Kisah Royalti di Warung Kopi Mama Ayu

Share:

Mama Ayu, pemilik warung kopi di kawasan Waihaong, Ambon, sedang serius sekali melihat-lihat bon tagihan. Keningnya berkerut. Di hadapannya, ada Ical, karyawan andalannya, yang ikut bingung. Di dekat pintu masuk, radio tua milik Mama Ayu masih asyik menyanyikan lagu-lagu pop Ambon.

Mama Ayu:Cal, coba lia ini bon bae-bae. Mama seng mangarti. Ini dorang minta bayar apa lai?

Ical:Mana Mama, coba beta lia. Oh, ini bon dari LMK, Lembaga Musik Kreatif.”

Mama Ayu:Lembaga musik apa lai? Kan Mama su bayar listrik tiap bulan. Ini radio seng pake listrik ka? Mama seng pake TV. Ini jua radio tua mo, dorang tagih sampe bagini sakali. Dari mana dorang tau Mama putar dorang pung lagu?

Ical menggaruk kepalanya. Ia sudah pernah dengar soal ini, tapi tidak tahu detailnya.

Ical:Kata dorang, Mama… ini namanya royalti. Jadi kalo putar lagu di muka umum, apalagi di tempat usaha, itu harus bayar ke pencipta lagu.”

Mama Ayu:Pencipta lagu? Lah, Beta tiap hari putar Mitha Talahatu pung lagu, dia pung lagu itu Beta putar sampe pagi. Itu Mitha datang, ka dengar Beta pung radio ini?

Ical:Seng bagitu, Mama. Jadi ada lembaga yang kumpul uang dari semua tempat, baru dorang yang kasih ke Mitha dan pencipta lagu yang lain.”

Tiba-tiba, seorang pelanggan tetap, Om Jon, ikut nimbrung. Ia adalah pensiunan pegawai negeri yang seringkali tahu banyak hal.

Om Jon:Betul itu, Caca. Itu namanya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, atau LMKN. Tugas dorang memang bagitu. Jadi dorang yang wakili semua musisi di Indonesia. Kalo seng bayar, dorang bilang nanti bisa kena sanksi.”

Mama Ayu menggeleng-gelengkan kepala. Matanya menatap Om Jon, lalu beralih ke Ical.

Mama Ayu:Tapi, Om Jon, ini Mama pung warung kopi kacil sa. Untung jua cuma sadiki. Sapa yang mau jamin ini kepeng sampe ka pencipta lagu? Jangan-jangan cuma masuk ke kantong dorang pung orang di kota basar sana. Beta lala dengar tagihan-tagihan bagini. Ini mau jualan kopi deng pisang goreng sa susah stengah mati.

Om Jon:Itu masalahnya, Caca. Memang banyak yang ragu. Ada yang bilang sistemnya kurang transparan. Tapi di dalam hukum, dorang memang punya hak. Katong seng bisa lawan itu.”

Mama Ayu menghela napas panjang. Ia menatap Ical dengan tatapan pasrah.

Mama Ayu:Jadi mau bagemana, Cal? Mama harus bayar?

Ical:Kalau menurut beta… lebih baik Mama bayar. Tapi Mama harus tanya bae-bae, ini kepeng betul-betul dorang kasi par sapa? Minta rinciannya. Bilang dorang, ini dari warung kopi kacil Mama Ayu, uang karingat, jang sampe salah pake. Mungkin kalo bagitu, Mama pung hati bisa lebih tenang.

Mama Ayu terdiam, lalu menatap radio tuanya. Lagu “Cinta Sakota” baru saja dimulai, mengisi warung kopi dengan melodi yang riang. Namun, bagi Mama Ayu, lagu itu kini terdengar seperti tagihan yang tidak pasti.

Penutup: Mengapa Royalti Musik di Warung Penting?

Cerita Mama Ayu merefleksikan dilema yang dihadapi banyak pemilik usaha kecil. Namun, di balik kerumitan dan kebingungan teknologi, esensi dari kewajiban royalti ini tetap penting.

  1. Menghargai Hak Cipta: Musik yang diputar di warung, kafe, atau restoran adalah hasil karya intelektual yang diciptakan dengan waktu, tenaga, dan biaya. Membayar royalti adalah bentuk penghargaan terhadap kerja keras para pencipta lagu, musisi, dan produser. Ini adalah hak ekonomi mereka yang dilindungi oleh undang-undang.
  2. Menciptakan Ekosistem yang Sehat: Jika para musisi tidak mendapatkan imbalan yang layak, mereka akan sulit berkarya. Pembayaran royalti memastikan adanya aliran pendapatan yang berkelanjutan, yang pada akhirnya mendukung keberlangsungan industri musik lokal, termasuk musik-musik Ambon yang diputar Mama Tati.
  3. Keadilan untuk Penggunaan Komersial: Penggunaan musik untuk menarik pelanggan dan menciptakan suasana di tempat usaha dianggap sebagai pemanfaatan komersial. Berbeda dengan memutar musik di rumah untuk hiburan pribadi, penggunaan di tempat publik seharusnya tidak gratis. Tarif yang dikenakan biasanya sudah disesuaikan dengan skala bisnis, sehingga diharapkan tidak terlalu membebani usaha kecil.

Jadi, meskipun sistemnya mungkin terasa rumit, terutama dengan hadirnya teknologi baru, tujuan utamanya adalah untuk menjaga agar industri kreatif tetap hidup dan menghargai setiap karya yang dihasilkan.

error: Content is protected !!