Tahun 1907 menjadi masa penuh gejolak bagi dunia intelektual Hindia di Negeri Belanda. Majalah Bintang Hindia—yang selama ini menjadi jembatan pemikiran antara kaum muda Indonesia dan masyarakat Eropa—tiba-tiba berhenti terbit. Bagi sang pengasuh, Clockener Brousson, keputusan itu bukan tanpa beban. Segala perdebatan dan tekanan yang menyertai penerbitan majalah itu membuatnya jatuh sakit, hingga ia harus beristirahat di Jerman. Sementara itu, para pekerja pribumi kehilangan tempat berkarya dan sumber penghidupan mereka.
Namun sejarah tidak berhenti di situ. Pada bulan Juli tahun itu, datanglah tiga sosok dari Timur jauh—tiga bersaudara asal Ambon yang akan menghidupkan kembali semangat perlawanan intelektual kaum muda Hindia di tanah Eropa: Johan Everhardus (J.E.) Tehupeiory, Wilhelmus Karel (W.K.) Tehupeiory, dan Leentje Tehupeiory saudari mereka yang ingin belajar menjadi apoteker.
Kedatangan mereka di Negeri Belanda bagaikan nyala kecil di tengah abu yang hampir padam. Johan, yang baru memulai praktik kedokteran untuk menabung biaya studi lanjutan, tidak menduga bahwa langkahnya akan mempertemukannya kembali dengan Clockener Brousson. Sang mentor terkejut sekaligus terharu. “Seandainya aku tahu kalian akan datang,” katanya kemudian, “aku tidak akan membubarkan Bintang Hindia.”
Dari pertemuan itulah lahir gagasan baru. Pada 1 Januari 1900, sebuah majalah baru terbit: Bandera Wolanda, Maleisch Exportblad. Di bawah bimbingan Brousson dan dengan semangat baru dari Johan dan W.K. Tehupeiory, majalah itu menjadi wadah baru bagi suara-suara pribumi yang terdidik, kali ini dengan pendekatan yang lebih luas—menjangkau dunia perniagaan Indonesia dan Tionghoa.
Foto-foto indah, kisah eksotis dari negeri jauh, hingga cerita bersambung ala Dongeng Seribu Satu Malam mewarnai halamannya. Namun di balik itu, tersimpan semangat yang sama dengan Bintang Hindia: membuka cakrawala, menumbuhkan kesadaran, dan memperkenalkan wajah baru Hindia kepada dunia.
Dokter dan Jurnalis di Hindia Belanda

Johannes Everhardus Tehupeiory lahir di Ema, Ambon. Setelah menyelesaikan Burgerschool di Ambon, ia mengikuti pendidikan di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia) di Weltevreden, sambil menekuni karier jurnalis dan editor. Ia aktif menulis dan mengelola majalah Soerat Chabar Soldadoe (Koran Tentara), yang pertama terbit April 1900, kemudian menjadi Bandera Wolanda.
Penerbit majalah ini berupaya di antaranya untuk meningkatkan posisi tentara pribumi. Pada tahun 1902, Tehupeiory meninggalkan pendidikan sebagai yang terbaik di angkatannya. Ia menetap sebagai dokter di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, saat ini sebuah distrik di Jakarta) dan memperoleh sedikit ketenaran di sana. Pada tahun 1903, Pemerintah Hindia memintanya untuk bergabung sebagai dokter dalam ekspedisi ilmiah ke Borneo. Berdasarkan ekspedisi ini, Tehupeiory menerbitkan berbagai artikel tentang pulau itu, termasuk buku “Onder de Dajaks in Centraal Borneo” (Di Bawah Dayak di Borneo Tengah). Pada tahun 1904, ia menjadi editor di Bintang Hindia (Bintang Hindia), penerus Bandera Wolanda, di mana juga terlibat tokoh terkenal Abdoel Rivai (1871-1937).
Pidato yang Menggetarkan Negeri Kolonial
Tidak lama setelah Bandera Wolanda terbit, W.K. Tehupeiory menorehkan sejarah. Pada 28 Januari 1908, ia menjadi orang Indonesia pertama yang berdiri di hadapan forum bergengsi Indisch Genootschap—perkumpulan para ahli Belanda tentang Hindia—untuk menyampaikan pidatonya yang berjudul “Sedikit tentang Para Tabib Pribumi.”
Dengan ketenangan dan kecerdasan yang mengagumkan, ia memaparkan kenyataan getir: bahwa dokter pribumi bekerja keras dengan gaji rendah, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kesempatan memperdalam pengetahuan. Mereka dipaksa bertahan di tengah sistem yang menutup pintu bagi kemajuan mereka.
Pidato itu mengguncang. Dua tokoh besar politik etis Belanda, Van Deventer dan Abendanon, secara terbuka menyampaikan penghargaan mereka. Bahkan koran Nieuwe Courant menulis editorial berjudul “Perkembangan Kejiwaan Inlander”, memuji keberanian seorang pribumi yang “berani berbicara di hadapan orang Belanda dengan pengetahuan setara mereka.”
Namun di balik pujian itu terselip nada kolonial yang getir: pengakuan bahwa pribumi seperti Tehupeiory memang cerdas, tapi “belum siap menduduki jabatan tinggi.” Ironi itulah yang menjadi bahan renungan mendalam bagi banyak kaum muda Hindia.

Johan Tehupeiory: Antara Ilmu dan Ideal
Sementara sang adik bersinar di podium, Johan Everhardus Tehupeiory terus menempuh jalannya di bidang kedokteran. Ia menemui Menteri Daerah Jajahan, menuntut kenaikan gaji dokter pribumi—sebuah langkah berani pada masa ketika kesetaraan hanyalah impian.
Tak berhenti di situ, Johan pun menulis dan berpidato. Dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda di Leiden pada Agustus 1908, ia berbicara tentang “Orang Pribumi Sebelum dan Sesudah Didirikannya Perserikatan Umum Belanda.” Pidatonya menyoroti pentingnya penguasaan bahasa Belanda sebagai kunci pembuka peradaban Barat.
Meski berhati-hati, pandangannya jelas: tanpa akses terhadap bahasa dan ilmu pengetahuan, rakyat Hindia akan terus tertinggal. Di tengah tepuk tangan hadirin, seorang penulis Belanda yang awalnya sinis akhirnya menulis:
“Kami mengira ia hanya ingin tampil, namun ternyata Tehupeiory berbicara dengan rendah hati, jelas, dan penuh semangat. Ia layak mendapat penghargaan, bukan karena meniru kami, tapi karena memahami kami.”
Tragedi di Tengah Puncak Cemerlang
Namun takdir berkata lain. Pada Desember 1908, Johan akhirnya meraih gelar dokter—bersama saudaranya. Mimpinya begitu banyak: menulis buku “Negeri Belanda dan Orang Belanda Menurut Seorang Hindia”, membuka klinik bersama tunangannya, seorang dokter Belanda Henriette Graanboom, dan mengembangkan Bandera Wolanda menjadi majalah pergerakan.
Sayang, kebahagiaan itu hanya seumur jagung. Suatu malam di Utrecht, karena kelelahan dan udara dingin, ia lupa mematikan kran gas di kamarnya. Keesokan harinya 22 Desember 1908, ia ditemukan tak sadarkan diri—dan sehari kemudian, meninggal dunia.
Pada Hari Natal kedua, jenazah Johan Tehupeiory dipindahkan ke Pemakaman Umum Kedua Kovelswade di Utrecht. Di makam, yang pertama berbicara adalah Mr. C.Th. van Deventer, anggota DPR dan pendukung pembayaran ‘hutang kehormatan’ kepada Hindia Belanda. Ia menyampaikan penghormatan atas nama semua orang Belanda yang menganggap Hindia sebagai tanah air kedua mereka dan mencintainya, kepada yang meninggal. Selain itu, Van Deventer berbicara tentang kemauan Tehupeiory untuk menunjukkan apa yang bisa dan mau dilakukan oleh pribumi. Kemudian, Mr. Giesbers berbicara atas nama perkumpulan mahasiswa NOVA dengan pujian atas Tehupeiory dan usahanya untuk membuat Hindia lebih dikenal di kalangan orang Belanda. Pembicara lain mengikuti, termasuk saudara laki-laki dari tunangan Tehupeiory dan ketua Indische Vereniging yang baru didirikan di Belanda. Yang terakhir berbicara adalah Wim Tehupeiory, saudara laki-laki almarhum. Berita itu menyebar cepat di seluruh Negeri Belanda. Surat kabar-surat kabar besar menulis tentang “kematian tragis seorang pemuda Hindia yang berbakat luar biasa.”

Pada 23 Oktober 1909, Van Deventer meresmikan monumen Tehupeiory—tanda penghormatan bagi anak negeri yang telah menembus batas-batas rasial dan intelektual zamannya, yang diserahkan kepada Indische Vereniging. Kali ini juga, yang pertama berbicara adalah Mr. Van Deventer. Kemudian, Soetan Casajangan, ketua Indische Vereniging, menerima monumen dan sekretaris R. Soemitro menyampaikan pidato. Untuk pembuatan monumen makam, Indische Vereniging memesan kepada pematung Thérèse van Hall yang sebelumnya telah membuat monumen makam, semuanya sangat berbeda satu sama lain. Untuk Tehupeiory, ia membuat stele dari batu pasir, diapit dua tiang. Di atas tiang, ular-ular yang saling melingkar, sebagai simbol ilmu kedokteran. Pada stele, yang paling menonjol adalah gambar seorang pria dalam posisi lotus dengan buku di pangkuannya. Di belakangnya matahari dan sinar matahari. Di atasnya, Van Hall menggambarkan daun pohon sagu, mengingatkan pada Ambon. Di bawah gambar, teks: “Ter herinnering aan | Johannes Everhardus Tehupeiorij | Inlandsch en Nederlandsch arts | geboren 25 juni 1882 te Ema, eiland Ambon | overleden 22 december 1908 te Utrecht | zijn nagedachtenis blijft in eere bij allen die gelooven in Insulinde’s toekomst”
Kenangan – Johannes Everhardus Tehupeiory | Dokter Pribumi dan Belanda | lahir 25 Juni 1882 di Ema, pulau Ambon | meninggal 22 Desember 1908 di Utrecht | kenangannya tetap terhormat bagi semua yang percaya pada masa depan Insulinde.
Pada tahun 2001, monumen makam ditetapkan sebagai bagian dari kompleks pemakaman Kovelswade sebagai monumen nasional. Monumen makam dianggap memiliki nilai umum karena nilai sejarah seni sebagai contoh bentuk khas dan nilai sejarah pemakaman sebagai bagian dari pemakaman. Saat ini, monumen makam Tehupeiory menjadi topik penting dalam konteks emansipasi penduduk Indonesia pada abad ke-20.
Warisan dari “Bandera Wolanda”
Kematian Johan bukan akhir, melainkan awal dari babak baru. Tak lama kemudian berdiri Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia), yang kelak menjadi cikal bakal Perhimpunan Indonesia. Di majalah Bandera Wolanda, nama-nama seperti Noto Soeroto dan Casajangan muncul sebagai penerus semangat Tehupeiory bersaudara—menulis, berdiskusi, dan mengartikulasikan mimpi tentang kemerdekaan intelektual bangsa Hindia.
Bandera Wolanda, yang awalnya hanyalah majalah dagang, kini berubah menjadi simbol perlawanan halus kaum terpelajar pribumi—sebuah bendera ide dan gagasan yang dikibarkan oleh anak-anak negeri jauh dari tanah airnya.
Epilog
Dalam sejarah yang panjang dan sering terlupakan, Tehupeiory Bersaudara adalah sosok-sosok yang menandai kebangkitan kesadaran intelektual Indonesia di Eropa. Mereka bukan hanya dokter, penulis, atau orator—mereka adalah jembatan antara Timur dan Barat, antara tradisi dan modernitas, antara Hindia yang tertindas dan Indonesia yang sedang lahir.
Di balik kata-kata dan pidato, di balik halaman-halaman Bandera Wolanda, tersimpan semangat yang kelak menyalakan api pergerakan nasional.
Dan seperti yang pernah ditulis seorang pengamat Belanda kala itu:
“Jika setiap anak Hindia memiliki semangat seperti Tehupeiory, maka tak lama lagi Hindia akan menulis sejarahnya sendiri.”