensive Strategic Partnership (CSP). Ini adalah pencapaian diplomatik tingkat tinggi yang mengharmonisasikan kepentingan Indonesia dengan prioritas keamanan AS, menandai era baru dalam kerja sama bilateral. Spica, sebagai Kepala BSKLN, berada di garis api perumusan kebijakan yang mendasari pencapaian ini. Ia harus mampu menerjemahkan aspirasi Visi Indonesia 2045 ke dalam bahasa dan kerangka kerja yang dapat diterima oleh mitra strategis global. Ini menunjukkan kemampuannya dalam diplomasi multi-domain, di mana ia harus berpikir secara simultan tentang isu-isu ekonomi, keamanan, iklim, dan teknologi. Pencapaian ini tidak hanya menguntungkan Indonesia secara langsung, tetapi juga meningkatkan profil dan posisi tawar Indonesia di panggung internasional.
Tabel ini secara jelas menunjukkan bahwa Spica Alphanya Tutuhatunewa tidak hanya memenuhi standar seorang diplomat senior, tetapi juga melampaui batas-batas tradisional dengan menunjukkan inovasi, diversitas, dan pendekatan yang berbasis bukti. Rekam jejaknya, yang dibangun dari berbagai peran—mulai dari pendidik, diplomat lapangan, hingga arsitek kebijakan strategis—memberikan gambaran tentang seorang pemimpin yang holistik dan visioner. Prestasinya tidak hanya terletak pada pencapaian yang sudah dicapai, tetapi juga pada warisan ideologis dan metodologis yang ia tinggalkan, yang kemungkinan besar akan membentuk cara diplomasi Indonesia dilakukan di masa depan.
Sinergi Internasional dan Visi Masa Depan
Visi masa depan yang diwakili oleh Spica Alphanya Tutuhatunewa dan Pusat SKK Amerop yang ia pimpin tampaknya bergerak menuju diplomasi yang lebih terintegrasi, berbasis data, dan proaktif. Sinergi internasional yang ia bangun, baik melalui peran diplomasi bilateral maupun multilateral, menjadi tulang punggung dari visi ini. Keikutsertaannya sebagai pembicara di forum-forum strategis internasional, seperti acara yang diselenggarakan oleh SETA Ankara, menunjukkan komitmennya untuk terus memperluas jaringan dan memperoleh perspektif global yang kaya. Partisipasi ini tidak hanya untuk mempresentasikan posisi Indonesia, tetapi juga untuk belajar, berkolaborasi, dan secara aktif berpartisipasi dalam pembentukan narasi kebijakan global. Dengan hadir di panggung dunia, Spica memastikan bahwa kebijakan yang dirumuskan di Jakarta didasarkan pada pemahaman yang paling mutakhir tentang dinamika geopolitik, ekonomi, dan sosial.
Selanjutnya, visi Spica juga mencakup penguatan diplomasi publik sebagai alat utama untuk membangun fondasi kebijakan luar negeri yang berkelanjutan. Dengan mengidentifikasi dan kemudian berupaya menutup gap kesadaran publik terhadap mitra strategis seperti UE, ia menempatkan kepentingan rakyat Indonesia di pusat diplomasi. Ini adalah sebuah pergeseran fundamental dari model diplomasi yang tertutup menjadi model yang lebih transparan dan inklusif. Dengan membangun pemahaman yang lebih baik di antara publik, Indonesia dapat menciptakan dukungan yang lebih luas untuk kerja sama internasional, apakah itu dalam hal investasi, pertukaran budaya, atau kerja sama iklim. Ini juga akan membuat kebijakan luar negeri Indonesia lebih tangguh terhadap desinformasi dan propaganda asing. Visi jangka panjangnya adalah sebuah Indonesia yang lebih terhubung dengan dunia, di mana masyarakatnya tidak hanya sadar akan perannya dalam isu-isu global, tetapi juga merasa memiliki kepentingan dan tanggung jawab dalam membangun masa depan yang lebih baik.
Sebagai kesimpulan, Spica Alphanya Tutuhatunewa mewakili puncak dari evolusi diplomat Indonesia yang modern. Lintasan kariernya yang tangguh, dari akademisi hingga administrator, diplomat lapangan, dan arsitek kebijakan strategis, telah membekalinya dengan kapabilitas yang langka. Di sini, ia telah menunjukkan kepemimpinan yang inovatif dengan mengadopsi pendekatan berbasis data dan memprioritaskan diplomasi publik. Lebih dari itu, sebagai perwakilan perempuan dari wilayah timur Indonesia, ia telah menjadi katalisator bagi transformasi institusional yang lebih inklusif. Warisan dan visinya ke depan tampaknya akan terus mendorong diplomasi Indonesia menuju arah yang lebih strategis, proaktif, dan berbasis bukti. Ia tidak hanya mengelola hubungan Indonesia dengan dunia Barat, tetapi juga secara aktif membentuk masa depan diplomasi Indonesia itu sendiri.