Kampus dan Luka yang Tak Terlihat: Kekerasan Seksual dalam Bayang-bayang Akademik

Share:

Kabar tentang pemecatan Prof. Edy Meiyanto, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), akibat kasus kekerasan seksual, mengguncang dunia pendidikan tinggi Indonesia. Di balik gelar dan jabatan akademik yang mentereng, tersingkap realitas kelam: kekerasan seksual bukan hanya terjadi di jalanan sunyi atau ruang-ruang gelap, tapi juga di dalam kampus—tempat yang seharusnya menjadi ruang aman, tempat tumbuhnya ilmu pengetahuan, dan berkembangnya integritas moral.

Kasus UGM bukan yang pertama. Dan sayangnya, bukan yang terakhir.

Kekerasan Seksual di Kampus: Masalah yang Terus Berulang

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi telah mencuat ke permukaan, antara lain:

  • Kasus di Universitas Indonesia (UI): Dosen Fakultas Hukum UI dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswanya (2023).
  • Kasus di Institut Teknologi Bandung (ITB): Mahasiswa melaporkan dosen karena pemaksaan hubungan seksual (2022).
  • Kasus di Universitas Brawijaya (UB): Pegawai kampus diduga melakukan pelecehan terhadap mahasiswa (2021).
  • Kasus di Universitas Pattimura Ambon (UNPATTI): Mahasiswa melaporkan dosen karena pelecehan (2024).

Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan, termasuk perguruan tinggi, merupakan salah satu lokus terjadinya kekerasan berbasis gender. Namun, banyak kasus tidak terungkap karena korban takut melapor akibat tekanan sosial, stigma, atau ketidakpercayaan pada sistem.

Luka Sistemik di Lingkungan Akademik

Fenomena kekerasan seksual di perguruan tinggi bukanlah kasus individual semata, melainkan gejala sistemik. Banyak korban yang memilih diam, takut bicara, atau terpaksa berdamai dengan pelaku karena tekanan sosial, relasi kuasa yang timpang, dan kurangnya mekanisme perlindungan yang jelas. Pelaku sering kali adalah dosen, senior, atau pejabat kampus yang memiliki posisi kuasa tinggi atas korban—baik secara akademik maupun administratif.

Kampus, dalam banyak kasus, cenderung menutup-nutupi kasus untuk menjaga citra institusi. Prosedur penanganan yang rumit, minimnya pendampingan terhadap korban, serta kekhawatiran akan masa depan akademik sering membuat korban memilih untuk bungkam.

Mengapa Kampus Gagal Memberi Rasa Aman?

Ada beberapa sebab mengapa kekerasan seksual terus berulang di lingkungan pendidikan tinggi:

  1. Relasi Kuasa yang Tidak Seimbang
    Dosen memiliki kendali atas nilai, rekomendasi, bahkan masa depan akademik mahasiswa. Ketimpangan ini menciptakan ruang bagi intimidasi dan pelecehan.
  2. Minimnya Edukasi dan Kesadaran Gender
    Banyak institusi belum secara serius memasukkan isu gender dan kekerasan seksual dalam kurikulum atau kegiatan mahasiswa. Kampus belum menjadi ruang edukatif yang peka terhadap persoalan ini.
  3. Tidak Ada Sistem Penanganan yang Jelas dan Berpihak pada Korban
    Laporan sering tidak ditindaklanjuti secara adil. Korban bisa jadi malah disalahkan atau dibungkam, sementara pelaku tetap melenggang.
  4. Budaya Patriarkal yang Masih Kuat
    Dalam banyak kasus, korban perempuan diragukan kesaksiannya atau dipersalahkan karena “berpakaian tidak pantas” atau “terlalu dekat” dengan pelaku. Budaya menyalahkan korban (victim blaming) masih sangat kuat.
  5. Budaya Kampus yang Menutupi (Silence Culture)
    Banyak kampus lebih memilih menyelesaikan kasus secara internal demi menjaga reputasi, alih-alih mengusut tuntas untuk keadilan.
  6. Mekanisme Pelaporan yang Tidak Jelas
    Meski sejumlah kampus sudah memiliki Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Kekerasan Seksual, sosialisasi dan aksesnya masih minim.
  7. Kurangnya Edukasi tentang Consent dan Kesetaraan Gender
    Pendidikan mengenai batasan dalam relasi personal dan profesional masih kurang di kalangan civitas akademika.

Langkah ke Depan: Dari Reaksi ke Aksi Nyata

Pemecatan Prof. Edy Meiyanto harus menjadi titik balik. Perguruan tinggi harus segera berbenah dengan langkah konkret:

  • Membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) yang independen dan berpihak pada korban.
  • Menyusun kode etik dan SOP yang jelas, termasuk sanksi tegas bagi pelaku, tanpa kompromi.
  • Mengadakan pendidikan gender dan seksualitas sehat secara rutin kepada seluruh sivitas akademika.
  • Menyediakan layanan konseling dan hukum bagi korban.
  • Mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan setiap laporan.

Penutup

Kekerasan seksual di kampus bukan lagi sekadar masalah moral individu, tetapi telah menjadi problem struktural yang menuntut tanggung jawab institusional. Saatnya kampus tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu, tapi juga ruang aman untuk seluruh penghuninya. Sebab, ketika kampus gagal melindungi, maka kita semua ikut andil dalam memperpanjang luka yang tak terlihat itu.


#BreakTheSilence #KampusTanpaKekerasan

5 thoughts on “Kampus dan Luka yang Tak Terlihat: Kekerasan Seksual dalam Bayang-bayang Akademik

Comments are closed.

error: Content is protected !!