4. STRATEGI UNCI
Meskipun anggota Door de Eeuwen Trouw (DDET) juga menganggap bahwa komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk campur tangan dalam konflik di Maluku Selatan, mereka tetap percaya bahwa Belanda seharusnya mengambil tindakan yang lebih tegas. Menurut mereka, Belanda memiliki posisi yang lebih kuat untuk melakukan intervensi dibandingkan dengan organisasi internasional yang cenderung lamban karena prosedur birokrasi yang panjang.
Namun, kenyataannya, RMS dianggap sebagai urusan dalam negeri Indonesia, dan sebagai mantan kekuatan kolonial, Belanda tidak bisa secara terbuka ikut campur. Setelah serangkaian aksi polisionil yang kontroversial, Belanda harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak lagi bisa memainkan peran paternalistik di Indonesia. Dalam konteks ini, beberapa pihak mulai melihat United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai pihak yang paling berwenang untuk bertindak dalam konflik ini.
4.1. Peran UNCI dalam Menjaga Perdamaian
UNCI merupakan kelanjutan dari Commissie van Goede Diensten (Komisi Jasa Baik), yang dibentuk pada Agustus 1948 di bawah tekanan besar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Komisi ini terdiri dari:
- Richard Kirby (Australia) – mewakili Indonesia
- Paul van Zeeland (Belgia) – mewakili Belanda
- Merle Cochran (Amerika Serikat) – pihak netral (menggantikan Frank Graham dan Court DuBois)
Tugas utama komisi ini adalah memfasilitasi perundingan antara Belanda dan Indonesia. Pada 28 Januari 1949, UNCI secara resmi menggantikan komisi sebelumnya. Peran utama UNCI adalah mengawasi proses pemindahan kedaulatan ke Indonesia serta memastikan bahwa Indonesia tetap beroperasi sebagai negara federal sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
Setelah Indonesia menjadi negara berdaulat, UNCI berfungsi sebagai kekuatan pascakolonial dalam PBB yang bertugas mengawasi kepatuhan terhadap kesepakatan KMB. Namun, dalam praktiknya, UNCI menghadapi banyak kendala dan keterbatasan dalam menjalankan tugasnya.
UNCI diberikan wewenang luar biasa untuk:
- Memberikan bantuan dalam pelaksanaan resolusi dan perundingan antara pihak-pihak yang berselisih.
- Mengadakan konsultasi dengan kelompok federalis di Indonesia.
- Memberikan rekomendasi terkait pemilihan umum dan transisi pemerintahan di Indonesia.
- Mengawasi penarikan pasukan Belanda dan transisi kekuasaan.
- Memberikan rekomendasi mengenai pengaturan militer dan administrasi di Indonesia.
Namun, jika pihak-pihak yang terlibat menolak untuk mengikuti rekomendasi UNCI, satu-satunya langkah yang bisa dilakukan adalah meminta Dewan Keamanan PBB untuk memberikan tekanan tambahan.
Meskipun UNCI bertindak sebagai perwakilan Dewan Keamanan di Indonesia, kenyataannya, Amerika Serikat memiliki pengaruh paling besar dalam komisi ini. Oleh karena itu, UNCI cenderung menghindari tindakan yang bisa memperburuk hubungan dengan pemerintah Indonesia.
4.2. Cara Indonesia Mengubah Sistem Federal ke Negara Kesatuan
Dalam berbagai laporan surat kabar di Belanda, pembubaran sistem federal di Indonesia sering kali digambarkan sebagai proses yang brutal dan penuh dengan pelanggaran hukum.
Pada 1 Februari 1950, komandan Korps Polisi Militer Indonesia menyerahkan sebuah laporan kepada Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (RIS). Laporan ini menguraikan strategi militer untuk menghapus Negara Indonesia Timur (NIT). Salah satu bagian dari laporan ini menyebutkan bahwa kota Makassar harus menjadi target pertama karena kota tersebut merupakan pusat administrasi dan politik NIT.
Dalam dokumen rahasia lainnya disebutkan bahwa strategi yang harus digunakan adalah “jalan yang halus”, karena tentara Republik Indonesia tidak cukup kuat untuk melawan KNIL secara terbuka. Oleh karena itu, strategi yang disarankan adalah menciptakan ketegangan internal sehingga pemerintah pusat dapat mengirimkan pasukan dari Jawa ke Makassar untuk “memulihkan ketertiban.”
Skenario ini kemudian benar-benar terjadi. Mantan kapten KNIL, Andi Azis, melakukan pemberontakan pada April 1950, yang menjadi alasan bagi pemerintah pusat untuk mengirimkan pasukan ke Makassar. Setelah itu, seluruh wilayah Negara Indonesia Timur ditempatkan di bawah kendali militer Republik Indonesia.
Berbagai media Belanda mengkritik metode yang digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk membentuk negara kesatuan. Mereka menilai bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan kesepakatan KMB, yang seharusnya menjamin keberlanjutan sistem federal di Indonesia.
4.3. Tuntutan agar UNCI Bertindak
Banyak surat kabar di Belanda mulai mempertanyakan bagaimana sistem federal bisa dibubarkan dengan begitu cepat. Mereka juga menuntut agar UNCI segera mengambil tindakan.
Menurut berbagai artikel, tindakan keras pemerintah Indonesia telah menyebabkan perlawanan di wilayah-wilayah yang dulu merupakan bagian dari NIT. Oleh karena itu, campur tangan UNCI dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
Beberapa media yang cenderung mendukung kebijakan pemerintah Indonesia berpendapat bahwa konflik ini harus diselesaikan oleh Indonesia sendiri. Namun, media yang lebih kritis, terutama yang berhaluan konservatif atau kolonial, berpendapat bahwa UNCI memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa Indonesia tidak melanggar perjanjian KMB.
Salah satu artikel dalam Leidsch Dagblad menyatakan:
“Siapa pun yang melihat kerja UNCI dari dekat mungkin akan mengangkat bahu dengan skeptis. Namun, bagi rakyat Indonesia, UNCI adalah institusi yang sangat kuat – perwakilan Dewan Keamanan PBB yang bahkan lebih kuat daripada mantan penguasa kolonial.”
Artikel ini mengingatkan bahwa laporan yang dibuat oleh pendahulu UNCI, Komisi Jasa Baik, pernah berhasil memaksa Belanda untuk menghentikan aksi polisionil mereka.
Bahkan, New York Times menerbitkan sebuah editorial yang menekankan bahwa PBB harus memperkuat UNCI agar dapat menangani situasi di Maluku Selatan dengan lebih efektif.
“Ini bukan konflik antara Belanda dan Indonesia, atau antara Blok Timur dan Barat. Ini adalah masalah antara Indonesia dan PBB. UNCI, yang merupakan organ PBB, kini sedang diabaikan oleh pemerintah yang seharusnya mereka bantu. PBB memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa otoritas UNCI tidak dilemahkan oleh pemerintah Indonesia sendiri.”
Namun, meskipun ada tekanan dari berbagai pihak, UNCI tetap enggan terlibat secara langsung dalam konflik RMS.
4.4. Tekanan Diplomatik dan Respon Indonesia
Pada Oktober 1950, setelah pertempuran di Ambon semakin intensif, Belanda mencoba mendorong UNCI untuk bertindak.
Pada 5 Oktober 1950, Hoge Commissaris Belanda, A.H.C. Gieben, secara resmi meminta UNCI untuk melakukan intervensi. Tiga hari kemudian, ia bahkan meminta agar masalah ini diajukan ke Dewan Keamanan PBB.
Pada 7 Oktober, UNCI akhirnya meminta Indonesia untuk menghentikan operasi militer di Ambon. Namun, pemerintah Indonesia menolak permintaan ini dengan alasan bahwa operasi militer sudah berada dalam tahap akhir dan tidak bisa dihentikan begitu saja.
Menanggapi penolakan ini, beberapa surat kabar Belanda melaporkan bahwa UNCI ingin memperluas kewenangannya agar bisa menangani konflik ini dengan lebih efektif. Namun, laporan ini ternyata keliru. UNCI tidak pernah meminta kewenangan tambahan, melainkan hanya mengajukan permohonan kepada Dewan Keamanan untuk memberikan dukungan tambahan.
4.5. Kesimpulan Sementara
Strategi UNCI dalam menangani konflik RMS sangat bergantung pada pendekatan diplomatik. Namun, karena UNCI tidak memiliki wewenang untuk melakukan intervensi militer, upaya mereka sebagian besar tidak membuahkan hasil.
Keengganan mereka untuk mengambil tindakan tegas membuat mereka kehilangan kredibilitas di mata banyak pihak, termasuk Belanda dan komunitas RMS.
KESIMPULAN
Penelitian ini membandingkan strategi dua organisasi yang memainkan peran dalam perjuangan Republik Maluku Selatan (RMS) antara tahun 1950 hingga 1955: Stichting Door de Eeuwen Trouw (DDET), organisasi yang berbasis di Belanda, dan United Nations Commission for Indonesia (UNCI), komisi yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dengan menganalisis berbagai laporan media mengenai kedua organisasi ini, dapat disimpulkan bahwa strategi mereka dalam menangani konflik RMS sangat berbeda satu sama lain.
DDET: Strategi Konfrontatif dan Propaganda
Stichting Door de Eeuwen Trouw (DDET) menggunakan strategi yang berfokus pada intervensi langsung dalam konflik. Organisasi ini:
- Memanfaatkan propaganda untuk membangun citra bahwa orang Maluku adalah sekutu setia Belanda yang dikhianati oleh pemerintah mereka sendiri.
- Menggunakan retorika emosional untuk menarik simpati masyarakat Belanda terhadap perjuangan RMS.
- Secara aktif menekan pemerintah Belanda untuk bertindak dalam konflik ini.
Namun, strategi DDET menghadapi beberapa kendala besar:
- Citra Kolonial yang Kuat
- Banyak anggota DDET berasal dari lingkungan yang memiliki keterikatan dengan masa lalu kolonial Belanda di Indonesia.
- Organisasi ini tidak sepenuhnya mewakili suara komunitas Maluku, tetapi lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang Belanda yang masih memiliki kepentingan politik tertentu.
- Konflik dengan Perwakilan RMS
- DDET sering kali bertindak seolah-olah mereka memiliki kendali penuh atas kebijakan RMS, yang menyebabkan ketegangan dengan pemimpin RMS di pengasingan.
- Mereka juga dituduh menyelewengkan dana dan memaksakan agenda politik mereka sendiri.
- Kurangnya Dukungan dari Komunitas Internasional
- DDET tidak memiliki pengaruh diplomatik yang cukup untuk mendorong perubahan nyata dalam kebijakan internasional terhadap RMS.
Akibatnya, meskipun DDET berhasil mendapatkan perhatian publik di Belanda, strategi mereka tidak cukup efektif dalam mewujudkan tujuan utama mereka, yaitu mendapatkan pengakuan internasional untuk RMS.
UNCI: Strategi Diplomasi yang Tidak Efektif
Berbeda dengan DDET, United Nations Commission for Indonesia (UNCI) mengadopsi pendekatan diplomatik yang jauh lebih hati-hati. Sebagai organisasi yang beroperasi di bawah PBB, UNCI memiliki tujuan utama untuk menjaga stabilitas dan mengawasi implementasi perjanjian yang telah disepakati dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
Strategi UNCI mencakup:
- Menghindari keterlibatan langsung dalam konflik internal Indonesia.
- Menjaga netralitas dan tidak berpihak kepada kelompok mana pun.
- Berupaya menyelesaikan konflik melalui perundingan dan diplomasi.
Namun, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan yang signifikan:
- Batasan Wewenang
- UNCI tidak memiliki kekuatan untuk memaksa Indonesia mematuhi perjanjian KMB.
- Mereka hanya bisa memberikan rekomendasi dan tidak dapat mengambil tindakan tegas jika rekomendasi tersebut diabaikan.
- Penolakan dari Indonesia
- Pemerintah Indonesia menolak campur tangan UNCI dalam urusan dalam negerinya.
- Upaya UNCI untuk menengahi konflik di Maluku ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia.
- Kurangnya Keberanian dalam Bertindak
- Ketika konflik di Ambon mencapai puncaknya pada tahun 1950, UNCI hanya mengeluarkan permintaan diplomatik kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan operasi militer, tetapi tidak melakukan langkah konkret untuk menegakkan resolusi mereka.
Akibatnya, meskipun UNCI memiliki legitimasi internasional yang kuat, mereka gagal memainkan peran yang menentukan dalam penyelesaian konflik RMS.
Kesimpulan Akhir: Dua Pendekatan yang Tidak Efektif
Baik strategi DDET maupun UNCI ternyata tidak cukup efektif dalam membantu perjuangan RMS:
- DDET terlalu agresif dan terikat dengan narasi kolonial, sehingga mereka kehilangan kredibilitas di mata komunitas Maluku dan dunia internasional.
- UNCI terlalu pasif dan tidak memiliki mekanisme yang kuat untuk menegakkan kepatuhan terhadap perjanjian yang telah disepakati.
Akhirnya, kombinasi dari strategi yang salah ini menyebabkan RMS gagal mendapatkan pengakuan internasional. Perjuangan mereka pada akhirnya meredup, dan Maluku Selatan tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Refleksi Sejarah: Dampak Jangka Panjang
Meskipun skripsi ini berfokus pada periode 1950-1955, dampak dari konflik ini masih terasa hingga saat ini.
- Komunitas Maluku di Belanda masih memiliki hubungan yang kuat dengan identitas RMS, meskipun gerakan politik mereka tidak lagi seaktif pada dekade-dekade sebelumnya.
- Hubungan antara Belanda dan komunitas Maluku tetap kompleks, terutama dalam hal sejarah kolonial dan migrasi paksa orang Maluku ke Belanda pada tahun 1951.
- Secara internasional, perjuangan RMS jarang mendapatkan perhatian yang signifikan, dan isu ini lebih banyak menjadi bagian dari sejarah ketimbang agenda politik global.
Dengan demikian, penelitian ini menegaskan bahwa strategi yang digunakan dalam sebuah gerakan kemerdekaan sangat menentukan hasil akhirnya. Dalam kasus RMS, baik pendekatan konfrontatif DDET maupun pendekatan diplomatik UNCI gagal menghasilkan perubahan nyata.
Sumber : Steun in de strijd voor een vrije Zuid-Molukse Republiek: Een vergelijking van het beleid van de stichting Door de Eeuwen Trouw en de United Nations Comission for Indonesia tussen 1950 en 1955 (Joaniek Vreeswijk, 2018)