Guncangan Fiskal Maluku: Mengurai Dampak Pemangkasan TKD dan Strategi Adaptasi

Share:

Keputusan Kementerian Keuangan memangkas Transfer Keuangan Daerah (TKD) untuk Maluku sebesar Rp373 miliar bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2026 merupakan sebuah guncangan fiskal yang signifikan. Penyesuaian anggaran ini, yang mencerminkan tren pemangkasan secara nasional, berpotensi menciptakan tantangan serius bagi Provinsi Maluku, khususnya dalam melanjutkan roda pembangunan dan pelayanan publik. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku wajib menyikapi kondisi ini dengan penuh kewaspadaan, kreativitas, dan strategi fiskal yang cerdas.

TKD merupakan urat nadi bagi daerah seperti Maluku yang memiliki kapasitas fiskal terbatas, di mana lebih dari 70 persen belanja publiknya bersumber dari dana transfer pusat. Maka, pemangkasan ratusan miliar rupiah ini bukanlah koreksi kecil—melainkan guncangan signifikan yang bisa menunda berbagai program prioritas, terutama infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan di wilayah kepulauan.

Mengapa Pemangkasan Terjadi?

Kementerian Keuangan tidak serta-merta melakukan pemotongan tanpa dasar. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah pusat menerapkan penyesuaian fiskal berbasis kinerja dan efisiensi. Daerah yang dianggap kurang optimal dalam menyerap anggaran, tidak memenuhi indikator tata kelola, atau memiliki ketimpangan belanja pegawai versus pembangunan fisik, kerap menjadi sasaran koreksi.

Kita tak bisa hanya menyalahkan pusat tanpa refleksi. Kementerian Keuangan tak sembarangan memangkas TKD. Ada beberapa kemungkinan penyebab:

  • Pertama, konsolidasi fiskal nasional. Di tengah tekanan global—suku bunga tinggi, ketidakpastian geopolitik, dan defisit APBN—pemerintah pusat terpaksa mengetatkan anggaran. Daerah “beruntung” yang dianggap sudah mapan mungkin dipangkas, sementara daerah prioritas (seperti IKN atau daerah perbatasan) justru ditambah.
  • Kedua, kinerja penyerapan anggaran Maluku. Jika dalam dua-tiga tahun terakhir penyerapan DAU/DAK rendah atau lambat, pusat bisa menganggap Maluku “tidak siap” mengelola dana besar. Ini bukan tuduhan, tapi fakta birokrasi: efisiensi penyerapan anggaran menjadi salah satu parameter dalam formula TKD.
  • Ketiga, perubahan formula alokasi. Misalnya, jika indeks kemiskinan Maluku membaik (meski belum signifikan), atau jumlah penduduk berkurang dalam sensus terbaru, alokasi bisa turun. Namun, ini justru ironis: jika Maluku “dihukum” karena sedikit membaik, maka insentif untuk berkembang justru hilang.

Dampak Ganda Pemangkasan TKD di Maluku

Pemangkasan dana sebesar Rp373 miliar bukanlah angka yang kecil bagi APBD Maluku yang sebagian besar sangat bergantung pada transfer dari pusat. Dampak yang ditimbulkan dapat bersifat ganda dan merambat, tidak hanya menyentuh sektor fisik tetapi juga sektor sumber daya manusia dan sosial.

1. Perlambatan Pembangunan Infrastruktur dan Program Prioritas

Dampak yang paling nyata adalah terancamnya pembangunan infrastruktur yang sangat dibutuhkan Maluku sebagai provinsi kepulauan. Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik, yang merupakan salah satu komponen TKD, sering kali menjadi tulang punggung pembiayaan proyek-proyek strategis seperti jalan, jembatan antar-pulau, pelabuhan, dan fasilitas air bersih.

  • Proyek Tertunda atau Dibatalkan: Pemangkasan ini berpotensi menyebabkan penundaan atau bahkan pembatalan proyek-proyek vital, yang secara langsung akan menghambat konektivitas antar-wilayah dan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi daerah.
  • Kualitas Layanan Dasar: Penurunan DAK Non-Fisik dan Dana Alokasi Umum (DAU) dapat pula memengaruhi kualitas layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Pengadaan alat kesehatan, tunjangan tenaga pendidik dan kesehatan, hingga operasional sekolah dan puskesmas berisiko terganggu.

2. Tekanan pada Belanja Pegawai dan Pelayanan Publik

Meskipun belanja pegawai seperti gaji pokok wajib diprioritaskan, pengurangan TKD dapat memberikan tekanan besar pada komponen belanja pegawai non-gaji, seperti Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) dan tunjangan lainnya, termasuk untuk Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

  • Moral dan Kinerja ASN: Jika TPP dipangkas, hal ini berisiko menurunkan moral dan kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merupakan ujung tombak pelayanan publik.
  • Ketidakpastian Kebutuhan Publik: Pemda akan menghadapi dilema berat dalam menyeimbangkan belanja wajib—seperti gaji dan operasional rutin—dengan belanja untuk kebutuhan rakyat, seperti subsidi atau bantuan sosial, di tengah keterbatasan anggaran.

3. Kemampuan Fiskal Daerah yang Kian Terbatas

Pemangkasan ini secara keseluruhan akan membuat kemampuan fiskal daerah (KFD) Maluku kian terbatas. Ruang gerak Pemda untuk melakukan intervensi ekonomi, merespons bencana, atau bahkan sekadar menjaga kebersihan kota akan menyempit. Hal ini dapat memperbesar jurang ketimpangan, terutama antara pusat kota dan wilayah terpencil di pulau-pulau kecil.

Strategi Adaptasi: Kewaspadaan dan Inovasi Fiskal Maluku

Menghadapi kenyataan fiskal yang baru ini, Pemerintah Provinsi Maluku tidak bisa berdiam diri atau hanya berharap ada perubahan kebijakan dari pusat. Kewaspadaan yang diminta oleh Kementerian Keuangan harus diterjemahkan menjadi strategi adaptasi yang proaktif dan inovatif.

1. Disiplin Anggaran dan Efisiensi Belanja

Langkah pertama yang paling krusial adalah menerapkan disiplin anggaran ketat dan efisiensi belanja secara menyeluruh.

  • Revisi Skala Prioritas: Pemprov harus segera meninjau ulang Rancangan APBD 2026. Fokus anggaran harus benar-benar dialihkan hanya pada program yang memiliki dampak berganda (multiplier effect) tertinggi dan langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat (skala prioritas wajib).
  • Pemangkasan Belanja Tidak Produktif: Belanja-belanja yang bersifat seremonial, perjalanan dinas yang tidak esensial, serta pengadaan barang dan jasa yang bisa ditunda atau dibatalkan wajib menjadi sasaran pemangkasan utama. Efisiensi harus dimulai dari pucuk pimpinan.

2. Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Secara Cerdas

Ketergantungan pada TKD harus diimbangi dengan upaya maksimal menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD). Maluku memiliki potensi yang besar di sektor bahari dan pariwisata.

  • Peningkatan Pajak dan Retribusi: Bukan dengan menaikkan tarif secara ugal-ugalan yang memberatkan rakyat kecil, melainkan dengan memperluas basis pajak, melakukan pemutakhiran data objek pajak, dan memastikan kepatuhan wajib pajak besar. Optimalisasi retribusi daerah yang selama ini belum maksimal juga harus didorong.
  • Pengelolaan Aset Daerah dan BUMD: Pemerintah harus lebih serius mengelola aset daerah yang menganggur atau belum produktif. Selain itu, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) harus direvitalisasi agar menjadi sumber pendapatan yang signifikan, bukan sekadar beban APBD.

3. Menggali Sumber Pembiayaan Alternatif dan Kolaborasi

Keterbatasan dana transfer harus memicu Pemprov untuk mencari alternatif pembiayaan di luar dana pusat.

  • Mekanisme Pembiayaan Kreatif: Pemprov perlu mempertimbangkan skema pembiayaan alternatif seperti Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk proyek-proyek infrastruktur, atau bahkan penerbitan obligasi daerah jika kapasitas fiskal memungkinkan dan proyeknya menjanjikan pengembalian.
  • Kolaborasi dan Lobi Intensif: Pemprov harus membangun komunikasi dan lobi yang lebih intensif dengan Kementerian/Lembaga (K/L) di Pusat. Mengingat Kemenkeu mengalihkan sebagian TKD ke belanja K/L yang dieksekusi di daerah (misalnya Inpres Jalan Daerah atau program strategis lain), Pemprov Maluku harus proaktif dalam memastikan program-program K/L tersebut masuk dan sesuai dengan kebutuhan prioritas Maluku.

Menuju Maluku yang Mandiri

Pemangkasan TKD ini seharusnya menjadi titik balik, bukan titik henti. Selama ini, otonomi daerah sering diartikan sebagai “hak minta dana ke pusat”. Padahal, esensi otonomi adalah kemampuan mengatur diri sendiri dengan sumber daya yang ada. Maluku harus bergegas keluar dari mentalitas “daerah miskin yang selalu menunggu uluran tangan”.

Ini bukan perkara tahun depan saja. Ini soal warisan untuk generasi mendatang. Jika hari ini kita membiarkan infrastruktur tertunda, pendidikan terbengkalai, dan ekonomi stagnan, maka anak-anak Maluku di masa depan akan terus menjadi penonton dalam kemajuan bangsa.

Penutup: Maluku Sebagai Episentrum Ketahanan Fiskal

Pemangkasan TKD Rp373 miliar ini adalah momen krusial bagi Maluku. Ini adalah ujian ketahanan fiskal dan panggilan untuk otonomi yang lebih mandiri. Jika Pemprov Maluku mampu mengelola dampak negatifnya melalui efisiensi yang radikal dan inovasi pendapatan yang cerdas, maka Maluku akan muncul sebagai daerah yang lebih tangguh dan tidak lagi rentan terhadap fluktuasi kebijakan fiskal pusat. Kewaspadaan harus diiringi dengan keberanian untuk berubah dan komitmen untuk melayani rakyat dengan sumber daya yang terbatas. Masa depan pembangunan Maluku kini bergantung pada seberapa efektif dan efisien anggaran yang tersisa dikelola.


Masa depan Maluku bukan ditentukan oleh Jakarta, tapi oleh keberanian dan kecerdasan putra-putri Maluku sendiri.

error: Content is protected !!