Malam itu bulan tampak malu-malu, hanya sedikit sinarnya yang menembus pekatnya gelap di atas Ambon. Jam dinding tua di rumah E.U. Pupella berdentang pelan, menandakan waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Pupella dan Ot Pattimaipau, dua tokoh yang menjadi penggerak perjuangan melawan penjajahan Belanda, menatap dua anak muda yang berdiri di hadapan mereka.
“Hanoch, Corres, ini bukan pekerjaan mudah. Kalau ketahuan, kalian bisa ditangkap atau lebih buruk lagi…” suara Pupella berat, penuh kekhawatiran. Namun Hanoch Luhukay dan Corres Hully anak Manipa hanya saling bertukar pandang, tekad mereka tak tergoyahkan.
“Beta seng takut, Bung. Kalau ini voor Ambon, beta siap,” jawab Hanoch dengan mantap.
“Kita cuma perlu hilangkan huruf T itu. Slogan itu penghinaan bagi kita semua,” Pattimaipau menambahkan. “Setia kepada Belanda? Smerlap! Kita harus tunjukkan kepada dunia bahwa Ambon tidak tunduk!”
Tak lama setelah itu, kedua pemuda tersebut bergerak dalam kegelapan. Dengan membawa linggis yang terbungkus kain agar tidak berkilau di bawah sinar bulan, mereka berjalan menuju gerbang besar yang menjadi kebanggaan Belanda. Di atasnya terpampang tulisan “Door de Eeuwen Trouw” dengan huruf-huruf besar yang memantulkan kesombongan penjajah.
Gerbang itu berdiri megah di tengah kota, tetapi malam ini suasana sepi. Pohon besar di dekatnya menjadi saksi bisu keberanian Hanoch dan Corres.
“Beta nai di se pung bahu, Hanoch e… Beta pegang kuat ini lawangka,” bisik Hully, menunjuk batang pohon yang melengkung mendekati gerbang.
Dengan hati-hati, Hanoch membantu Corres Hully naik ke bahunya. Kedua pemuda itu bekerja dalam senyap, hanya suara gesekan kain dan embusan napas mereka yang terdengar. Linggis itu akhirnya menghantam huruf T, menimbulkan bunyi logam yang membuat mereka sejenak menahan napas.
“Capat, capaat! Katong seng ada banyak waktu lai!” desis Hanoch.
Setelah beberapa kali pukulan, huruf T itu mulai goyah. Dengan satu pukulan terakhir, huruf itu terlepas dan jatuh ke tanah. Keduanya segera mengambil huruf itu dan menyelipkannya dalam kain.
“Berhasil!” seru Hully pelan, sambil turun dari pohon.
Mereka berlari kembali ke tempat persembunyian, nafas mereka terengah-engah tetapi hati mereka dipenuhi kebanggaan. Setibanya di rumah Pupella, mereka menunjukkan huruf T itu sambil tertawa, “Hahaeeee”.
“Bagus sekali, anak-anak!” Pupella berseru dengan mata berbinar.
“Sekarang, lihatlah besok pagi. Kita sudah ubah makna itu dari ‘Ambon setia selamanya’ menjadi ‘Ambon derita selamanya.’ Dunia akan tahu apa arti penjajahan bagi kita!” tambah Pattimaipau dengan semangat.
Keesokan paginya, sinar matahari pagi menyinari gerbang megah itu, dan perubahan besar langsung menarik perhatian warga kota. Perlahan kerumunan berkumpul, menyadari apa yang telah terjadi. Teks di atas gerbang itu telah berubah.
Di kantor Belanda, seorang perwira tinggi bernama Kapten Van der Vliet mengamati laporan yang baru saja diterimanya. Dengan wajah memerah, ia segera berlari keluar menuju gerbang, diikuti beberapa tentara lainnya. Saat melihat tulisan itu, ia mengumpat keras dalam bahasa Belanda.
Baca Juga: Hanoch Luhukay: Kolektor Surat Kabar yang Mengabadikan Sejarah
“Klootzak…Wat is dit? Wie durft dit te doen?!” (Bangsat…Apa-apaan ini? Siapa yang berani melakukan ini?!) teriaknya sambil menendang tanah dengan sepatu kulitnya.
“Ambon door de eeuwen Rouw? Dit is een belediging! Wat een schande!” (Ambon derita selamanya? Ini penghinaan! Memalukan sekali!) Van der Vliet terus mengumpat, menggertakkan giginya dengan marah.
“Hoe is het mogelijk dat ze zo dichtbij zijn gekomen?!” (Bagaimana mungkin mereka bisa mendekat sejauh ini?!) serunya, tangannya menunjuk gerbang itu sambil melayangkan tatapan tajam ke anak buahnya.
Para tentara Belanda hanya bisa saling pandang dengan wajah kebingungan. Mereka tahu, malam itu patroli mereka sudah dilakukan seperti biasa, tetapi tetap saja, dua pemuda pemberani berhasil menyusup dan mengubah simbol kesombongan mereka menjadi pernyataan derita bagi penjajah.
Sementara itu, di sudut kota, Pupella dan Pattimaipau berdiri bersama beberapa pejuang lainnya, menyaksikan keributan dari jauh dengan senyuman kecil di wajah mereka.
“Biarkan mereka marah. Kita sudah tunjukkan, Ambon seng tunduk!” ujar Pattimaipau penuh kemenangan.

Catatan: Lokasi gerbang itu berada di sekitar lokasi Gong Perdamaian Dunia sekarang. Dulunya terdapat sebuah gerbang dengan tulisan melengkung yang bertuliskan: Door de Eeuwen Trouw (Setia Selama-lamanya), dirubah menjadi Door de Eeuwen Rouw (Derita Selama-lamanya).
Memori terindah dari cerita Oom Hanoch Luhukay
One thought on “Ambon – “Door de Eeuwen Rouw””
Comments are closed.