Maluku berada di persimpangan penting pembangunan ekonomi. Sumber daya alam laut dan darat yang melimpah, letak strategis di jalur pelayaran internasional, serta bonus demografi pemuda adalah kekuatan dasar yang menanti dikelola dengan bijak. Di tengah peluang itu, dua organisasi dunia usaha semestinya tampil sebagai motor penggerak: KADIN dan HIPMI.
Namun sayangnya, dalam banyak kasus di Maluku, peran keduanya masih lebih menonjol dalam bingkai seremonial ketimbang sebagai penggerak nyata pertumbuhan ekonomi.
Lebih ironis lagi, sebagian pengurus aktif KADIN dan HIPMI justru sibuk membangun citra politik pribadi—menjadikan organisasi sebagai batu loncatan menuju panggung kekuasaan, bukan sebagai sarana membangun ekonomi kolektif.
Struktur Kuat, Fungsi Lemah
Secara struktural, KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) adalah organisasi resmi mitra strategis pemerintah, menaungi berbagai jenis dan skala usaha—dari korporasi besar hingga UMKM. Ia berperan dalam diplomasi dagang, fasilitasi investasi, hingga penguatan regulasi pro-pengusaha.
HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), yang secara historis lahir dari rahim KADIN, membawa semangat kewirausahaan baru. Fokusnya pada kaderisasi pengusaha muda, pelatihan, advokasi, dan pembentukan ekosistem bisnis berbasis generasi muda.
Di atas kertas, dua lembaga ini memiliki pembagian peran yang jelas. Namun realitasnya di Maluku, fungsi ini kerap kabur dan nyaris tidak terukur dampaknya.
Dominasi Seremonial, Minim Data dan Aksi
Di berbagai daerah, termasuk di Maluku, kegiatan yang melibatkan KADIN dan HIPMI sering kali tampil gemerlap dalam bentuk seremoni—pelantikan, seminar, FGD, festival UMKM, hingga kunjungan kehormatan ke kepala daerah. Namun sayangnya, kilau seremoni ini tidak diikuti oleh kerja nyata yang berdampak langsung terhadap dunia usaha, khususnya sektor UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal.
Pertanyaannya: Apa hasil konkret dari semua seremoni ini bagi pelaku usaha kecil di Piru, Namlea, Saumlaki, atau Tual?
1. Minimnya Transparansi dan Basis Data UMKM
KADIN dan HIPMI belum mampu menghadirkan satu sistem pendataan UMKM berbasis digital yang akurat dan dinamis. Banyak pelaku usaha di Maluku Timur hingga Kepulauan Aru yang tidak pernah disentuh program pemberdayaan. Tidak ada dashboard publik yang dapat menunjukkan:
- Berapa jumlah UMKM aktif?
- Sektor dominan usaha per kabupaten/kota?
- Sejauh mana mereka tersambung dengan akses pembiayaan, pasar, atau pelatihan?
Tanpa data, program akan salah sasaran, tumpang tindih, dan rawan menjadi proyek pencitraan.
2. Ketergantungan pada Agenda Pemerintah
Seringkali program KADIN dan HIPMI hanya menumpang pada kegiatan OPD atau kementerian/lembaga. Mereka menjadi “panitia eksternal” atau bahkan sekadar pendamping simbolik dalam kegiatan yang sebenarnya digerakkan oleh dana APBD atau APBN. Padahal, sebagai organisasi mandiri, idealnya mereka bisa menjadi inovator, bukan ekstensi birokrasi.
3. Tidak Terlibat dalam Advokasi Kebijakan Nyata
KADIN dan HIPMI belum memanfaatkan posisinya untuk mendorong perubahan regulasi daerah yang lebih berpihak pada iklim usaha lokal—misalnya revisi perizinan, retribusi pasar, atau insentif bagi investor sektor primer. Tidak terlihat inisiatif mereka menggelar policy brief, public hearing, atau menyuarakan suara pelaku usaha dalam pembentukan Perda yang pro UMKM.
4. Tidak Meningkatkan Kolaborasi Antarwilayah
KADIN dan HIPMI cenderung bergerak secara eksklusif di ibu kota provinsi (Ambon), sementara potensi usaha di pulau-pulau terluar nyaris tidak tersentuh. Padahal, di era digital ini, mereka dapat menciptakan platform e-commerce lintas pulau, koneksi logistik lokal, atau inkubasi bisnis di kawasan perbatasan ekonomi seperti Maluku Barat Daya atau Kepulauan Tanimbar.
Paradigma Baru yang Dibutuhkan
Untuk menjawab tantangan zaman, sinergi antara KADIN dan HIPMI di Maluku harus melampaui sekadar koordinasi musiman. Mereka membutuhkan reorientasi peran berbasis dampak nyata, dengan beberapa langkah strategis berikut:
1. Membangun Pusat Data Terbuka Dunia Usaha Maluku
KADIN dan HIPMI seharusnya berperan sebagai penyedia dan pengelola data:
- Pemetaan UMKM berdasarkan sektor dan kabupaten/kota.
- Rantai pasok potensial (perikanan, rempah, kelapa, dll.).
- Potensi investasi lokal yang siap dikembangkan.
Data ini bisa menjadi fondasi kolaborasi dengan kampus, LSM, koperasi, bahkan diaspora Maluku di luar negeri.
2. Inkubasi dan Akselerasi Usaha Lokal yang Terintegrasi
HIPMI perlu keluar dari hotel dan aula seminar. Mereka harus hadir di lapangan—membangun co-working hub, inkubator desa usaha, dan pelatihan manajemen digital berbasis lokalitas.
Sementara KADIN harus membuka kanal kemitraan langsung antara UMKM lokal dengan jaringan nasional: misalnya, kerja sama koperasi perikanan Aru dengan industri pengolahan seafood di Surabaya atau Makassar.
3. Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Program
Setiap program, pelatihan, atau MoU yang ditandatangani KADIN atau HIPMI perlu dilaporkan secara terbuka ke publik. Siapa yang dibina? Apa indikator keberhasilan? Dimana jejak dampaknya? Ini penting untuk membangun kepercayaan publik dan mendorong partisipasi lintas sektor.
Dari Pulau ke Pulau, Ekonomi Maluku Butuh Penggerak Sejati
Ekonomi Maluku tidak akan tumbuh jika hanya mengandalkan APBD dan proyek nasional. Butuh penggerak kolektif yang tahu medan, mengerti potensi lokal, dan mampu menjembatani dunia usaha dengan kebijakan dan teknologi. Di sinilah peran KADIN dan HIPMI semestinya menjadi roh pembangunan daerah.
Maluku adalah gugusan harapan. Dan harapan itu tidak bisa digerakkan oleh spanduk pelantikan, baliho pengurus, atau forum-forum basa-basi. Ia butuh kerja diam-diam yang berjejak.
Saatnya KADIN dan HIPMI Maluku beranjak dari panggung seremoni menuju panggung aksi. Bukan sekadar hadir di atas, tapi menyatu dengan denyut pengusaha-pengusaha kecil dari Ambon hingga Wetar, dari Tual hingga Banda.
Penutup
KADIN dan HIPMI harus berbenah. Mereka mesti keluar dari bayang-bayang seremoni dan mulai menanamkan legacy berbasis data, aksi nyata, dan dampak ekonomi. Kredibilitas mereka tidak diukur dari berapa banyak baliho yang terpasang, tetapi dari seberapa besar kontribusi mereka terhadap pertumbuhan pelaku usaha di tanah Maluku.
Jika tidak, organisasi ini akan terus berjalan seperti karavan elite yang menjauh dari denyut nadi pelaku usaha di lapangan.