Korban Bukanlah Persentase: Ketika Angka Dianggap Lebih Berharga Daripada Nyawa

Share:

Lima ribu sembilan ratus empat belas anak.

Itu bukan sekadar angka. Itu adalah ribuan nyawa yang menderita, ribuan orang tua yang cemas, ribuan keluarga yang trauma. Setiap digit dalam angka itu mewakili seorang anak Indonesia yang seharusnya mendapat nutrisi, justru mendapat racun. Setiap angka itu adalah kegagalan negara dalam melindungi generasi mudanya.

Namun, yang kita dengar dari pemimpin tertinggi negeri ini justru sebuah kalkulasi dingin: “hanya 0,00017%.” Sebuah upaya sistematis untuk mereduksi penderitaan manusia menjadi sekadar persentase yang tak berarti. Sebuah pembenaran yang mengerikan di balik topeng statistik.

Badan Gizi Nasional (BGN) telah menyampaikan data yang jelas: 5.914 korban keracunan tersebar di berbagai wilayah. Data ini harusnya menjadi alarm darurat, panggilan untuk introspeksi mendalam, peringatan bahwa ada yang salah fundamental dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG).

Alih-alih menanggapi dengan penuh pertanggungjawaban, apa yang kita dapat? Sebuah pelajaran matematika yang tidak relevan. Sebuah upaya untuk menyembunyikan pohon mati di balik hutan yang hijau.

Pernyataan “hanya sekian persen” mengungkapkan paradigma pemerintahan yang mengkhawatirkan:

Pertama, penyamarataan penderitaan. Dalam narasi ini, setiap anak dianggap sama, setiap keracunan dianggap setara, dan yang penting adalah mayoritas tidak terdampak. Ini mengabaikan fakta bahwa dalam pelayanan publik, terutama yang menyangkut nyawa dan kesehatan, prinsipnya adalah “yang terlemah menentukan kekuatan sistem.”

Kedua, normalisasi kegagalan. Dengan membuat insiden serius tampak sebagai variasi statistik yang wajar, kita membuka pintu bagi lebih banyak kelalaian. Jika 5.914 korban dianggap “berhasil,” lalu berapa jumlah korban yang akan dianggap “gagal”? 50.000? 100.000?

Ketiga, komodifikasi nyawa manusia. Ketika kita mulai membandingkan nyawa dengan persentase, kita telah melangkah terlalu jauh dalam dehumanisasi. Setiap anak yang keracunan adalah dunia yang runtuh bagi keluarganya, terlepas dari berapa banyak anak lain yang selamat.

Sejarah dunia telah mengajarkan kita betapa berbahayanya ketika pemerintah mulai menggunakan statistik untuk membenarkan penderitaan rakyatnya. Dari “collateral damage” dalam perang hingga “efek samping yang tak terhindarkan” dalam kebijakan ekonomi, pola pikir yang sama selalu berujung pada tragedi kemanusiaan yang lebih besar.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa program MBG seharusnya menjadi program unggulan, simbol perhatian negara pada generasi penerus. Jika dalam program simbolis saja kita menemukan kelalaian seperti ini, lalu bagaimana dengan program-program lain yang kurang mendapat sorotan?

Sebuah pemerintahan yang matang dan bertanggung jawab seharusnya merespons dengan cara yang berbeda sama sekali:

  1. Pengakuan dan permintaan maaf tanpa syarat. Tidak ada “tetapi,” tidak ada “namun,” tidak ada pembandingan dengan skala program.
  2. Transparansi investigasi. Mengumumkan secara terbuka penyebab keracunan, titik-titik kegagalan dalam rantai pasok, dan pihak-pihak yang bertanggung jawab.
  3. Komitmen perbaikan sistemik. Bukan sekadar perbaikan teknis, tetapi perubahan fundamental dalam mekanisme pengawasan, standar kualitas, dan akuntabilitas.
  4. Perhatian pada setiap korban. Memastikan setiap anak yang keracunan mendapat perawatan terbaik dan pemulihan yang komprehensif.

Kepada Presiden Prabowo Subianto dan seluruh jajaran pemerintah: rakyat Indonesia bukanlah angka dalam spreadsheet. Mereka bukan variabel dalam persamaan efisiensi. Mereka adalah manusia yang nyawanya, kesehatannya, dan masa depannya menjadi alasan utama negara ini berdiri.

Program MBG adalah program yang mulia. Tapi yang membuatnya mulia bukanlah skalanya yang besar, melainkan komitmennya pada setiap anak Indonesia. Ketika komitmen itu dilanggar, kemuliaannya pupus.

Lima ribu sembilan ratus empat belas.

Ingatlah angka ini bukan sebagai persentase, melainkan sebagai pengingat: setiap nyawa berharga, setiap kegagalan berarti, dan setiap tangisan anak yang menderita adalah cermin kegagalan kita sebagai bangsa.

Kita harus menuntut lebih dari sekadar penjelasan statistik. Kita harus menuntut pertanggungjawaban moral, komitmen nyata, dan yang terpenting—pengakuan bahwa tidak ada persentase yang bisa membenarkan penderitaan satu anak pun, apalagi ribuan.

Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan sebuah bangsa bukan terletak pada berapa banyak warganya yang tidak menderita, melainkan pada bagaimana bangsa itu memperlakukan warganya yang sedang menderita.

error: Content is protected !!