Maluku Darurat HIV-AIDS: Saatnya Pemerintah Berhenti Lengah dan Mulai Bertindak Serius

Share:

Ledakan 556 kasus baru HIV/AIDS hanya dalam waktu sebelas bulan—dengan separuhnya lebih di Ambon—bukan sekadar angka statistik. Ini alarm keras yang seharusnya membuat seluruh struktur pemerintahan di Maluku terguncang. Namun yang terjadi justru rutinitas lama: konferensi pers, peringatan simbolis Hari HIV Sedunia, dan janji-janji yang sudah bertahun-tahun tidak berubah bentuk menjadi kebijakan nyata.

Maluku sedang berjalan menuju jurang krisis kesehatan masyarakat, dan langkah pemerintah sejauh ini belum menunjukkan keseriusan menghadapi masalah yang kian mengancam generasi muda.

Ketika angka kasus baru mencapai rata-rata 45 kasus setiap bulan, ini berarti setiap hari ada warga Maluku yang didiagnosis positif. Itu anak muda. Itu pekerja. Itu kepala keluarga. Itu mahasiswa. Mereka bukan statistik yang bisa disapu di bawah meja.

Lebih parah lagi: 77% kasus berasal dari kelompok usia produktif 15–39 tahun. Jika tidak ada intervensi nyata, Maluku berpotensi kehilangan produktivitas generasi yang seharusnya menopang pembangunan daerah di tahun-tahun mendatang. Ini ancaman yang lebih serius dari sekadar “lonjakan kasus”.

Masalah terbesar HIV di Maluku bukan hanya penularannya, tetapi budaya stigma yang membungkam. Orang-orang takut dites. Takut berobat. Takut terbuka. Takut diusir, dicibir, atau dikucilkan.

Selama pemerintah tidak memimpin upaya anti-stigma dengan serius, tidak membangun edukasi publik berskala besar, dan tidak mendorong pelayanan kesehatan yang humanis, maka program penanggulangan HIV tidak akan lebih dari formalitas tahunan tanpa dampak nyata.

Stigma adalah musuh paling berbahaya dalam krisis ini—dan sampai hari ini, pemerintah belum memperlakukannya seperti ancaman.

Selama ini strategi penanganan HIV di Maluku mayoritas bersifat reaktif, bukan preventif. Menunggu laporan, menunggu tren naik, menunggu masalah membesar—baru bertindak.

Ini pendekatan usang.

Yang dibutuhkan sekarang:

  1. Konseling dan tes HIV gratis, terbuka, aktif. Bukan hanya menunggu pasien datang. Pemerintah harus mendatangi masyarakat, termasuk sekolah, kampus, tempat kerja, dan komunitas terpencil.
  2. Edukasi publik besar-besaran tentang pencegahan dan pengobatan. HIV bukan penyakit moral. HIV adalah isu kesehatan. Selama masyarakat tidak memahami hal ini, program akan terus tersendat.
  3. Perluasan akses pengobatan tanpa diskriminasi. Tidak boleh ada fasilitas kesehatan yang memperlambat atau mempersulit ODHA.
  4. Pembentukan gugus tugas kabupaten/kota yang benar-benar bekerja. Bukan sekadar papan nama dan rapat-rapat seremonial.
  5. Menggunakan kekuatan digital—bukan hanya untuk telemedisin, tapi untuk kampanye daring, chatbot konseling anonim, dan konten edukasi di media sosial yang menjangkau anak muda di ruang yang mereka huni setiap hari.
  6. Menghentikan stigmatisasi dengan regulasi yang tegas, termasuk melindungi ODHIV dari diskriminasi di tempat kerja, pendidikan, dan layanan publik.
  7. Menjadikan HIV-AIDS sebagai isu anggaran prioritas. Tidak cukup dengan sosialisasi seadanya. Butuh dana nyata untuk program nyata.

Dan yang terpenting: berani berbicara jujur. Jangan lagi menyamarkan epidemi ini sebagai “masalah moral” atau “akibat perilaku menyimpang”. HIV tidak peduli dengan orientasi seksual, agama, atau status sosial. Ia hanya peduli pada kebodohan, ketakutan, dan keheningan.

Pernyataan pejabat bahwa laporan kasus baru diterima setiap bulan seharusnya menjadi dorongan untuk tindakan cepat—bukan hanya sekadar “peringatan rutin”. Kita tidak butuh pejabat yang sekadar membaca angka. Kita butuh pemimpin yang:

  • turun langsung ke komunitas,
  • memimpin kampanye anti-stigma,
  • memperkuat layanan kesehatan tingkat pertama,
  • memastikan pendampingan bagi ODHA berjalan,
  • dan yang paling penting: membuat rakyat merasa aman untuk mencari bantuan.

Tanpa perubahan kepemimpinan dalam cara berpikir dan bertindak, Maluku akan terus berada dalam lingkaran stagnasi kebijakan.

Ini bukan hiperbola. Lonjakan kasus di usia produktif adalah sinyal bahwa arah epidemi HIV di Maluku sedang bergerak ke titik yang mengerikan. Bila tidak dihentikan sekarang, maka:

  • produktivitas daerah akan turun tajam,
  • beban kesehatan meningkat drastis,
  • dan keluarga-keluarga Maluku terancam kehilangan anak-anak muda terbaiknya.

Ini bukan masa depan yang bisa kita biarkan terjadi.

Maluku tidak membutuhkan belas kasihan—Maluku membutuhkan kebijakan berani, kepemimpinan tegas, dan kehadiran pemerintah yang tidak hanya muncul saat konferensi pers.

556 kasus baru adalah cermin kegagalan sistemik.
Jika pemerintah tidak mengubah arah hari ini, maka esok kita akan membaca angka yang lebih besar—dan setiap angka itu akan mewakili satu kehidupan yang hilang karena kelalaian kita bersama.

error: Content is protected !!