Coos Ayal: Perempuan Gerilyawan dari Hutan Papua

Share:

Pada 28 Maret 2015, dunia melepas kepergian seorang perempuan tangguh bernama Costavina “Coos” Ayal. Ia bukan pahlawan yang sering disebut dalam buku pelajaran, tapi kisahnya layak dikenang sebagai bagian dari sejarah perlawanan terhadap penjajahan Jepang di Papua (saat itu masih disebut Nieuw-Guinea).

Lahir di Maluku pada 15 April 1926, Coos Ayal remaja saat perang dunia pecah berada di Manokwari. Namun, di usianya yang muda itu, ia membuat keputusan besar: ikut bergabung dengan pasukan gerilya Belanda yang bertahan di hutan Papua melawan pendudukan Jepang.

Latar Belakang

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Pensiun Luar Biasa Perlawanan Hindia (WIV) pada tahun 1986, barulah muncul pengakuan resmi terhadap bentuk perlawanan terhadap pendudukan Jepang di Hindia Belanda, yang selama 40 tahun sebelumnya secara resmi disangkal keberadaannya. Sejak saat itu, lewat media massa dan media Indisch, mulai tersebar kabar bahwa memang pernah ada perlawanan terorganisir setelah Jepang menguasai dan menduduki wilayah tersebut.

Selama puluhan tahun, pemerintah, parlemen, dan militer mengabaikan dan bahkan menolak pengakuan adanya perlawanan di koloni tersebut. Sejarawan nasional Perang Dunia II, Dr. L. de Jong, memang membahas hal ini dalam jilid 11b karya monumentalnya, namun dari sekitar 100 halaman, tidak sampai setengahnya membahas secara langsung aktivitas perlawanan itu sendiri. Ia juga tidak melakukan penelitian lebih lanjut.

Di Tengah Hutan, Dalam Perang

Secara umum, Jepang dengan cepat mampu melumpuhkan gerakan perlawanan. Terutama di pulau Jawa yang padat penduduk, mereka memperoleh informasi dari penduduk tentang siapa saja yang terlibat dalam perlawanan dan lokasi mereka. Di Nugini pun terjadi perlawanan, namun karena wilayahnya yang jarang penduduk dan dipenuhi hutan lebat, perlawanan di sana berlangsung lebih lama. Dalam kisah tragis di mana sebagian besar pejuang perlawanan akhirnya gugur, saya membaca tentang Coos Ayal, seorang gadis muda yang menjadi bagian dari kelompok kecil yang berhasil menghindari Jepang.

Dipimpin oleh Kapten Johan Willemsz Geeroms, pada 12 April 1942, sebanyak 62 tentara, termasuk warga lokal non-militer, mundur dari Manokwari di wilayah Kepala Burung (Vogelkop) Nugini. Karena kalah jumlah, mereka tak mampu lagi mempertahankan kota tersebut. Kelompok ini menuju pedalaman dan menjadikan desa Wasiwara sebagai markas utama. Pejabat pemerintahan dari Maluku, Nahuwae, menjadi kepala desa dan dibantu oleh istrinya serta keponakannya yang berusia 14 tahun, Coos Ayal.

Meskipun tekanan dari serangan Jepang terus meningkat, kelompok Willemsz Geeroms tetap berhasil melakukan serangan terhadap patroli dan pos Jepang. Polisi lokal yang bekerja sama dengan penjajah pun menjadi sasaran. Selain itu, kelompok ini juga mengumpulkan informasi intelijen yang berguna untuk kemungkinan serangan balasan oleh Sekutu. Namun para pejuang mengalami kerugian besar karena pertempuran dan penyakit. Kondisi fisik akibat hidup di hutan sangat berat, ditambah kekurangan makanan dan obat-obatan. Jepang menawarkan kesempatan untuk menyerah, tapi kelompok ini menolak. Musuh pun melibatkan sebanyak mungkin warga lokal dalam operasi mereka.

Pada 18 April 1944, Jepang berhasil melumpuhkan sebagian besar kelompok ini. Kapten Willemsz Geeroms ditangkap dan dipenggal di Manokwari. Istri Nahuwae, yang juga tante Coos, juga tertangkap. Sisa kelompok yang berjumlah 17 orang kemudian melanjutkan perjuangan di hutan di bawah pimpinan sersan Indo, Mauritz Kokkelink. Coos Ayal adalah salah satu dari 17 orang ini.

Coos bukan sekadar penumpang atau pengungsi. Ia ikut dalam pertempuran sebagai bagian dari kelompok. Hidup di tengah hutan yang keras, menghadapi kelaparan, penyakit, dan ancaman Jepang, Coos tetap bertahan. Ia bahkan disebut “salah satu dari anak-anak lelaki” karena keberanian dan kedisiplinannya.

Keputusan Sulit dan Tekad Hidup

Di satu titik, ketika sakit berat akibat beri-beri, malaria, dan disentri, Coos hampir menyerah. Dalam kondisi lemah, ia berkata pada pamannya bahwa ia tak sanggup lagi berjalan. Namun, aturan tak tertulis kelompok gerilya saat itu jelas: siapa pun yang tak bisa lanjut perjalanan, harus dieliminasi demi keselamatan bersama. Pamannya diberi perintah untuk membunuhnya jika ia menyerah. Coos Ayal berkata:

Pada suatu saat – aku benar-benar sudah setengah mati – pandanganku menghitam, dan aku berkata kepada pamanku: aku rasa aku tak bisa melanjutkan. Aku akan tinggal di sini saja. Pesan itu diteruskan kepada kapten, dan pamanku lalu diberi tahu bahwa aku tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan hidup. Itu terlalu berbahaya bagi yang lain. Pamanku harus membunuhku.”

Namun pamannya berhasil memberinya semangat yang luar biasa, dan dengan kekuatan tekad, ia terus berjalan dan menyelamatkan hidupnya. Moto hidupnya sangat sesuai: “bertahan dengan kepercayaan.” Kisah ini menunjukkan betapa gilanya keadaan dalam perang: bahaya bukan hanya dari musuh, tapi juga dari kelompok sendiri.

Coos Ayal tentang penderitaan itu:

Tiba-tiba aku mendengar suara tembakan dan teriakan. Aku melihat Willemsz Geeroms bangkit dan mencoba meraih senapannya. Tapi sebelum sempat digenggam, Jepang sudah menahannya. Aku pun langsung lari. Lari…jatuh…bangkit…lari… Aku begitu ketakutan hingga tidak lagi merasa takut. Setelah tiga hari, aku bertemu seseorang yang juga berhasil melarikan diri, dan kemudian juga pamanku. Tanteku dan Willemsz Geeroms telah ditangkap, dan kelak mereka dipenggal di Manokwari.

Diselamatkan Setelah Dua Tahun

Pada 22 September 1944, setelah lebih dari dua tahun bertahan di hutan, Coos dan 13 orang yang tersisa akhirnya ditemukan oleh tim intelijen Sekutu (NEFIS) yang diterjunkan dari Australia. Dari 62 orang dalam kelompok awal, hanya 14 yang selamat. Coos adalah satu dari mereka.

Kamp Wacol (Aus) 1944: Coos Ayal bersama 10 orang penyintas kelompok Kokkelink – [indischhistorisch.nl]

Penghargaan

Coos Ayal kemudian menerima berbagai penghargaan atas partisipasinya yang tak terbantahkan dalam perlawanan di Hindia Belanda ssat diduduki Jepang:

  • Kruis van Verdienste (Salib Jasa) – atas: “tindakan berani dan sangat berjasa selama berbulan-bulan dalam perjuangan gerilya melawan Jepang di wilayah Vogelkop, Nugini, dan berbagi semua bahaya serta penderitaan para pejuang gerilya.”
  • Verzetsherdenkingskruis (Salib Peringatan Perlawanan)
  • Ereteken Orde en Vrede (Tanda Kehormatan Orde dan Perdamaian)
  • Mobilisatiekruis (Salib Mobilisasi)

Namun, bagi Coos, yang terpenting bukanlah medali atau piagam. Yang lebih berharga adalah bahwa kisah mereka akhirnya didengar dan diakui.

Sebuah Warisan Perjuangan

Coos Ayal hidup sederhana hingga akhir hayatnya, namun kisahnya menyimpan pelajaran besar: bahwa keberanian tak mengenal usia atau jenis kelamin. Bahwa dalam perang, ada orang-orang “biasa” yang membuat pilihan luar biasa. Dan bahwa dalam sejarah Indonesia—terutama di wilayah-wilayah timur seperti Papua dan Maluku—banyak cerita hebat yang belum sepenuhnya kita gali dan hargai.

Semoga kisah Coos Ayal menginspirasi generasi muda untuk mencintai sejarah, menghormati perjuangan, dan tetap berjalan dengan keyakinan, bahkan dalam masa-masa tersulit.

“Terus maju dengan kepercayaan.”

coos ayal

Sumber: HUMPRHREY de la CROIX – “Oorlog en bersiap | In memoriam Coos Ayal (15 april 1926 – 28 maart 2015). Afscheid van een verzetsstrijdster

4 thoughts on “Coos Ayal: Perempuan Gerilyawan dari Hutan Papua

Comments are closed.

error: Content is protected !!