Dari Tekanan Anggaran ke Transformasi Birokrasi: Strategi Efisiensi Belanja Pegawai ala Ambon dan Pelajaran untuk Pemerintah Daerah Lain

Share:

Dalam lima tahun terakhir, pemerintah daerah di seluruh Indonesia menghadapi tekanan fiskal yang semakin meningkat. Penurunan proyeksi Transfer ke Daerah (TKD), inflasi, dan ketidakpastian ekonomi global memaksa kepala daerah untuk mencari cara inovatif dalam mengelola anggaran tanpa mengorbankan kualitas pelayanan publik. Salah satu area yang paling sensitif—namun sekaligus paling potensial untuk efisiensi—adalah belanja pegawai, yang kerap menyedot lebih dari 50% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kota Ambon kini menjadi sorotan karena sedang mempertimbangkan langkah strategis: mengurangi Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) dan menerapkan sistem kerja hybrid (tiga hari di kantor, dua hari bekerja dari rumah). Kebijakan ini bukan semata respons defensif terhadap ancaman defisit anggaran pada 2026, melainkan juga mencerminkan upaya proaktif untuk menata ulang birokrasi agar lebih ramping, adaptif, dan berorientasi pada hasil.

Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah langkah efisiensi ini benar-benar akan menghasilkan penghematan yang signifikan—dan apakah dampaknya terhadap kinerja aparatur justru akan mengikis produktivitas dan moral pegawai? Lebih jauh lagi, bagaimana pemerintah daerah lain dapat belajar dari pengalaman Ambon dan praktik daerah lain yang telah lebih dulu mengimplementasikan kebijakan serupa?

Mekanisme dan Implikasi Pengurangan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP)

Kebijakan efisiensi belanja pegawai yang sedang dipertimbangkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon, salah satunya adalah pengurangan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP), merupakan langkah fundamental yang memiliki implikasi mendalam terhadap kesejahteraan, motivasi, dan kinerja aparatur sipil negara (ASN). TPP bukan sekadar komponen tambahan gaji, melainkan sebuah instrumen kebijakan strategis yang dirancang untuk meningkatkan kinerja, disiplin, motivasi, dan kesejahteraan pegawai. Untuk memahami dampak pengurangan TPP, sangat penting untuk mengkaji mekanisme pemberian TPP yang telah mapan di berbagai pemerintah daerah lain sebagai cerminan dari bagaimana insentif finansial tersebut terintegrasi dengan sistem manajemen kinerja. Sumber-sumber yang tersedia menunjukkan bahwa pendekatan modern TPP telah bergeser secara signifikan dari pemberian tunjangan umum menuju sistem yang sangat terukur, terhubung langsung dengan hasil kerja, dan didukung oleh teknologi digital. Peraturan Bupati (Perbup) TPP yang dikeluarkan di Kabupaten Tasikmalaya, Bantul, Lampung Selatan, Batang, dan Bintan menunjukkan adanya standar emas dalam desain TPP yang dapat dijadikan acuan.

Mekanisme dasar pemberian TPP di berbagai daerah didasarkan pada beberapa kriteria utama yang ditetapkan secara nasional, yaitu beban kerja, prestasi kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi, dan pertimbangan objektif lainnya. Besaran TPP itu sendiri dihitung menggunakan rumus yang relatif konsisten di seluruh Indonesia, yaitu perkalian antara Tunjangan Kinerja Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (Tunjangan Kinerja BPK RI) per kelas jabatan dengan tiga indeks makro: Indeks Kapasitas Fiskal Daerah (IKF), Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), dan Indeks Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (IPP). Rumus ini dirancang untuk menyesuaikan besaran TPP sesuai dengan kemampuan keuangan daerah, tingkat kesulitan geografis, dan kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya, Indeks Kapasitas Fiskal Daerah memiliki bobot antara 0,4 untuk daerah dengan kapasitas fiskal sangat rendah hingga 1 untuk daerah dengan kapasitas fiskal sangat tinggi, sementara Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) berfungsi sebagai proxy untuk kesulitan geografis dengan membandingkan daerah tersebut terhadap DKI Jakarta. Indeks Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (IPP) adalah variabel paling kompleks, yang mencakup berbagai indikator kinerja daerah seperti opini BPK (Wajar Tanpa Pengecualian/WTP), capaian kinerja Organisasi Perangkat Daerah (OPD), kematangan penataan perangkat daerah, indeks inovasi, efektivitas dan efisiensi unit kerja, rasio belanja perjalanan dinas, indeks reformasi birokrasi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Gini ratio. Hal ini menunjukkan bahwa TPP tidak hanya bersifat statis, tetapi juga mencerminkan kinerja dan kondisi administrasi daerah secara holistik.

Implikasi dari kebijakan pengurangan TPP sangat multifaset dan dapat dikategorikan ke dalam dampak psikologis, operasional, dan struktural. Secara psikologis, TPP berfungsi sebagai alat motivasi. Jika pengurangan TPP bersifat kolektif dan tidak ada hubungan yang jelas antara besaran TPP dengan upaya individu, hal ini berpotensi besar menurunkan moral dan motivasi pegawai. Ketika pegawai merasa bahwa dedikasi dan usaha mereka untuk bekerja keras tidak lagi dihargai secara proporsional, semangat kerja dan loyalitas mereka dapat tergerus. Lebih lanjut, jika pengurangan TPP diberlakukan tanpa mempertimbangkan faktor-faktor eksternal seperti kondisi fiskal daerah yang memburuk, maka akan timbul persepsi ketidakadilan. Pegawai yang berkinerja prima namun ikut terkena dampak pengurangan TPP akan merasa demotivasi dan frustrasi, yang pada akhirnya dapat berdampak negatif pada kualitas layanan publik. Oleh karena itu, desain kebijakan pengurangan TPP haruslah cermat, misalnya dengan memberikan bobot yang lebih besar pada pengurangan bagi pelanggaran disiplin ketimbang pengurangan struktural yang berlaku umum.

Secara operasional, TPP dirancang untuk menjadi alat pengendalian disiplin dan peningkatan produktivitas. Hampir semua Peraturan Bupati TPP yang dianalisis menggunakan bobot yang jelas antara produktivitas kerja dan disiplin kerja. Bobot produktivitas kerja biasanya berkisar antara 60% hingga 70%, sementara bobot disiplin kerja berkisar antara 30% hingga 40%. Produktivitas kerja diukur melalui capaian Satuan Kerja Perencanaan dan Anggaran (SKP) individu, yang sebagian besar dicatat dan diverifikasi melalui aplikasi e-Kinerja seperti SAPA ASN di Kabupaten Bantul atau Sikab di Kabupaten Bintan. Disiplin kerja, di sisi lain, diukur secara objektif berdasarkan data kehadiran yang direkam melalui presensi elektronik. Pengurangan TPP yang diterapkan atas dasar pelanggaran disiplin, seperti ketidakhadiran tanpa keterangan, keterlambatan, pulang lebih awal, atau bahkan pelanggaran administratif seperti tidak melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), menjadi mekanisme kontrol yang jelas. Sebagai contoh, di Kabupaten Bantul, PNS yang menerima hukuman disiplin ringan akan kehilangan 10% dari TPP-nya selama periode 6 hingga 12 bulan. Di Kabupaten Batang, ketidakhadiran tanpa alasan sah dapat mengurangi TPP hingga 3% per hari, dengan maksimal 100% per bulan. Namun, jika kebijakan pengurangan TPP di Ambon bersifat umum dan tidak terikat pada penilaian kinerja individu, mekanisme kontrol disiplin ini akan dilemahkan. Ini berarti bahwa meskipun tujuan efisiensi anggaran tercapai, fungsi TPP sebagai alat manajemen kinerja dan disiplin juga akan berkurang.

Secara struktural, kebijakan pengurangan TPP dapat mengubah dinamika internal organisasi. Jika TPP tidak lagi menjadi sumber penghasilan yang signifikan, maka citra ASN sebagai pekerja profesional yang dihargai berdasarkan kinerja bisa tergerus. Hal ini dapat mempengaruhi proses rekrutmen dan retensi SDM, di mana calon pegawai mungkin menjadi kurang tertarik untuk bergabung dengan instansi yang tidak mampu memberikan insentif kinerja yang memadai. Di sisi lain, jika Pemkot Ambon memilih untuk merevisi sistem TPP mereka ke arah yang lebih berorientasi pada kinerja, seperti yang dilakukan oleh banyak kabupaten lain, maka kebijakan ini dapat menjadi momen transformasi yang positif. Alih-alih sekadar mengurangi jumlah, revisi TPP dapat membuat sistem menjadi lebih transparan, akuntabel, dan juster, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Desain TPP yang matang di daerah lain menunjukkan bahwa TPP dapat menjadi motor penggerak reformasi birokrasi jika dikelola dengan benar. Oleh karena itu, keputusan untuk mengurangi TPP harus diimbangi dengan komitmen untuk memperkuat sistem pengukuran kinerja yang fair dan transparan, sehingga pegawai tetap memiliki landasan yang jelas untuk berprestasi dan dihargai.

Transformasi Model Kerja Hybrid: Dampak pada Produktivitas dan Disiplin Pegawai

Pilar kedua dari kebijakan efisiensi belanja pegawai yang dibahas oleh Pemkot Ambon adalah penerapan sistem kerja hybrid, yang mengharuskan ASN bekerja di kantor (Work From Office/WFO) selama tiga hari dan bekerja dari rumah atau lokasi lain (Work From Anywhere/WFA) selama dua hari. Kebijakan ini merupakan manifestasi dari tren nasional yang didorong oleh Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Paradigma baru ini mengubah cara kerja tradisional dan membawa implikasi signifikan terhadap produktivitas, disiplin, kolaborasi, dan keseimbangan kehidupan kerja para pegawai. Tujuannya bukan hanya untuk efisiensi anggaran, tetapi juga untuk menciptakan birokrasi yang lebih adaptif dan responsif. Pergeseran dari pengukuran “kehadiran” fisik menjadi fokus pada “output” atau pencapaian target kinerja menjadi prinsip utama dari transformasi ini.

Salah satu dampak positif utama dari kerja hybrid adalah potensi peningkatan produktivitas dan keseimbangan kehidupan-kerja. Dengan mengurangi waktu dan biaya transportasi bolak-balik ke kantor, pegawai dapat mengalihkan energi tersebut untuk aktivitas kerja yang lebih produktif atau waktu luang yang lebih berkualitas. Fleksibilitas dalam mengatur waktu kerja juga dapat membantu pegawai mengelola tugas-tugas pribadi dan profesional dengan lebih baik, yang pada gilirannya dapat mengurangi stres dan meningkatkan kenyamanan kerja. Selain itu, kerja dari lokasi yang lebih nyaman dan bebas gangguan eksternal dapat meningkatkan fokus pegawai terhadap tugas-tugas yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Namun, dampak ini sangat bergantung pada karakteristik pekerjaan. Untuk tugas-tugas yang bersifat independen dan dapat diselesaikan dengan mandiri, kerja hybrid cenderung lebih efektif. Sebaliknya, untuk tugas-tugas yang membutuhkan kolaborasi intensif, pembinaan karier, atau interaksi tatap muka, kerja di kantor tetap menjadi esensial.

Di sisi lain, implementasi kerja hybrid membawa serangkaian tantangan dan risiko yang perlu diantisipasi secara proaktif. Salah satu risiko terbesar adalah terjadinya “rest to home” atau istirahat di rumah, di mana pegawai tidak melakukan pekerjaan produktif saat berada di rumah. Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia memperingatkan bahwa pengawasan ketat terhadap pegawai yang bekerja dari rumah sangat penting, dengan penentuan target kerja yang jelas dan fokus pada output sebagai tolok ukur kinerja. Tanpa sistem pemantauan kinerja yang kuat dan andal, pengawasan tradisional melalui absensi fisik tidak lagi relevan, yang menciptakan “kesenjangan pengawasan” (monitoring gap). Untuk mengatasi hal ini, diperlukan sistem pelaporan yang jelas dan terukur, seperti yang diusulkan oleh Kepala BKN Zudan Arif Fakrulloh. Manajemen kinerja harus beralih dari pengawasan jam kerja menjadi evaluasi hasil kerja yang dapat dipertanggungjawabkan.

Selain masalah pengawasan, kerja hybrid juga berpotensi mengganggu komunikasi dan kolaborasi di lingkungan kerja. Kurangnya interaksi tatap muka dapat menghambat timbulnya ide-ide baru, memperlemah ikatan sosial antarpegawai, dan menyulitkan pembinaan karier oleh pimpinan. Proses mentoring, diskusi spontan, dan pembentukan budaya kerja yang solid sangat sulit dilakukan dalam lingkungan kerja yang terdesentralisasi. Oleh karena itu, kepemimpinan perlu secara aktif menciptakan ruang virtual untuk diskusi dan kolaborasi, serta memastikan bahwa sistem kerja hybrid tidak mengisolasi pegawai dari proses pembelajaran dan pengembangan karier. Selain itu, adanya batas yang samar antara waktu kerja dan waktu pribadi dapat menjadi tantangan tersendiri bagi pegawai yang kurang disiplin, sehingga menuntut kemandirian dan manajemen waktu yang baik dari setiap individu.

Keberhasilan implementasi kerja hybrid sangat bergantung pada infrastruktur digital yang handal. Akses internet yang stabil, perangkat lunak kolaborasi yang efektif, dan platform komunikasi yang terintegrasi menjadi tulang punggung bagi produktivitas pegawai yang bekerja dari rumah. Namun, tantangan ini masih relevan di banyak daerah di Indonesia, termasuk di Ambon, di mana infrastruktur digital belum sepenuhnya memadai untuk mendukung pelaksanaan kerja jarak jauh secara efektif. Selain itu, ada risiko keamanan data yang perlu dikelola dengan baik saat pegawai mengakses informasi sensitif dari lokasi yang tidak terkontrol. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, yang telah menerapkan kebijakan WFA, menyediakan akun Zoom untuk setiap OPD dan sistem smart office sebagai persiapan infrastruktur pendukung, yang menjadi contoh praktik terbaik yang dapat ditiru. Bagi Pemkot Ambon, investasi awal dalam aset digital ini akan menjadi modal penting untuk memastikan bahwa skema kerja hybrid benar-benar meningkatkan produktivitas, bukan justru menciptakan kendala baru. Evaluasi rutin terhadap efektivitas sistem kerja hybrid, seperti yang direncanakan oleh Pemprov Sulsel untuk dievaluasi setiap dua bulan, juga menjadi langkah penting untuk melakukan penyesuaian berkelanjutan.

Analisis Efisiensi Anggaran: Dari Penghematan Langsung hingga Gains Struktural

Justifikasi utama yang diajukan oleh Walikota Ambon untuk menerapkan kebijakan efisiensi belanja pegawai adalah respons terhadap proyeksi penurunan Transfer ke Daerah (TKD) pada tahun 2026. Analisis dampak kebijakan ini terhadap efisiensi anggaran harus dilakukan secara komprehensif, membedahnya menjadi dua dimensi utama: penghematan langsung (direct savings) dan efisiensi struktural/operasional (indirect savings & gains). Dimensi pertama bersifat instan dan mudah diukur, sementara dimensi kedua bersifat lebih holistik dan memiliki nilai strategis jangka panjang.

Penghematan langsung yang paling signifikan dan paling mudah diukur adalah dari pengurangan belanja Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP). TPP merupakan komponen belanja pegawai yang besarnya sangat substansial. Berdasarkan data dari berbagai pemerintah daerah, besaran TPP yang diterima oleh ASN dapat mencapai puluhan juta rupiah. Sebagai contoh, Basic TPP untuk kelas jabatan Asisten Sekda, Inspektur, dan Kepala Perangkat Daerah di Kabupaten Bantul mencapai Rp9.933.648,73 per bulan. Total TPP yang diterima oleh Sekretaris Daerah di Kabupaten Batang bahkan mencapai Rp32.647.447 per bulan. Untuk jabatan-jabatan pelaksana, meskipun nominalnya lebih kecil, total TPP untuk ribuan pegawai dapat menjumlahkan angka yang masif. Dengan demikian, pengurangan TPP—bahkan dengan skala moderat seperti 10% atau 20%—akan menghasilkan penghematan anggaran yang sangat besar. Penghematan ini bersifat instan dan dapat langsung dialokasikan untuk memenuhi prioritas lain sesuai dengan tekanan anggaran TKD. Ini adalah solusi jangka pendek yang paling efektif untuk menstabilkan defisit anggaran daerah.

Selain pengurangan TPP, skema kerja hybrid (WFA dua hari) secara inheren akan memberikan dampak penghematan operasional kantor. Meskipun jumlahnya lebih kecil dibandingkan pengurangan TPP, total penghematan dari aspek-operasional ini dapat signifikan dalam jangka panjang. Penghematan ini mencakup pengurangan konsumsi listrik, air, dan perlengkapan kantor seperti kertas dan tinta. Pemerintah pusat bahkan menjadikan penghematan energi di kantor sebagai salah satu dari sepuluh kebijakan strategis efisiensi yang dirumuskan oleh BKN. Selain itu, dengan lebih banyak pegawai yang bekerja dari rumah, biaya perjalanan dinas internal (antar OPD dalam kota) juga diperkirakan akan berkurang. Pemerintah pusat secara eksplisit membatasi perjalanan dinas (dalam dan luar negeri) sebagai bagian dari paket kebijakan efisiensi. Meskipun dampak ini bersifat marginal per pegawai, jika dikalikan dengan jumlah ASN yang ada di Ambon, total penghematannya bisa cukup signifikan.

Efisiensi struktural dan operasional merupakan dimensi yang lebih kompleks namun memiliki potensi nilai yang jauh lebih besar dalam jangka panjang. Pertama, sistem kerja yang lebih fleksibel dapat memungkinkan optimalisasi alokasi sumber daya manusia. Manajemen dapat lebih bijaksana dalam mengalokasikan pegawai berdasarkan karakteristik tugas. Pegawai dengan tugas yang lebih independen dapat diizinkan bekerja dari rumah, sementara tugas-tugas yang membutuhkan kolaborasi intensif tetap dilakukan di kantor pada hari-hari yang ditentukan. Hal ini dapat meningkatkan produktivitas keseluruhan tanpa harus menambah jumlah pegawai. Kedua, fleksibilitas kerja dapat meningkatkan responsivitas layanan publik. Pegawai dapat lebih cepat merespons kebutuhan masyarakat dengan melakukan kunjungan lapangan atau rapat koordinasi dari lokasi yang lebih dekat dengan sumber masalah, tanpa harus terpaku pada jam kantor di kantor pusat. Contoh negara-negara seperti Singapura menunjukkan bahwa penerapan kerja hybrid berhasil meningkatkan responsivitas pelayanan publik.

Namun, penting untuk mengidentifikasi “biaya tersembunyi” atau risiko finansial jangka pendek yang mungkin timbul dari implementasi kebijakan ini. Investasi awal yang diperlukan untuk memastikan infrastruktur digital yang memadai bagi seluruh pegawai, seperti akses internet berkecepatan tinggi, perangkat lunak kolaborasi, dan perangkat keras (laptop, printer), merupakan biaya modal yang signifikan. Selain itu, perlu ada anggaran untuk dukungan TI berkelanjutan guna membantu pegawai yang mengalami kendala teknis saat bekerja dari rumah. Selama masa transisi, ada juga potensi penurunan produktivitas sementara saat pegawai dan pimpinan beradaptasi dengan model kerja baru. Risiko keamanan data juga perlu dikelola dengan biaya tambahan untuk perangkat lunak keamanan dan pelatihan pegawai. Oleh karena itu, perencanaan anggaran yang cermat harus memperhitungkan semua komponen ini untuk memastikan bahwa kebijakan efisiensi tidak justru menciptakan beban finansial baru bagi daerah.

Konteks Nasional dan Praktik Terbaik Implementasi TPP di Daerah Lain

Untuk memahami posisi Pemerintah Kota Ambon dalam spektrum kebijakan efisiensi, penting untuk menempatkannya dalam konteks nasional yang lebih luas dan mempelajari praktik terbaik yang telah diimplementasikan oleh pemerintah daerah lain. Kebijakan yang sedang dibahas oleh Ambon sangat selaras dengan arah kebijakan nasional yang didorong oleh Pemerintah Pusat. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 menjadi landasan utama bagi pemerintah daerah untuk melakukan penyesuaian anggaran, termasuk belanja pegawai. Respons terhadap Inpres ini tampaknya sudah mulai diimplementasikan di tingkat pusat melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN). Kepala BKN, Zudan Arif Fakrulloh, menyatakan bahwa pemerintah pusat akan menerapkan skema kerja hybrid (tiga hari WFO, dua hari WFA) mulai Februari 2025 sebagai bagian dari strategi efisiensi anggaran. BKN bahkan merumuskan sepuluh kebijakan strategis efisiensi, yang mencakup peniadaan jam kerja fleksibel, pembatasan perjalanan dinas, dan penguatan pengawasan kinerja harian melalui sistem pelaporan yang jelas. Ini menunjukkan bahwa kebijakan Ambon bukanlah inovasi yang terisolasi, melainkan merupakan bentuk pengadopsian dini terhadap arahan kebijakan nasional yang lebih luas.

Daripada hanya mencontoh kebijakan Ambon, para pemimpin daerah lain dapat belajar lebih banyak dari praktik desain TPP yang telah mapan dan terbukti efektif di berbagai kabupaten di Indonesia. Analisis terhadap Peraturan Bupati TPP di Kabupaten Tasikmalaya, Bantul, Lampung Selatan, Batang, dan Bintan memberikan gambaran tentang elemen-elemen kunci dari model TPP yang matang. Elemen pertama adalah transparansi dan akuntabilitas. Semua proses, mulai dari klasifikasi jabatan yang memenuhi kriteria TPP, perhitungan basic TPP, hingga mekanisme pengurangan TPP, didasarkan pada aturan yang tertulis secara rinci dalam Peraturan Bupati dan dapat diakses oleh publik maupun pegawai itu sendiri. Elemen kedua adalah hubungan langsung dengan kinerja. TPP bukan lagi hak mutlak, melainkan imbalan yang terikat secara proporsional pada prestasi kerja (melalui capaian SKP) dan disiplin kerja (melalui kehadiran). Bobot yang jelas diberikan kepada produktivitas kerja (sekitar 60-70%), menandakan bahwa kualitas hasil kerja adalah prioritas utama.

Elemen ketiga yang tidak kalah penting adalah pemanfaatan teknologi. Penggunaan aplikasi e-Kinerja (seperti SAPA ASN di Bantul dan Sikab di Bintan) menjadi tulang punggung dalam pengumpulan data objektif untuk perhitungan TPP. Data capaian SKP yang diinput dan diverifikasi oleh atasan langsung, serta data kehadiran dari presensi elektronik, memastikan bahwa penilaian kinerja tidak lagi subjektif, melainkan berbasis bukti yang dapat diverifikasi. Elemen keempat adalah pengurangan berbasis aturan yang jelas. Ada mekanisme yang terdefinisi dengan baik untuk mengurangi TPP sebagai alat disiplin dan pengendalian kinerja. Pengurangan ini diterapkan atas dasar pelanggaran spesifik, seperti ketidakhadiran, keterlambatan, pulang lebih awal, atau pelanggaran administratif. Besaran pengurangannya pun bersifat proporsional dan terukur, misalnya 3% per hari untuk ketidakhadiran tanpa alasan sah. Keempat elemen ini—transparansi, keterikatan dengan kinerja, pemanfaatan teknologi, dan pengurangan berbasis aturan—merupakan formula dasar untuk menciptakan sistem TPP yang tidak hanya efisien dari segi anggaran, tetapi juga efektif dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Membandingkan praktik daerah lain, Pemkot Ambon dapat belajar banyak dari pendekatan yang telah diambil oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Melalui Keputusan Gubernur No. 293/II/2025, Pemprov Sulsel mengizinkan ASN bekerja minimal tiga hari di kantor dan dua hari lainnya bisa dari mana saja, dengan syarat tidak mengganggu pelayanan publik. Kebijakan ini membatasi partisipasi WFA maksimal 30% dari total ASN di setiap OPD, menunjukkan pendekatan yang terukur dan bertahap. Jadwal WFA ditentukan sendiri oleh ASN dengan izin atasan, memberikan fleksibilitas sekaligus memastikan adanya tanggung jawab. Yang terpenting, Pemprov Sulsel telah menyiapkan infrastruktur pendukung yang matang, seperti penyediaan akun Zoom untuk setiap OPD dan sistem smart office, serta menetapkan evaluasi sistem kerja setiap dua bulan untuk menilai efektivitasnya. Pendekatan ini menunjukkan bahwa keberhasilan kerja hybrid tidak hanya terletak pada penetapan kebijakan, tetapi juga pada kesiapan infrastruktur dan proses evaluasi yang berkelanjutan. Pemkot Ambon dapat mengadopsi model-model ini untuk memastikan implementasi kebijakan efisiensi mereka berjalan lancar dan memberikan dampak yang positif.

Rekomendasi Strategis bagi Pemerintah Daerah Lain dalam Implementasi Kebijakan Efisiensi

Berdasarkan analisis mendalam terhadap dampak kebijakan efisiensi belanja pegawai, baik terhadap kinerja pegawai maupun efisiensi anggaran, serta studi banding dengan praktik terbaik di daerah lain, dapat dirumuskan serangkaian rekomendasi strategis bagi Pemerintah Kota Ambon dan pemerintah daerah lain yang berencana mengadopsi kebijakan serupa. Tujuan dari rekomendasi ini adalah untuk memaksimalkan manfaat positif dari kebijakan efisiensi sambil meminimalkan risiko yang melekat, dengan tetap menjaga kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan aparatur.

Pertama, Desain Ulang Sistem TPP Menuju Lebih Berorientasi pada Kinerja. Alih-alih hanya mengurangi besaran TPP secara umum atau kolektif, langkah yang lebih strategis adalah merevisi Peraturan TPP yang ada untuk membuatnya lebih transparan, akuntabel, dan terikat langsung pada hasil kerja. Pemkot Ambon dapat mengambil model-model yang telah terbukti efektif di daerah lain seperti Kabupaten Bantul atau Batang. Rekomendasinya adalah:

  • Menetapkan Bobot yang Jelas: Pastikan bobot untuk produktivitas kerja (berdasarkan capaian SKP) dan disiplin kerja (berdasarkan kehadiran) jelas dan seimbang, dengan bobot produktivitas yang dominan (misalnya 70% untuk produktivitas dan 30% untuk disiplin).
  • Menggunakan Teknologi sebagai Alat Validasi: Integrasikan sistem e-Kinerja untuk pencatatan SKP dan presensi elektronik untuk validasi data kehadiran. Ini akan memastikan bahwa penilaian kinerja bersifat objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
  • Mengelola Pengurangan TPP Secara Proporsional: Jika pengurangan TPP diperlukan, pastikan mekanismenya berbasis aturan yang jelas dan proporsional untuk pelanggaran disiplin atau administratif, bukan sebagai pengurangan struktural yang bersifat umum. Ini akan menjaga integritas TPP sebagai alat disiplin dan pengendali kinerja.

Kedua, Implementasikan Sistem Monitoring Kinerja Digital yang Canggih untuk Mendukung Kerja Hybrid. Keberhasilan skema kerja hybrid (WFO 3 hari, WFA 2 hari) sangat bergantung pada kemampuan untuk mengukur output dan produktivitas pegawai secara efektif. Karena pengawasan tradisional melalui absensi tidak lagi relevan, diperlukan sistem digital yang canggih. Rekomendasi implementasinya adalah:

  • Mengadopsi Platform Pelaporan Progres: Investasikan dalam platform digital yang memungkinkan pegawai untuk melaporkan progres pekerjaan mereka secara real-time dan pimpinan untuk memantau pencapaian target secara berkala. Ini akan menjadi dasar untuk mengukur output pegawai dan memvalidasi kebijakan WFA.
  • Mengembangkan Metrik Kinerja Output: Bersama dengan pimpinan OPD, tentukan metrik kinerja yang relevan untuk setiap jenis jabatan. Metrik ini harus berfokus pada hasil (output) dan dampak (outcome) daripada pada proses atau jam kerja. Ini akan mengubah paradigma manajemen kinerja dari “presence-based” menjadi “performance-based”.

Ketiga, Komunikasikan Secara Transparan dan Libatkan Pegawai dalam Proses Perubahan. Perubahan kebijakan yang fundamental seperti ini akan menimbulkan ketidakpastian dan kekhawatiran di kalangan pegawai. Oleh karena itu, komunikasi yang jujur dan transparan sangat vital. Rekomendasi untuk komunikasi dan partisipasi adalah:

  • Jelaskan Tujuan dan Manfaat Jangka Panjang: Komunikasikan bahwa tujuan utama kebijakan ini adalah untuk menciptakan birokrasi yang lebih efisien, adaptif, dan responsif kepada masyarakat, bukan hanya untuk memangkas anggaran secara drastis.
  • Libatkan Pegawai dalam Perancangan Detail: Libatkan perwakilan pegawai dan pimpinan OPD dalam merancang detail implementasi, terutama terkait metrik kinerja output dan protokol kerja hybrid. Partisipasi akan meningkatkan pemahaman dan penerimaan kebijakan.
  • Jaga Keseimbangan Antara Penghematan dan Kesejahteraan: Hindari pengurangan TPP yang terlalu drastis yang dapat merusak moral pegawai. Carilah keseimbangan yang tepat antara penghematan anggaran yang diperlukan dengan pemeliharaan motivasi dan kesejahteraan yang memadai untuk menjaga kualitas layanan publik.

Keempat, Lakukan Evaluasi Berkala dan Adaptasi Berkelanjutan. Tidak ada kebijakan yang sempurna pada tahap awal. Penting untuk memiliki mekanisme evaluasi yang sistematis untuk mengukur dampak kebijakan secara berkala dan melakukan penyesuaian iteratif. Rekomendasi untuk evaluasi adalah:

  • Mulai dengan Uji Coba (Pilot Project): Lakukan uji coba skema kerja hybrid untuk sebagian OPD atau kelompok pegawai tertentu sebelum diterapkan secara penuh. Ini akan memberikan data awal tentang efektivitas dan tantangan yang muncul.
  • Gunakan Indikator Kinerja yang Jelas: Tetapkan indikator kinerja spesifik untuk mengukur dampak kebijakan, seperti produktivitas pegawai, tingkat kepuasan pelayanan publik, penghematan biaya operasional, dan tingkat kepuasan pegawai terhadap keseimbangan hidup-kerja.
  • Adakan Forum Evaluasi Rutin: Adakan forum evaluasi setiap dua atau tiga bulan untuk membahas hasil data yang terkumpul, mendengar masukan dari pegawai, dan membuat keputusan untuk merevisi atau memperluas cakupan kebijakan.

Sebagai kesimpulan, kebijakan efisiensi belanja pegawai yang digagas oleh Pemkot Ambon merupakan langkah yang sangat relevan untuk menghadapi tantangan fiskal. Namun, keberhasilannya tidak akan diukur dari seberapa besar pengurangan TPP, melainkan dari kemampuan Ambon untuk mentransformasikan sistem kerja dan manajemen kinerja menjadi lebih adaptif, efisien, dan berfokus pada hasil, tanpa mengorbankan kualitas pelayanan publik. Dengan mengadopsi pendekatan yang terstruktur, berbasis bukti, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, Pemkot Ambon dapat mengubah tantangan ini menjadi momentum untuk membangun birokrasi yang lebih modern dan tangguh.

error: Content is protected !!