Pembangunan Stasiun Bumi atau Gateway SATRIA-1 di Ambon seharusnya dipahami bukan sebagai proyek teknis belaka, melainkan sebagai pernyataan politik negara tentang siapa yang dianggap penting dalam peta digital Indonesia. Selama puluhan tahun, Maluku dan kawasan timur lainnya diposisikan sebagai “wilayah sulit” yang harus menerima sisa-sisa konektivitas: mahal, lambat, dan tidak stabil. Kehadiran gateway SATRIA-1 di Ambon adalah koreksi atas ketidakadilan struktural itu. Pertanyaannya sekarang bukan lagi apakah teknologinya ada, tetapi apakah negara dan pelaku industri benar-benar mau menjadikannya alat pemerataan, atau sekadar monumen proyek strategis nasional.
Maluku dan kutukan geografi
Maluku adalah contoh klasik bagaimana geografi dijadikan alasan pembenar ketertinggalan. Pulau-pulau kecil, laut yang luas, kepadatan penduduk rendah. Narasi ini berulang setiap kali akses internet dibahas. Akibatnya, investasi fiber optik tertahan, BTS dibangun setengah hati, dan masyarakat dipaksa membayar mahal untuk layanan yang kualitasnya tak sebanding. Dalam konteks ini, satelit bukan solusi kelas dua, melainkan satu-satunya solusi rasional.
Gateway SATRIA-1 di Ambon memotong logika lama itu. Ia menempatkan Maluku bukan di ujung rantai, tetapi di simpul jaringan nasional. Trafik data tidak lagi harus “menumpang” Jawa atau Sulawesi lebih dulu. Ambon menjadi pintu, bukan halaman belakang.
Manfaat nyata: bukan untuk YouTube semata
Manfaat utama SATRIA-1 bagi Maluku bukan sekadar akses hiburan digital. Dampaknya jauh lebih struktural.
Pertama, layanan publik. Sekolah di pulau-pulau kecil, puskesmas di wilayah pesisir, kantor desa di kecamatan terluar kini memiliki peluang realistis untuk terkoneksi. Ini bukan soal Wi-Fi gratis, tetapi soal akses terhadap data pendidikan, rujukan medis, administrasi kependudukan, dan sistem keuangan negara.
Kedua, ketahanan komunikasi. Maluku berada di wilayah rawan bencana. Kabel laut putus bukan skenario hipotetis, tetapi peristiwa rutin. Satelit dengan gateway lokal memberi jalur cadangan yang krusial. Dalam kondisi darurat, ini bisa berarti perbedaan antara koordinasi yang cepat dan kekacauan total.
Ketiga, ekonomi lokal. UMKM, koperasi nelayan, dan pelaku pariwisata skala kecil hanya bisa naik kelas jika konektivitas stabil tersedia. Tanpa itu, Maluku akan terus menjadi pemasok bahan mentah dan objek wisata murah, bukan pemain ekonomi digital.
Relasi dengan Telkomsel dan ISP: kolaborasi atau penghindaran?
Di sinilah persoalan mulai tajam. SATRIA-1 tidak dirancang untuk menggantikan operator seperti Telkomsel, Indosat, atau ISP lokal. Ia adalah backbone, bukan last mile. Namun, dalam praktiknya, ada potensi konflik kepentingan yang nyata.
Bagi operator komersial, satelit sering dipandang mahal dan berisiko. Ada kecenderungan menunggu sampai negara menanggung beban awal, lalu masuk hanya di wilayah yang sudah menguntungkan. Jika ini terjadi, SATRIA-1 hanya akan menjadi jaringan khusus layanan publik, sementara masyarakat umum tetap berada di luar pagar.
Padahal, secara teknis dan bisnis, gateway Ambon memberi peluang besar bagi operator:
- sebagai backhaul BTS di pulau kecil,
- sebagai jaringan cadangan untuk meningkatkan SLA,
- sebagai platform layanan VSAT terkelola bagi korporasi dan pemerintah daerah.
Masalahnya bukan ketiadaan skema, tetapi kemauan. Jika Telkomsel cs memilih hanya mengejar ROI jangka pendek, maka negara harus berani menggunakan instrumen regulasi dan insentif untuk memaksa kolaborasi. Infrastruktur publik tanpa keberanian kebijakan akan selalu kalah oleh logika pasar.
Starlink: solusi atau ilusi?
Masuknya Starlink ke Indonesia sering dirayakan berlebihan, seolah-olah semua persoalan konektivitas akan selesai dengan satu antena parabola. Ini pandangan yang naif.
Ya, Starlink unggul dalam latensi dan kemudahan pemasangan. Untuk individu, kapal, atau lokasi sangat terpencil, ia solusi yang sah. Namun, Starlink adalah layanan retail, berbasis pelanggan individual, dengan kendali penuh di tangan korporasi asing. Ia tidak dirancang untuk melayani agenda pembangunan nasional, apalagi layanan publik berskala besar.
SATRIA-1 dan Starlink bukan pesaing langsung, tetapi mereka merepresentasikan dua filosofi yang bertolak belakang:
- SATRIA-1: terpusat, berdaulat, dirancang untuk pemerataan.
- Starlink: terdistribusi, komersial, berbasis kemampuan bayar.
Jika Maluku sepenuhnya diserahkan pada solusi seperti Starlink, maka konektivitas akan kembali menjadi hak istimewa, bukan layanan dasar. Mereka yang mampu akan terhubung cepat; yang tidak, kembali tertinggal.
Risiko terbesar: infrastruktur tanpa keberpihakan
Ancaman terbesar bagi SATRIA-1 bukan kegagalan teknis, melainkan kegagalan politik dan birokrasi. Infrastruktur bisa berdiri megah di Ambon, tetapi:
- kapasitasnya tidak dimanfaatkan optimal,
- integrasi dengan operator tersendat,
- pemerintah daerah tidak dilibatkan secara aktif,
- masyarakat tidak pernah benar-benar merasakan dampaknya.
Jika itu terjadi, SATRIA-1 akan bernasib seperti banyak proyek nasional lain: hebat di atas kertas, sunyi di lapangan.
Penutup: Ambon sebagai simpul, bukan simbol
Gateway SATRIA-1 di Ambon adalah kesempatan langka untuk membalik narasi lama tentang Maluku. Dari wilayah yang selalu menunggu giliran, menjadi simpul strategis konektivitas Indonesia Timur. Tapi kesempatan ini hanya bermakna jika negara tegas, operator berani berkolaborasi, dan kebijakan publik berpihak pada pemerataan, bukan sekadar efisiensi bisnis.
Pertanyaannya sederhana namun menentukan:
apakah kita ingin Maluku menjadi pasar kecil yang dilayani seadanya, atau fondasi kuat Indonesia sebagai negara kepulauan digital?
SATRIA-1 sudah ada. Sekarang yang diuji adalah keberanian kita memanfaatkannya.