Ibadah Sepanjang Minggu, Dosa Sepanjang Hidup: Sebuah Refleksi dari Yesaya 58

Share:

“Berserulah kuat-kuat, jangan tahan-tahan! Nyaringkanlah suaramu seperti sangkakala dan beritahukanlah kepada umat-Ku pelanggaran mereka…”Yesaya 58:1

Indonesia adalah negara religius. Data Pew Research Center menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat religiositas tertinggi di dunia. Survei-survei nasional mengungkapkan lebih dari 95% penduduk Indonesia mengaku percaya kepada Tuhan dan menjalankan ibadah secara teratur. Namun, ironisnya, Indonesia juga menduduki peringkat buruk dalam hal korupsi. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 dari Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ke-115 dari 180 negara, dengan skor hanya 34/100 — jauh dari kategori “bersih”.

Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah skandal rohani.

Kita memuja Tuhan di hari Minggu, tetapi menyembah uang dan kekuasaan di hari kerja. Kita bersorak di gereja, tetapi bersiasat di kantor. Kita menangis dalam pujian, tetapi menindas dalam rapat. Kita bersaksi tentang kasih, tetapi mempraktikkan kebencian, nepotisme, dan ketidakadilan di ruang-ruang kehidupan sosial.

Yesaya 58 seakan ditulis ulang untuk zaman ini. Umat Israel saat itu rajin berpuasa, beribadah, menyanyikan lagu-lagu pujian, dan mencari kehendak Tuhan. Tetapi Tuhan murka. Mengapa? Karena ibadah mereka tidak disertai dengan keadilan sosial. Karena puasa mereka diikuti dengan penindasan terhadap sesama. Karena mereka beragama, tetapi tidak bermoral.

Inilah juga gambaran gereja di banyak tempat di Indonesia hari ini — termasuk di Maluku, dan termasuk Gereja Protestan Maluku (GPM) yang begitu aktif beribadah sepanjang minggu. Ada Sekolah Minggu, Ibadah Unit, Ibadah Sektor, Persekutuan Kaum Ibu, Kaum Bapak, Kaum Muda, Lansia, Majelis Jemaat, Kategorial, dan Doa Puasa. Namun setelah semua ibadah itu selesai, orang-orang kembali ke dunia kerja, politik, ekonomi, dan sosial — lalu mengkhianati nilai-nilai yang mereka nyanyikan dan aminkan sendiri.

Apa gunanya liturgi jika tidak ada keadilan? Apa gunanya suara merdu di gereja jika di kantor kita bersuara busuk? Apa gunanya kotbah indah jika hidup kita tetap menyakiti orang kecil dan mengabaikan tangis orang tertindas?

Tuhan tidak butuh nyanyian jika nyanyian itu tidak disertai dengan kejujuran. Tuhan muak dengan doa yang tidak membela yang lemah. Tuhan menutup telinga-Nya terhadap puasa yang hanya formalitas tapi tak mengubah karakter.

Yesaya 58:6-7 menantang kita:
“Bukankah berpuasa yang Kukehendaki ialah melepaskan belenggu kelaliman, membuka tali-tali kuk, membebaskan orang yang tertindas dan mematahkan setiap kuk? Bukankah itu ialah memecah-mecah rotimu bagi orang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah?”

Umat Kristen tidak hanya dipanggil untuk percaya — kita dipanggil untuk berpihak. Berpihak pada keadilan. Berpihak pada kebenaran. Berpihak pada mereka yang tak bersuara. Dan berpihak bukan hanya saat ibadah — tapi justru di luar ibadah, di medan sosial-politik-ekonomi yang sesungguhnya.

Gereja yang tidak membela yang tertindas, adalah gereja yang sedang mempermalukan Kristus.

Sudah saatnya kita mengakhiri kemunafikan kolektif ini. Religiusitas yang tidak menghasilkan keadilan adalah bentuk kejahatan rohani. Kita tidak kekurangan doa, tapi kita miskin integritas. Kita tidak kekurangan liturgi, tapi kita lalai menjalankan kasih.

Yesaya 58 menutup dengan janji: jika kita kembali kepada jalan Tuhan, bukan hanya dalam ritual, tapi dalam hidup nyata — maka terang akan terbit dalam kegelapan, luka bangsa ini akan disembuhkan, dan nama kita akan dipulihkan.

Tuhan tidak mencari suara nyanyian. Ia mencari hidup yang memuliakan-Nya.

error: Content is protected !!