Malam itu, bayang-bayang gelap menggantung di taman Getsemani, menimbulkan atmosfer mencekam yang sangat berbeda dengan kebiasaan mereka. Sementara murid-murid terlelap dalam mimpi yang tenang, satu diantara mereka tidak lagi berada dalam lingkaran kasih sayang dan kehangatan yang seharusnya menyelimuti mereka.
Yudas Iskariot, sosok yang namanya kelak akan dikenang di seluruh dunia dalam rentetan duka sejarah umat manusia, dengan penuh keyakinan menapaki jalan pengkhianatan yang ia pilih sendiri dengan sadar. Keputusan yang diambil malam itu akan menjadi suatu titik balik yang bukan hanya mengubah perjalanan hidupnya, tetapi juga memberi dampak besar kepada banyak orang di sekitarnya yang sangat ia cintai.
Suara Dalam Hati
Yudas duduk menyendiri, menjauh dari perapian tempat para murid berkumpul, terlarut dalam pikirannya yang penuh keraguan dan gelisah. Matanya menatap kegelapan malam, seolah-olah dia sedang mencari sesuatu yang tidak pasti, sesuatu yang mungkin telah hilang dari pandangannya. Dalam keheningan itu, pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan yang sulit dijawab.
Yudas (berbisik):
“Tiga tahun… Tiga tahun aku berjalan bersama Dia, menyaksikan berbagai mukjizat yang tak terhitung jumlahnya. Namun dimana keberadaan kerajaan-Nya? Mengapa Dia tidak melawan atau mempertahankan hak-Nya? Apa gunanya semua yang terjadi ini jika pada akhirnya kita semua hanya diburu dan terdesak?”
Langkah Petrus yang mendekat mendadak, membuyarkan lamunan dan kebingungan yang ada dalam pikirannya.
Petrus:
“Apa yang mengganggumu, Yudas? Mengapa wajahmu tampak begitu gelisah dan cemas?”
Yudas (singkat):
“Aku hanya berpikir… Apakah kita sedang menuju terang yang dijanjikan, atau sebenarnya kita semua hanya sedang melangkah ke dalam kegelapan yang lebih dalam?”
Petrus tidak menjawabnya. Terkadang, dalam hidup ini, kegelapan sendiri memberikan jawaban melalui perbuatan dan pilihan yang diambil.
Meja Terakhir
Mereka berkumpul di sekitar meja untuk makan bersama, menikmati kebersamaan yang seharusnya penuh sukacita. Meskipun suasana tenang menyelimuti mereka, ada seperti bayang-bayang salib yang menggantung di udara, menjadikan setiap detik terasa penuh makna dan beban.
Yesus:
“Salah satu dari kalian akan menyerahkan Aku.”
Kejutan dan ketegangan menyergap seketika. Murid-murid saling memandang satu sama lain, dan satu per satu bertanya dengan penuh kekhawatiran, “Tuhan, aku kah itu?”
Yudas hanya menundukkan kepala, enggan untuk bertemu tatapan para sahabatnya. Saat tangannya mencelup roti bersama Yesus, keheningan menyelimuti ruangan, seolah waktu berhenti.
Yesus (lembut):
“Lakukanlah segera apa yang hendak kau lakukan, Yudas.”
Langkah Yudas keluar dari ruangan menandakan sebuah gema takdir yang tak terelakkan. Dan Injil pun menulis, “Maka keluarlah Yudas… dan hari pun malam.”
Kesepakatan dan Ciuman
Di balik dinding batu Bait Allah, suara persekongkolan yang dingin dan mencurigakan berlangsung, menginginkan sesuatu yang gelap dan tidak baik.
Imam Kayafas:
“Di mana Dia berada sekarang? Kami harus menjumpainya sebelum semua ini terlambat.”
Yudas:
“Dia ada di taman Getsemani. Aku akan memberi tanda … sebuah ciuman untuk mengenalinya.”
Seketika, sebuah kantong berisi tiga puluh keping perak diletakkan di meja sebagai imbalan. Harga darah yang tidak ternilai. Harga dari seorang yang seharusnya tidak bisa dibeli oleh siapa pun.
Malam itu, Yudas mendekati Yesus yang sedang berdoa dalam kesunyian, disisi lain, obor-obor yang dibawa oleh serdadu Romawi menyala terang, menambah kegelapan yang telah diramalkan.
Yudas (lirih):
“Salam, Rabi.”
Ciumannya mendarat di pipi Sang Penebus, dan di momen itulah sejarah mulai pecah, bukan hanya oleh pengkhianatan yang sangat menyakitkan, tetapi juga oleh rencana keselamatan yang lebih besar daripada segala dosa mereka.
Yesus (menatap Yudas dengan dalam):
“Dengan ciuman… kau menyerahkan Anak Manusia kepada mereka?”
Penyesalan yang Tak Terbalas
Keesokan harinya, Yudas kembali, menggenggam erat tiga puluh keping perak itu seolah benda tersebut mulai membakar tangannya, memberikan rasa panas yang menyakitkan.
Yudas:
“Aku telah berdosa… menyerahkan darah yang tak bersalah, orang yang tidak bersalah sama sekali!”
Para Imam (tanpa rasa empati, menjawab dengan dingin):
“Itu urusanmu, Yudas! Kami tidak bisa membantu hatimu yang gelisah.”
Kepingan-kepingan perak berkerincing saat dilemparkan ke lantai, kesedihan dan rasa bersalah merayap ke setiap sudut jiwanya. Namun, rasa bersalah tidak bisa dibayar dengan uang, tidak ada yang bisa membebaskannya dari keputusan yang telah ia buat. Ia lari. Menjauh dari keramaian, menuju sepi. Menuju sunyi yang menenggelamkannya dibawah pohon tua yang bersaksi atas penderitaannya.
Penutup: Refleksi Paskah
Nama Yudas kini tidak lagi hanya milik seorang murid yang biasa, tetapi telah menjadi cermin bagi siapa saja yang pernah mengkhianati cinta dan kasih demi ambisi pribadi, ketakutan, atau keserakahan yang tak terpuaskan.
Namun meski demikian…
Salib tetap tegak di hadapan mereka
Kasih tetap menang atas segala kekuatan yang ada.
Dan pengampunan selalu tersedia—bagi siapa saja yang ingin kembali, meskipun langkah itu penuh dengan keraguan dan kesakitan.
Catatan Penulis:
Dalam masa raya Paskah ini, kita diajak merenung: apakah kita pernah menjadi Yudas—dalam kata, dalam pilihan, dalam hidup yang menjauh dari salib? Tapi ingat, selama hidup masih ada, salib tetap berdiri, tangan-Nya masih terbuka.