Syair di Tengah Lembing: Catatan Livinus Bor tentang Perang Ambon (1621-1669)

Share:

Livinus Bor, yang lahir sekitar tahun 1621, masuk sebagai adelborst (kadet) dalam dinas VOC pada usia 18 tahun. Penempatan pertamanya adalah di Ternate (1639). Setelah beberapa tahun, nasib kurang baik menimpanya. Pada tahun 1645, ia dikirim kembali ke Batavia oleh gubernur Ternate saat itu, Wouter Serroyen, yang menganggap Bor lamban dan penuh keburukan. Namun, kenyataannya berbeda: Serroyen merasa bahwa perdagangannya telah terbongkar oleh Bor dan ia tak suka dicampuri. Mengirim Bor kembali ke Batavia berarti memberinya hukuman.

Butuh beberapa tahun bagi Bor untuk menghapus citra buruknya. Baru pada 1650 ia diizinkan berangkat ke Amboina, sebagai asisten gubernur pulau itu, Arnold de Vlaming van Oudshoorn (±1608–1662). De Vlaming telah diangkat menjadi Gubernur Kepulauan Maluku pada 4 September 1647. Dalam jenjang kariernya di VOC, Bor naik pangkat menjadi onderkoopman (wakil kepala dagang). Setelah enam tahun, barulah ia diangkat sebagai sekretaris gubernur.

Dalam peran tersebut, Bor terlibat langsung dalam perang-perang (1651–1656) yang dipimpin oleh De Vlaming atas nama VOC melawan para penguasa lokal Amboina. Bor mencatat semua peristiwa itu secara detail, dengan harapan suatu saat ia bisa menyusun “sebuah laporan ringkas dan jujur mengenai perang tersebut”.

Pada tahun 1656, ia bersama De Vlaming kembali ke Batavia, dan pada awalnya ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai sekretaris untuk menyusun catatan-catatan dari Amboina. Namun setelah mulai terbiasa dengan kehidupan Batavia, ia kembali membaca catatannya untuk “menyegarkan ingatan”, lalu membaginya menjadi enam bagian. Ia menyelesaikannya ditanggal 30 Agustus 1657.

Pada tahun 1658, ia membuat salinan mewah yang diberi judul “Jaer-boecken van d’Amboinse oorlogen” (Buku Tahunan Perang Amboina), yang dilengkapi dengan gambar dan peta buatan juru gambar dan pengukur tanah Batavia, Johan Nessel. Pada tahun 1663, manuskrip ini dicetak dengan judul: “Amboinse oorlogen, door Arnold de Vlaming van Oudshoorn als superintendent, over d’Oosterse gewesten oorloghaftig ten eind gebracht” (Perang-perang Amboina, oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn sebagai pengawas, yang diselesaikan secara militer di kawasan Timur). Buku ini dijual oleh pedagang buku asal Delft, Arnold Bon. Bor mendedikasikan bukunya kepada Cornelis de Vlaming van Oudshoorn, walikota Amsterdam dan paman dari gubernurnya.

Setelah penugasannya di Batavia, Bor pada tahun 1661 mengikuti Jacob Caeuw ke Tayoan (Formosa/Taiwan) dalam kapasitas letnan dan fiskaal (jaksa), untuk mempertahankan Benteng Zeelandia bagi VOC. Setelah kembali ke Batavia, ia ditugaskan menjadi letnan dan sekretaris gudang persediaan.

Bor menikah dengan Cecilia Suarez dari Benggala. Kemungkinan hubungan mereka tidak harmonis, atau Bor ingin berpisah sementara darinya. Ia kemudian memenjarakan Cecilia di rumah pemintalan Batavia dengan alasan ia memperlakukan budak mereka secara buruk. Rumah pemintalan itu adalah tempat tahanan bagi perempuan pelanggar hukum. Awalnya dikelola dengan keras, namun perempuan dari kalangan elit bisa hidup nyaman disana. Cecilia tampaknya menikmati tinggal disana, dan menolak kembali bersama Bor ke Amboina pada 1663–1664.

Pada 1665, Bor meminta berhenti dari dinas VOC dan diberi izin untuk tinggal sebagai warga sipil tanpa jabatan di Amboina, dimana ia kemudian wafat pada 5 Januari 1669.


Amboinse Oorlogen (Perang-perang Amboina, 1663)

Amboinse oorlogen sejatinya adalah prosa sejarah. Buku ini dimulai dengan puisi pendahuluan, berupa pujian terhadap Gubernur De Vlaming van Oudshoorn. Bor menilai bahwa sang gubernur telah menyelesaikan tugasnya dengan “bersemangat, tekun, dan berhasil.” Ia memuji gubernur dalam karyanya yang berjudul: “Segen-Sang over Arnold de Vlaming van Oudshoorns Heerlik bevochte Victoriën in d’oostersche gewesten” (Nyanyian Berkat atas Kemenangan Gagah Berani Arnold de Vlaming di Timur). Bor menandatangani puisi tersebut dengan moto: “Al verliesende win ik” (Dengan kehilangan, aku menang).

Dalam puisinya, ia menggambarkan De Vlaming mencuci tangannya dari kesalahan atas serangan pada 29 Juli 1655 di Assahoudy, sebuah benteng penting Ternate dan Makassar di pantai barat Pulau Hoamoal:

De Vlaming segera menyerang,
Sebelum ayam berkokok ketiga kali,
Sebelum pukul sembilan
Kita melihat benteng, perahu, dan pagar hancur
Dan dibakar habis.
Bukankah itu perlawanan yang gagah?
Begitulah para pembunuh dihukum
Dan pengkhianat dilenyapkan
Tuhan yang baik menghukum kejahatan
Ia menghancurkan pengkhianatan
[…]
Sang panglima bersinar karena perbuatannya
Terbang di atas sayap berita yang bergema
Seorang yang saleh bisa hidup kembali setelah mati.

Namun, De Vlaming tidak sebersih seperti yang digambarkan Bor. Gubernur ini dikenang atas tindakan brutalnya di Maluku, terutama dalam menegakkan monopoli rempah-rempah VOC, dan penindasan berdarah terhadap pemberontakan Ternate dan Makassar di Assahoudy. Pada 23 Desember 1661, De Vlaming kembali ke Belanda sebagai laksamana armada pulang. Namun, pada 10 Februari 1662, kapalnya Wapen van Holland tenggelam di Samudra Hindia akibat badai.

Sejarawan De Haan menyebut Bor sebagai “tukang sajak Hindia”, dan menilai gaya tulisannya meskipun berbobot dan klasik ala Romawi, mengandung banyak kontradiksi. Dalam Oud Batavia, ia menyebut Bor sebagai “orang bermasalah, kadang militer, kadang birokrat, kadang naik tangga jabatan, kadang jatuh tersungkur ke dasar.”

Penulis Du Perron mengutip De Haan dan menambahkan kritik tajam terhadap puisi Bor. Ia menyebut “Segen-Sang” Bor sebagai daftar berima tentang aksi militer De Vlaming, lengkap dengan tanggal dan lokasi. Menurutnya, meski Bor menulis dengan gaya “bersemangat tempur,” isinya tetap puisi kekanak-kanakan, walau tetap merupakan contoh otentik dari puisi Kompeni (Compagniespoëzie). Ia bahkan memasukkan seluruh “Segen-Sang” dalam bukunya De Muze van Jan Companjie.

Puisi Bor diikuti oleh puisi kedua dari A. de Raeff berjudul: “Amboinsche Zegen, Bevochten door Arnold de Vlaming van Oudshoorn” (Berkat Amboina, Diperjuangkan oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn).

Menurut Du Perron, puisi Raeff lebih sensasional dan berirama agung. Ia menunjukkan pembukaan puisi itu:

Siapa yang melihat kilauan pedang di fajar
Menebas kepala musuh, menumpahkan darah dan otak
Dan melihat panji berdarah mengalir?

Meskipun pembukaannya garang, Du Perron menilai Raeff lebih berlebihan daripada Bor. Ia menulis:

Ia keluar dari Belanda yang suram,
De Vlaming van Oudshoorn
Melewati lautan asin
Menuju Betawi Timur nan eksotis

Hingga kini, tidak ada yang diketahui tentang A. de Raeff selain puisinya yang mengagungkan aksi berdarah De Vlaming. Ia menutup puisinya dengan:

Wahai para penyair pahlawan,
Longgarkan topi damai kalian!
Nyanyikan bersama aku badai perang,
Tentang pemberontakan, pembunuhan, dan dendam!

Du Perron menilai puisi-puisi kemenangan dari Bor dan De Raeff sebagai “puisi murahan” (prulverzen).

Kesimpulan

Kisah Livinus Bor menggambarkan kompleksitas peran seorang pejabat VOC yang juga berusaha menjadi sejarawan dan penyair. Disatu sisi, ia mencatat dan memuliakan keberhasilan militer VOC di Ambon melalui karya Amboinse oorlogen dan puisi Segen-Sang, namun disisi lain, ia menjadi bagian dari mesin kolonial yang menaklukkan dan menindas penduduk lokal demi monopoli dagang.

Bor memperlihatkan bagaimana sastra dan puisi bisa dijadikan alat propaganda kolonial, yang membungkus kekerasan dan penaklukan dalam balutan pujian dan estetika. Karyanya bukan sekadar catatan sejarah, melainkan juga refleksi dari bagaimana kekuasaan mencari legitimasi melalui pena dan syair. Meski dihiasi lirik-lirik kemenangan, jejak yang ditinggalkan adalah ironi: puisi sebagai alat pembenaran penjajahan.

Pada akhirnya, Bor adalah simbol zaman yang mewakili paradoks: seorang penyair dalam baju perang, mencatat sejarah dengan tinta dan darah.


Amboinse Oorlogen – Livinus Bor

Catatan abad ketujuh belas yang ditulis oleh Livinus Bor, sekretaris pribadi dari superintendent Perusahaan Hindia Timur Belanda Arnold de Vlaming van Oudshoorn tentang Perang Ambon di Maluku. Konflik ini memungkinkan Perusahaan Hindia Timur Belanda untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Hindia Timur dengan menghancurkan perkebunan rempah-rempah lokal di seluruh pulau sambil menekan populasi pribumi. Termasuk dalamnya adalah ukiran kayu yang menggambarkan interaksi antara pedagang Belanda dan penduduk Maluku, adegan pertempuran, dan eksekusi.

One thought on “Syair di Tengah Lembing: Catatan Livinus Bor tentang Perang Ambon (1621-1669)

Comments are closed.

error: Content is protected !!