2. STRATEGI UTAMA DOOR DE EEUWEN TROUW
Dapat dikatakan bahwa orang Maluku memainkan peran penting dalam KNIL. Karena latar belakang mereka yang mayoritas Kristen, mereka sering ditempatkan dalam posisi tinggi di dalam KNIL. Secara umum, mereka dikenal karena kesetiaan mereka kepada Kerajaan Belanda. Namun, ini merupakan gambaran yang cenderung menggeneralisasi, karena tidak semua orang Maluku mendukung Belanda atau bertempur untuk KNIL.
Menurut Bosscher dan Waaldijk, Door de Eeuwen Trouw (DDET) adalah salah satu organisasi yang menyebarluaskan stereotip tentang kesetiaan orang Maluku kepada Belanda. Organisasi ini memiliki pengaruh besar terhadap media Belanda. DDET menjadi pilar utama dalam mengorganisir dukungan moral dan material di Belanda bagi orang Maluku yang mendeklarasikan Republik Maluku Selatan (RMS).
2.1. Representasi Diri Door de Eeuwen Trouw
Dari berbagai publikasi yang mereka terbitkan, terlihat bagaimana DDET membangun citra dirinya sebagai organisasi yang “melawan ketidakadilan.” Mereka sering menyoroti kewajiban moral Belanda untuk membantu “Ambon yang setia” dalam perjuangannya untuk mendirikan RMS yang merdeka.
Simbol kesetiaan orang Maluku erat kaitannya dengan sejarah kolonial Belanda, di mana kesetiaan ini digunakan untuk kepentingan kolonial. Dalam lingkungan DDET, banyak anggotanya yang menentang dekolonisasi Indonesia, terutama cara Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Republik Indonesia.
Pengaruh propaganda tentang kesetiaan orang Maluku sangat kuat. Cerita-cerita yang diberikan oleh saksi mata memiliki dampak emosional yang besar. Cerita ini memperkuat keyakinan bahwa masih banyak orang Indonesia yang setia kepada Belanda. Sebagai contoh, dalam De Stem van Ambon (Suara Ambon), yang merupakan media resmi DDET, terdapat kisah berikut:
“Saat Jepang menduduki Jawa, mereka melukis tiga garis merah-putih-biru dari bendera Belanda di tengah jalan raya di salah satu kota besar. Penduduk setempat dipaksa untuk berjalan melintasi garis tersebut dan meludahi bagian putihnya.
Di antara kerumunan itu, ada dua orang Maluku yang menolak untuk berjalan di atas garis tersebut. Akibatnya, mereka ditusuk dengan bayonet di bagian merah. Kejadian ini membuat Jepang menghentikan aksi tersebut untuk sementara. Namun, tak lama kemudian, sekelompok tentara Jepang mulai mencari orang Maluku lainnya. Seluruh keluarga Maluku diseret keluar dari rumah mereka dan dibunuh.”
Dalam edisi lain dari De Stem van Ambon, ada kisah lain:
“Tentara Jepang menyeret satu keluarga keluar dari rumah mereka – seorang ayah, ibu, dan dua anak. Mereka menempatkan bayonet di perut ibu dan anak-anaknya, memaksa sang ayah untuk berjalan di atas bendera Belanda.
Ketika ia mencapai bagian putih, para tentara Jepang memerintahkannya untuk meludah. Namun, sang ayah justru berlutut, menangis seperti anak kecil, dan mencium bagian putih yang telah diinjak-injak itu. Jepang menendangnya hingga berdiri, tetapi ia terus berjalan dengan kepala tegak sambil menyanyikan Wilhelmus (lagu kebangsaan Belanda) dengan suara lemah. Sesampainya di ujung garis, ia langsung dibunuh dengan bayonet.”
Ada juga kisah tentang seorang Maluku yang bergabung dengan kelompok mata-mata Belanda Persirikatan Spionage Serikat Hindia Blanda Militair. Para mata-mata ini, dengan menggunakan cermin, api unggun, dan bendera Belanda, memberikan sinyal kepada pasukan sekutu tentang posisi tentara Jepang. Mereka juga melemparkan granat ke arah tentara Jepang. Akibatnya, ia dan dua orang Maluku lainnya ditangkap oleh Jepang.
Salah satu rekannya, Arnold Menoete, dipukul hingga tulang punggungnya patah dan ia meninggal seketika. Rekan lainnya, Jonas Matjane, dikubur hidup-hidup di dalam parit. Sementara itu, ia sendiri disiksa dengan air panas, cuka, dan cabai yang dituangkan ke dalam hidungnya tiga kali sehari. Penyiksaan ini menyebabkan wajahnya mengalami luka yang sangat parah hingga tidak dapat dikenali lagi.
DDET sering kali menekankan bahwa ada ribuan contoh kesetiaan orang Maluku kepada Belanda, terutama dalam situasi-situasi yang paling sulit dan penuh penderitaan. Dalam De Stem van Ambon, ada banyak kisah tentang keluarga Maluku yang dibunuh hanya karena menolak menurunkan bendera Belanda dari rumah mereka atau menolak bersumpah setia kepada Jepang. Orang Maluku juga disebut sering membantu tawanan perang Belanda di kamp Jepang dengan menyediakan makanan tambahan dan menyampaikan pesan rahasia.
Bahkan setelah Jepang kalah dan Indonesia merdeka, orang Maluku tetap berjuang untuk Belanda selama periode Bersiap (periode kekacauan setelah kemerdekaan Indonesia). Mereka dikatakan mengambil risiko besar untuk melindungi orang-orang Belanda dari kekerasan kelompok nasionalis Indonesia.
2.2. Pengkhianatan terhadap Orang Maluku
Pada awal 1950-an, media Belanda banyak memberitakan bahwa kapal milik perusahaan Belanda, Koninklijke Pakketvaart Maatschappij (KPM), digunakan untuk mengangkut pasukan dan peralatan perang Indonesia ke Maluku Selatan.
Diketahui bahwa kapal-kapal KPM, seperti Van Swoll, Waiwerang, Kaimana, dan Wangapu, mengangkut artileri berat serta lima batalion tentara Indonesia ke Ambon. Kru kapal Belanda yang bekerja untuk KPM dipaksa untuk berpartisipasi dalam operasi ini, yang menyebabkan ketegangan dan konflik dengan manajemen perusahaan KPM.
Para perwira kapal Belanda dipaksa untuk melakukan berbagai tugas semi-militer, seperti mengemudikan kapal pendaratan saat pasukan Indonesia mendarat di Sulawesi. Mereka yang menolak diperintahkan untuk mundur atau menghadapi hukuman penjara.
Seorang wanita Maluku yang berbicara di hadapan anggota parlemen Belanda pada tahun 1955 mengatakan:
“Anda semua tahu tentang serangan ke Ambon yang dimulai pada September 1950 dan mencapai puncaknya antara 14 Oktober hingga 3 November tahun itu.
Pastikan pernyataan ini dicatat dalam dokumen resmi sebagai bagian dari sejarah Belanda. Ini mungkin akan menjadi salah satu bab tergelap dalam sejarah Anda…
Pada 14 Oktober 1950, kapal-kapal KPM membawa ke Ambon: satu skuadron kendaraan lapis baja, satu baterai artileri lengkap, serta lima batalion dan dua kompi tentara dari Soekarno. Pada 3 November, mereka kembali dengan 14 kapal, termasuk korvet, kapal pendarat, dan dua pembom.”
Perempuan ini juga menggambarkan bagaimana tentara Indonesia menggunakan perempuan dan anak-anak sebagai perisai manusia, memperkosa ibu-ibu di depan anak-anak mereka, dan membunuh mantan tentara KNIL yang sudah lanjut usia. Bahkan, hanya memiliki foto Ratu Belanda atau menyimpan bendera Belanda sudah cukup untuk dieksekusi.
2.3. Kesimpulan Sementara
Strategi utama DDET adalah menggunakan propaganda emosional dan agresif untuk membangkitkan simpati publik terhadap RMS serta mengkritik kebijakan Belanda yang dinilai lalai.
Propaganda mereka berhasil menarik perhatian besar di media, tetapi juga menunjukkan adanya elemen kolonial yang kuat dalam pendekatan mereka.
3. KESALAHAN DALAM STRATEGI DOOR DE EEUWEN TROUW
Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana DDET berperan dalam membentuk opini publik di Belanda mengenai perjuangan Maluku Selatan dengan menggunakan propaganda. Namun, karena organisasi ini dikelola oleh orang-orang Belanda dan bukan oleh orang Maluku sendiri, sering kali terjadi ketidaksepakatan antara DDET dengan perwakilan RMS atau organisasi lain yang juga memperjuangkan kemerdekaan Maluku.
Bab ini akan membahas bagaimana pendekatan DDET tidak selalu mendapatkan kepercayaan dari pihak-pihak lain dalam perjuangan RMS. Hal ini terutama disebabkan oleh cara mereka memanfaatkan propaganda dan kecenderungan mereka untuk memaksakan agenda sendiri, yang terkadang tidak mencerminkan aspirasi sebenarnya dari orang Maluku.
3.1. Tuduhan terhadap Strategi DDET
Isu besar pertama yang mengguncang DDET terjadi pada tahun 1951, satu tahun setelah organisasi ini didirikan. Sebuah organisasi lain bernama Stichting Helpt Ambon in Nood (Yayasan Bantuan untuk Ambon dalam Kesulitan) mengajukan tiga tuduhan terhadap DDET. Tuduhan ini kemudian diangkat oleh surat kabar Trouw, yang menyebabkan berbagai media lain mulai melaporkan skandal ini.
Tiga tuduhan utama yang diajukan adalah:
- Penyalahgunaan Dana
- DDET dituduh telah menyalahgunakan dana yang mereka kumpulkan. Sebanyak 357.000 gulden diduga digunakan untuk tujuan yang tidak jelas, termasuk dugaan penyelundupan senjata ke wilayah RMS.
- Beberapa individu yang terkait dengan DDET, termasuk mantan anggota SS bernama Sweerts dan mantan komandan pasukan khusus KNIL, Westerling, diduga telah memanfaatkan dana dari yayasan untuk kepentingan pribadi.
- Kurangnya Kerja Sama dengan Organisasi Lain
- DDET disebut-sebut telah menolak untuk bekerja sama dengan Stichting Helpt Ambon in Nood dan organisasi lainnya.
- Mereka juga dituduh sengaja menggagalkan upaya untuk menyatukan organisasi-organisasi pro-RMS dalam satu gerakan bersama.
- Tekanan terhadap Perwakilan RMS
- DDET diduga memberikan tekanan yang tidak semestinya kepada pemimpin-pemimpin RMS di Belanda.
- Organisasi ini dikatakan menolak dukungan dari kelompok lain, kecuali jika mereka bersedia mengikuti agenda yang ditetapkan oleh DDET.
Kasus ini menjadi perdebatan publik dan menyebabkan ketidakpercayaan terhadap DDET, bahkan di kalangan pendukung RMS sendiri.
3.2. Respons DDET terhadap Tuduhan
Pada 18 Juni 1951, DDET mengadakan rapat umum untuk menanggapi tuduhan tersebut. Mereka membantah semua tuduhan dan menyatakan bahwa berita yang dimuat di Trouw adalah upaya untuk menghancurkan oposisi terhadap kebijakan pemerintah Belanda di Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut, ketua DDET, Herman Coenradi, mengatakan bahwa publikasi oleh Trouw adalah bagian dari “jebakan politik” yang sengaja dibuat untuk meredam dukungan terhadap perjuangan RMS. Ia menegaskan bahwa pemerintah Belanda lebih suka melihat perpecahan di antara pendukung RMS, agar mereka tidak memiliki kekuatan untuk menekan kebijakan Belanda terkait Indonesia.
Meskipun sebagian besar tuduhan terhadap DDET tidak terbukti, pengaruh negatif dari skandal ini cukup besar. Organisasi ini mulai kehilangan kredibilitasnya, terutama di kalangan komunitas Maluku di Belanda.
3.3. Ketidaksepakatan dengan Perwakilan RMS
Pada tahun yang sama, 1951, terjadi perselisihan serius antara DDET dan Dr. J.P. Nikijuluw, perwakilan resmi RMS di luar negeri.
DDET menyebarkan informasi yang menyebutkan bahwa Nikijuluw mendukung konsep otonomi bagi Ambon di bawah Republik Indonesia. Informasi ini ternyata salah. Nikijuluw sebenarnya menginginkan kemerdekaan penuh bagi RMS dan ingin mencapainya melalui jalur diplomatik.
DDET juga menuntut agar Nikijuluw secara terbuka mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada organisasi tersebut dalam setiap kesempatan, termasuk dalam wawancara radio dan pertemuan dengan pers. Hal ini menciptakan ketegangan antara Nikijuluw dan DDET, karena ia merasa organisasi Belanda tersebut mencoba mengendalikan kebijakan RMS.
Selain itu, DDET memiliki hubungan dekat dengan beberapa individu yang kontroversial, seperti mantan anggota SS dan kelompok pro-kolonial yang masih ingin mempertahankan pengaruh Belanda di Indonesia. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa organisasi tersebut lebih memperjuangkan kepentingan politik Belanda daripada kepentingan orang Maluku.
Sebagai akibat dari ketidaksepakatan ini, Nikijuluw memutuskan untuk menghentikan kerja sama dengan DDET dan mengeluarkan pernyataan kepada pers:
“Pimpinan DDET mencoba memecah belah komunitas Maluku di Belanda. Mereka juga bertindak seolah-olah mereka yang berhak menentukan kebijakan RMS di luar negeri. Kami tidak menginginkan organisasi Belanda mana pun mencampuri urusan internal negara kami. Kami juga tidak akan menggunakan cara-cara ilegal untuk mencapai tujuan kami.”
Pada tahun 1955, J.A. Manusama, Menteri Pertahanan RMS pada saat itu, juga mengkritik DDET. Ia menyatakan bahwa organisasi tersebut sering menyebarkan informasi yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat Maluku. Salah satu contoh adalah klaim DDET bahwa tidak ada orang Maluku yang ingin kembali ke Indonesia, padahal kenyataannya ada beberapa yang mempertimbangkan untuk kembali.
Pada tahun 1985, ketika Manusama telah menjadi Presiden RMS dalam pengasingan, ia kembali menegaskan bahwa hubungan antara DDET dan komunitas Maluku tidak selalu harmonis. Ia mengatakan:
“DDET mengharapkan orang Maluku mendukung mereka sepenuhnya, tetapi sebenarnya orang Maluku juga mengharapkan hal yang sama dari DDET. Sayangnya, mereka tidak selalu berada di pihak kami.”
3.4. Kesimpulan Sementara
Dari berbagai peristiwa ini, terlihat bahwa DDET sering kali mencoba memaksakan agendanya sendiri dalam perjuangan RMS. Organisasi ini tidak sepenuhnya mencerminkan aspirasi rakyat Maluku dan lebih sering dikendalikan oleh individu-individu Belanda yang memiliki pandangan kolonial.
Banyak kelompok Maluku yang akhirnya kehilangan kepercayaan terhadap DDET karena organisasi ini lebih banyak mempromosikan narasi pro-Belanda daripada benar-benar mendukung kemerdekaan RMS.
Meskipun DDET memainkan peran besar dalam membangun opini publik di Belanda, mereka tidak selalu memiliki hubungan baik dengan pemimpin RMS yang sesungguhnya. Sikap mereka yang cenderung arogan dan dominan menyebabkan ketegangan dengan organisasi lain dan merusak upaya kolektif untuk mendapatkan dukungan internasional bagi RMS.