Di tengah derasnya retakan iklim global—dari kebakaran hutan yang tak kunjung padam hingga laut yang naik menelan pulau-pulau kecil—ada sekelompok manusia yang kerap dilupakan dalam narasi resmi: masyarakat adat dan komunitas lokal. Mereka bukan sekadar korban perubahan iklim. Mereka adalah penjaga terakhir benteng alam, ahli ekologi tradisional yang selama berabad-abad menjaga keseimbangan antara manusia dan bumi. Dan pada akhir 2025, di Brazil—tuan rumah COP30, Konferensi Para Pihak ke-30 di bawah UNFCCC—dunia memiliki kesempatan emas untuk mengoreksi sejarah: mengakui, melindungi, dan memberdayakan mereka yang paling layak disebut “penjaga iklim”.
Penjaga Bumi yang Tak Diundang ke Meja Perundingan
Fakta mencengangkan: masyarakat adat dan komunitas lokal mengelola sekitar 80% keanekaragaman hayati dunia, meski hanya mendiami sekitar 22% wilayah daratan global. Di hutan Amazon, padang sabana Afrika, hingga kepulauan Maluku di Indonesia, mereka menghidupkan sistem pengelolaan alam yang selaras dengan irama ekosistem. Di Maluku, tradisi sasi—larangan adat untuk memanen sumber daya laut atau hutan dalam periode tertentu—telah lama menjadi bentuk konservasi berbasis masyarakat yang efektif jauh sebelum istilah “blue economy” atau “sustainable development” populer di forum-forum internasional.
Namun ironisnya, suara mereka nyaris tak terdengar dalam ruang-ruang keputusan iklim. Padahal, merekalah yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim—dari kekeringan yang menghancurkan tanaman pangan tradisional hingga naiknya permukaan laut yang mengancam keberadaan pulau-pulau adat. COP30 harus menjadi titik balik: bukan lagi sekadar “melibatkan” masyarakat adat sebagai simbol keberagaman, tapi memberi mereka kursi penuh di meja perundingan, dengan hak suara yang nyata dan akses langsung terhadap sumber daya global.
Pendanaan Iklim: dari Janji Kosong ke Akses Nyata
Salah satu penghalang terbesar bagi masyarakat adat adalah keterbatasan akses terhadap dana iklim. Meski dana seperti Green Climate Fund (GCF) atau Adaptation Fund telah ada selama bertahun-tahun, kurang dari 1% dari total pendanaan iklim global benar-benar sampai ke tangan masyarakat adat secara langsung. Sistem birokrasi yang rumit, persyaratan teknis yang tidak realistis, dan ketiadaan perwakilan lokal dalam pengambilan keputusan membuat dana-dana ini mengalir ke konsultan asing atau proyek-proyek besar yang justru mengabaikan konteks lokal.
COP30 harus menjadi momentum untuk mendemokratisasi pendanaan iklim. Ini berarti:
- Membuat mekanisme akses langsung (direct access) yang disederhanakan,
- Mendanai lembaga lokal dan organisasi masyarakat adat sebagai pelaksana utama,
- Menjamin transparansi dan akuntabilitas yang diawasi bersama oleh komunitas penerima.
Tanpa itu, pendanaan iklim akan terus menjadi alat elite global, bukan alat pembebasan bagi yang paling rentan.
Hak Atas Tanah: Fondasi Keadilan Iklim
Tak ada keadilan iklim tanpa keadilan atas tanah. Di berbagai belahan dunia, proyek “hijau”—mulai dari ladang panel surya raksasa hingga skema karbon hutan (REDD+)—sering kali justru menggusur masyarakat adat dari wilayah adat mereka dengan dalih mitigasi iklim. Ini adalah paradoks tragis: upaya menyelamatkan bumi justru mengusir para penjaganya.
COP30 harus memperkuat komitmen global terhadap prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC)—hak masyarakat adat untuk memberikan atau menolak persetujuan atas proyek yang memengaruhi wilayah dan kehidupan mereka. Lebih dari itu, COP30 harus menekan negara-negara untuk mengakui dan mendokumentasikan hak kepemilikan tanah adat secara hukum, karena tanpa pengakuan formal, wilayah adat akan terus menjadi sasaran eksploitasi.
Pengetahuan Lokal: Ilmu yang Diabaikan, Solusi yang Diabaikan
Ilmu pengetahuan modern sering kali memandang pengetahuan lokal sebagai “folklor”, bukan sebagai sistem pengetahuan yang valid. Padahal, pengetahuan ekologis lokal (Local Ecological Knowledge/LEK) mengandung observasi empiris yang telah diuji selama generasi. Di Maluku, nelayan adat bisa membaca perubahan arus laut dan pola migrasi ikan hanya dari warna air dan arah angin—informasi yang kini semakin relevan di tengah ketidakpastian iklim.
COP30 harus mendorong penggabungan pengetahuan lokal dan sains modern dalam perancangan kebijakan iklim. Ini bukan soal nostalgia budaya, tapi soal efektivitas. Solusi berbasis alam (nature-based solutions) hanya akan berkelanjutan jika dirancang bersama masyarakat yang hidup di dalam alam itu setiap hari.
COP30 sebagai Titik Balik untuk Keadilan Iklim
Brazil, tuan rumah COP30, adalah rumah bagi ribuan komunitas adat Amazon—garis depan pertarungan melawan deforestasi dan perubahan iklim. Lokasi ini bukan kebetulan. Ini adalah panggilan moral: agar COP30 tidak sekadar menjadi pertemuan diplomatik dengan janji-janji kosong, tapi menjadi konferensi iklim pertama yang benar-benar berpihak pada yang paling rentan namun paling berkontribusi.
Bagi Indonesia—negara kepulauan dengan ribuan komunitas pesisir dan adat seperti di Maluku—COP30 adalah kesempatan untuk memperjuangkan model pembangunan iklim yang berakar pada kearifan lokal. Ekonomi biru tidak akan berkelanjutan tanpa pengakuan terhadap sistem pengelolaan sumber daya berbasis adat. Ketahanan pangan iklim tidak akan tercapai tanpa melindungi benih lokal dan praktik pertanian tradisional.
Penutup: Iklim Kita, Masa Depan Kita
Krisis iklim bukan hanya soal karbon atau suhu. Ini adalah krisis keadilan, identitas, dan kelangsungan hidup budaya. Masyarakat adat dan komunitas lokal bukan “stakeholder” yang bisa diundang atau diabaikan sesuai kebutuhan. Mereka adalah pemilik sah masa depan bumi ini.
COP30 harus menjadi titik balik di mana dunia mengakui: tidak ada solusi iklim tanpa keadilan bagi masyarakat adat. Karena ketika hutan lestari, laut sehat, dan tanah subur, bukan hanya karbon yang berkurang—tapi martabat manusia yang dipulihkan.
Dan di sanalah, sebenarnya, iklim yang stabil dimulai.