Jangan Samakan Tindakan Manusia atas Nama Tuhan dengan Tuhan

Share:

Manusia, sejak awal peradaban, sering kali menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan tindakan, keputusan, atau bahkan konflik yang mereka lakukan. Namun, menyamakan apa yang dilakukan atas nama Tuhan dengan Tuhan itu sendiri adalah kesalahan mendasar yang dapat menyesatkan pemahaman tentang hakikat ilahi. Tindakan manusia, meskipun diklaim sebagai representasi kehendak Tuhan, pada hakikatnya adalah produk dari interpretasi, kepentingan, atau keterbatasan manusia itu sendiri.

Pertama, tindakan manusia yang dilakukan atas nama Tuhan sering kali dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan politik. Sepanjang sejarah, kita melihat berbagai peristiwa—mulai dari perang agama, diskriminasi, hingga kekerasan—yang dilakukan dengan dalih menjalankan perintah Tuhan. Misalnya, Perang Salib atau konflik-konflik berbasis agama di era modern sering dikaitkan dengan kehendak ilahi, padahal akarnya lebih sering terletak pada ambisi kekuasaan, ekonomi, atau perebutan wilayah. Manusia, sebagai makhluk yang terbatas, cenderung menafsirkan teks suci atau ajaran agama sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan mereka. Alkitab sendiri mengingatkan dalam Yohanes 16:2-3 (TB): “Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka, bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. Mereka akan berbuat demikian, karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku.” Ayat ini menunjukkan bahwa tindakan ekstrem yang diklaim atas nama Tuhan sering kali lahir dari ketidakpahaman, bukan kehendak ilahi.

Kedua, Tuhan, dalam banyak tradisi agama, digambarkan sebagai entitas yang maha sempurna, maha adil, dan maha kasih. Atribut-atribut ini sering kali bertolak belakang dengan tindakan manusia yang penuh dengan kesalahan, kebencian, atau ketidakadilan. Sebagai contoh, ketika seseorang melakukan kekerasan atau penindasan dengan mengatasnamakan Tuhan, tindakan tersebut justru bertentangan dengan nilai-nilai kasih dan keadilan yang sering diajarkan oleh agama itu sendiri. Menyamakan tindakan semacam itu dengan Tuhan berarti merendahkan esensi Tuhan yang transenden dan tidak terbatas oleh keterbatasan manusiawi. Alkitab menegaskan dalam 1 Yohanes 4:8 (TB): “Barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.” Ini menegaskan bahwa esensi Tuhan adalah kasih, bukan kekerasan atau penindasan yang sering dikaitkan dengan tindakan manusia.

Ketiga, menyamakan tindakan manusia dengan Tuhan dapat menciptakan persepsi yang salah tentang agama dan spiritualitas. Ketika tindakan negatif, seperti intoleransi atau kekerasan, dikaitkan dengan Tuhan, banyak orang menjadi skeptis terhadap agama secara keseluruhan. Hal ini dapat memicu ateisme, konflik antaragama, atau polarisasi sosial. Padahal, jika kita memahami bahwa tindakan tersebut adalah produk manusia dan bukan cerminan Tuhan, kita dapat memfokuskan diri pada nilai-nilai universal seperti kasih sayang, keadilan, dan perdamaian yang sering menjadi inti ajaran agama. Roma 12:18 (TB) mendukung hal ini: “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” Ayat ini mengajak kita untuk mencerminkan kehendak Tuhan melalui perdamaian, bukan konflik.

Namun, bukan berarti manusia tidak dapat mencerminkan nilai-nilai ilahi. Banyak individu dan komunitas yang, melalui tindakan kasih, kedermawanan, dan keadilan, berusaha menjalankan ajaran Tuhan dengan tulus. Meski demikian, tindakan ini pun tetap harus dilihat sebagai usaha manusia yang tidak sempurna, bukan representasi langsung dari Tuhan. Dengan menyadari keterbatasan ini, kita dapat lebih rendah hati dalam menjalankan keyakinan dan menghindari sikap menghakimi atau mengklaim kebenaran mutlak atas nama Tuhan.

Untuk mengatasi kekeliruan ini, pendidikan dan dialog antaragama menjadi sangat penting. Pendidikan agama yang inklusif dapat membantu manusia memahami bahwa ajaran Tuhan lebih bersifat universal dan tidak terbatas pada interpretasi satu kelompok saja. Dialog antaragama juga dapat mendorong saling pengertian dan menghapus stereotip bahwa tindakan ekstrem suatu kelompok mencerminkan seluruh ajaran agama atau Tuhan itu sendiri. Selain itu, refleksi pribadi dan kritis terhadap motif di balik tindakan kita juga penting untuk memastikan bahwa apa yang kita lakukan benar-benar selaras dengan nilai-nilai ilahi, bukan sekadar pembenaran atas nama Tuhan.

Sebagai penutup, membedakan antara tindakan manusia dan Tuhan adalah langkah penting untuk memahami hakikat spiritualitas yang sejati. Manusia, dengan segala keterbatasannya, tidak dapat sepenuhnya mewakili Tuhan dalam tindakannya. Dengan menyadari hal ini, kita dapat menghindari penyalahgunaan nama Tuhan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, serta menjaga kemurnian nilai-nilai ilahi yang mengajarkan kasih, keadilan, dan perdamaian. Seperti yang diingatkan dalam Mikha 6:8 (TB): “Hai manusia, telah dinyatakan kepadamu apa yang baik, dan apa yang dituntut TUHAN dari padamu: Yaitu melaksanakan keadilan, mengasihi kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati bersama Allahmu.” Mari kita berfokus pada esensi Tuhan yang transenden dan tidak terbatas, sambil terus berusaha menjalankan nilai-nilai luhur tersebut dengan penuh kerendahan hati sebagai manusia.

error: Content is protected !!