Di dunia yang bergerak cepat, dimana informasi berseliweran dan godaan konsumsi datang dari setiap sudut layar, kemampuan mengelola uang bukanlah sekadar keterampilan tambahan—ia adalah bentuk kecerdasan hidup. Literasi keuangan adalah lentera yang menuntun kita agar tak tersesat dalam labirin keputusan ekonomi yang kerap tampak rumit.
Literasi keuangan adalah kemampuan seseorang untuk memahami dan mengelola keuangan secara efektif, termasuk membuat keputusan keuangan yang bijak, seperti menabung, berinvestasi, mengelola utang, dan merencanakan masa depan finansial. Berbeda dengan literasi digital, yang berfokus pada kemampuan menggunakan teknologi dan informasi digital, literasi keuangan berpusat pada pengetahuan dan keterampilan terkait uang.
Dominggus Tukang Mancari Ikan
Di sebuah kampung kecil di tepi pantai Pulau Ambon, tepatnya di Dusun Seri, hidup seorang pemuda bernama Dominggus. Ia dikenal sebagai nelayan ulung yang selalu pulang dengan jala penuh ikan. Namun, meski hasil lautnya melimpah, Dominggus sering kali kehabisan uang sebelum bulan berakhir. “Beta seng tau kanapa e, tiap kali dapa kepeng, seng rasa lai akang su abis,” keluhnya suatu sore di bawah pohon kelapa, sambil ngobrol dengan sahabatnya, Yosua.
Yos, yang baru pulang dari kota Ambon setelah ikut pelatihan literasi keuangan dari koperasi desa, menjawab, “Onggo, mungkin ale seng pernah pikir untuk atur keuangan. Ale cuma tangkap ikan, jual, trus abis bagitu saja. Coba dengar ini dolo!” Yos mulai cerita tentang pentingnya menabung dan berinvestasi.
Dominggus tertawa kecil, “Hahae, Yos, ale pikir beta ini orang kota ka? Manabung-manabung tuh urusan orang kaya! Sio, beta cuma nelayan kacil sa.”
“Eh, jang bilang begitu, Onggo!” sergah Yos dengan logat Ambon yang kental. “Literasi keuangan ini bukan cuma untuk orang kaya. Ale pikir, kalau ale tabung sedikit tiap hari, lama-lama itu bisa jadi modal. Bisa beli jaring baru, atau bahkan perahu lebih besar. Ale seng mau hidup susah selamanya, kan?“
Dominggus termenung. Ia ingat betapa sulitnya membayar biaya sekolah adiknya bulan lalu. “Tapi, Yos, beta musti mulai dari mana? Beta seng mangarti akang tabung-tabung.”
Yos tersenyum, “Gampang sa, Onggo. Mulai dari kecil. Tiap ale jual ikan, sisihkan sedikit, taruh di koperasi desa. Itu aman, malah ada bunga. Tarus, jang boros beli barang yang seng penting. Ale suka beli rokok sama minuman di warung, kan? Kurangi itu sedikit, simpan buat masa depan.”
Malam itu, Dominggus pulang ke rumahnya yang sederhana, di dekat pantai yang ombaknya berbisik lembut. Ia mengambil sebuah kaleng bekas biskuit, lalu berkata pada istrinya, “Atha o, mulai besok, beta mo coba menabung. Tiap dapat kepeng dari mangail, beta angka lima ribu. Ale tolong kas inga beta salalu e.“
Martha, yang sedang menjahit baju anaknya, tersenyum, “Bagus, Papa! Kalo katong disiplin, mungkin tahun depan bisa beli mesin parau baru. Biar ale seng capek lai dayung parau.”
Setahun berlalu. Dominggus, yang awalnya skeptis, kini bangga melihat kaleng biskuitnya penuh dengan tabungan. Ia juga mulai menabung di koperasi desa, bahkan ikut kelompok arisan nelayan untuk tambahan modal. Suatu hari, ia berhasil membeli mesin perahu baru, membuat pekerjaannya lebih efisien. Ia juga bisa menyekolahkan adiknya hingga lulus SMA.
Di pasar Mardika, Dominggus kini sering berbagi cerita pada teman-teman nelayannya. “Dulu beta pikir manabung tu susah, tapi ternyata cuma perlu disiplin sa. Ale semua harus coba! Hidup bisa lebih tenang kalau katong pung keuangan teratur.”
Cerita Dominggus menyebar di desa, menginspirasi banyak orang. Dari kaleng biskuit sederhana, ia membuktikan bahwa literasi keuangan bisa mengubah hidup, bahkan di kampung kecil di tepi pantai Maluku.
Caca Halimah deng Kalung Mutiara

Matahari pagi di Teluk Aru memancarkan kilau keemasan, memantul di permukaan laut yang tenang. Aroma ikan bakar dan kopi hangat mulai menyeruak dari warung-warung kecil di pesisir. Di sebuah rumah panggung sederhana, tidak jauh dari pantai, duduklah Caca Halimah. Jemarinya lincah merangkai mutiara menjadi kalung dan gelang cantik, hasil budidaya mutiara suaminya, Abang Mo.
Sudah beberapa bulan ini, ada kegelisahan di hati Mama Halimah. Usaha mutiara mereka memang lancar, pembeli selalu ada. Tapi uangnya? Entah mengapa, seperti air yang mengalir di pasir, cepat sekali habisnya. Setiap kali ada rezeki lebih, selalu saja ada keperluan mendadak. Baju baru, perabot rumah, atau sekadar ikut arisan sana-sini. Tabungan? Ah, itu cuma ada di angan-angan.
Suatu siang, datanglah Nona Sarah, bankir muda dari kota yang sedang mengadakan program edukasi keuangan di desa mereka. Nona Sarah terkenal ramah dan sabar menjelaskan hal-hal rumit jadi mudah dipahami.
“Mama Halimah, bagaimana kabar? Ada bae-bae toh?” sapa Nona Sarah dengan senyum.
“Bae, Nona. Danke banyak su singgah. Ini Mama lagi bikin kalung mutiara,” jawab Halimah sambil tersenyum kecut. “Tapi nona, Mama bingung. Akang kepeng ni capat skali abis e. Padahal jualan bagus.”
Nona Sarah mengangguk paham. “Mama, coba Mama catat setiap uang yang masuk dan keluar. Jang lupa kas sisi par tabung duluan, baru sisanya buat belanja. Biar sadiki-sadiki, nanti jadi gunung.”
Mama Halimah mengerutkan kening. “Catat? Aduh, Nona. Sapa pung waktu par catat-catat bagitu? Pastiu talalu.“
“Mama, ini bukan cuma soal mencatat,” jelas Nona Sarah sabar. “Ini soal Mama pung impian. Mau renovasi rumah, mau sekolahkan anak sampai tinggi-tinggi, atau mungkin mau pi nai haji? Semua butuh kepeng. Kalau tidak direncanakan, bagaimana mau jadi?“
Nona Sarah mengeluarkan selembar kertas dan pulpen. “Coba Mama bayangkan. Setiap mutiara yang Mama rangkai ini, itu kan butuh waktu, tenaga, dan kesabaran. Sama seperti uang, Mama. Harus dirangkai, diatur, baru bisa jadi sesuatu yang indah dan bernilai di masa depan.”
Mama Halimah terdiam, kata-kata Nona Sarah menancap di benaknya. Ia teringat mimpi-mimpinya yang selama ini hanya teronggok di sudut hati. Rumah yang lebih layak, anak-anaknya bisa kuliah di Jawa, dan impian terbesarnya: bisa berangkat ke Tanah Suci bersama Abang Mo.
Mulai hari itu, Mama Halimah mencoba menerapkan saran Nona Sarah. Setiap pagi, ia mencatat pemasukan dari penjualan mutiara. Sebelum membelanjakannya, ia menyisihkan sebagian kecil ke dalam kaleng biskuit bekas yang ia sebut ‘kaleng impian’. Awalnya memang terasa berat, godaan untuk membeli ini itu selalu ada. Tapi setiap kali ia melihat ‘kaleng impian’ yang perlahan terisi, semangatnya kembali membara.
Abang Mo, yang awalnya meremehkan, mulai terkejut melihat perubahan Mama Halimah. “Mama, pung kaleng itu su barisi skali e? Seng mo buka ka?” godanya suatu sore.
Mama Halimah tersenyum. “Sabar dolo Papa. Ini bukan kaleng biasa. Ini kaleng masa depan katong,” jawabnya sambil tertawa.
Perlahan tapi pasti, ‘kaleng impian’ Mama Halimah semakin berat. Ia mulai mengerti, literasi keuangan itu bukan sekadar angka-angka di buku, tapi tentang mengendalikan masa depan di ujung jari. Mutiara-mutiara indah yang ia rangkai bukan hanya menjual keindahan, tapi juga mengajarkan dirinya tentang kesabaran, perencanaan, dan nilai setiap rupiah yang dihasilkan.
Beberapa tahun kemudian, rumah Mama Halimah dan Abang Mo berdiri kokoh dengan dinding bata dan atap seng baru. Anak sulung mereka berhasil masuk universitas di Makassar, berkat tabungan yang terakumulasi dari ‘kaleng impian’. Dan setiap kali Mama Halimah duduk di teras rumah barunya, memandang birunya Teluk Aru, ia tahu bahwa impian yang besar dimulai dari langkah kecil, secuil pengetahuan, dan secangkir tekad untuk mengelola keuangan dengan bijak.
Pesan untuk Kita Semua:
Kisah Dominggus dan Caca Halimah adalah cerminan dari banyak di antara kita. Seringkali, masalah keuangan bukan karena kurangnya pendapatan, melainkan kurangnya pemahaman dan literasi keuangan. Ingatlah, uang adalah alat untuk mencapai impian, bukan sekadar untuk dibelanjakan. Dengan pengetahuan, perencanaan, dan disiplin, kita bisa mengubah kebiasaan buruk menjadi pondasi kuat untuk masa depan yang lebih cerah. Mulailah dari hal kecil, seperti mencatat pengeluaran, menyisihkan tabungan, atau belajar investasi dasar. Literasi keuangan adalah kunci untuk membuka pintu kebebasan finansial dan mewujudkan setiap impian yang selama ini hanya tersimpan di hati. Jangan tunda lagi, masa depan finansial Anda ada di tangan Anda sendiri.