Kesenjangan Digital Indonesia: Jurang yang Mengancam Persatuan Bangsa

Share:

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, seorang pemuda dengan mudah memesan makanan via aplikasi, belajar coding online, dan menjual karya seni digitalnya ke seluruh dunia. Sementara itu, di pedalaman Maluku-Papua, seorang siswa harus mendaki bukit hanya untuk mendapatkan sinyal satu bar demi mengikuti pelajaran sekolah. Ini bukan fiksi dystopian—ini realitas Indonesia tahun 2025, seperti yang terungkap dalam laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Pengguna internet nasional melonjak menjadi 229,4 juta jiwa dengan penetrasi 80,66%, tapi distribusinya miring: Jawa mendominasi dengan 58% kontribusi dan 84,69% penetrasi, sementara Maluku-Papua hanya 3,71% kontribusi dan 69,26% penetrasi. Kesenjangan ini bukan sekadar angka; ia adalah bom waktu sosial-ekonomi yang bisa meledak jika tidak ditangani.

Ekonomi yang Terbelah: Si Kaya Makin Kaya, Si Miskin Tertinggal

Di era ekonomi digital, akses internet adalah kunci gerbang kekayaan. Di Jawa, dengan infrastruktur prima, startup meledak—52% dari total nasional berbasis di Jabodetabek—menciptakan lapangan kerja baru di e-commerce dan gig economy. Bayangkan, UKM di sana bisa menjual produk ke mancanegara via Tokopedia atau Shopee, sementara di Papua, kecepatan internet hanya 200-300 Kbps membuat upload foto produk saja jadi mimpi buruk. Hasilnya? Masyarakat timur terjebak pada sektor tradisional seperti pertanian subsisten, dengan biaya akses mahal via VSAT yang melambung. Ini memperlebar jurang kemiskinan: migrasi tenaga kerja ke barat, peningkatan kecemburuan sosial, dan potensi konflik.

Opini saya tegas—ini eksploitasi terselubung. Wilayah kaya sumber daya alam seperti Maluku-Papua dieksploitasi tanpa balik modal digital, memperkaya pusat sementara penduduk lokal bergantung pada pola konsumtif pasif, seperti scrolling YouTube tanpa mencipta konten sendiri. Secara nasional, ini menghambat pertumbuhan PDB, karena potensi 55 juta penduduk offline—banyak di timur—tak termanfaatkan.

Pendidikan Digital: Mimpi yang Terputus Sinyal

Pendidikan seharusnya jadi penyamarataan peluang, tapi kesenjangan digital malah memperburuknya. Pasca-pandemi, pembelajaran daring jadi norma, tapi di Maluku-Papua, siswa kesulitan mengakses platform seperti Ruangguru karena koneksi lambat dan biaya tinggi untuk hotspot sekolah. Tingkat putus sekolah melonjak, literasi digital rendah, dan Human Development Index (HDI) wilayah timur tertinggal. Di Jawa, anak-anak belajar coding dan riset online dengan mudah, sementara di timur, generasi muda terperangkap dalam kemiskinan antargenerasi.

Kritik saya tajam terhadap Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo): inisiatif seperti “Tol Langit” dan Palapa Ring terdengar megah, tapi utilitasnya di timur hanya 30-60%, karena kurang sinergi dengan adat lokal dan evaluasi kebutuhan. Wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) punya penetrasi 80,55% tapi kontribusi hanya 1,91%—ironi yang menunjukkan kualitas akses lebih penting daripada kuantitas. Bagaimana Indonesia Emas 2045 bisa terwujud jika pendidikan digital masih jadi hak istimewa Jawa?

Sosial dan Budaya: Isolasi yang Menyulut Api Ketegangan

Kesenjangan ini tak hanya ekonomi—ia merusak jalinan sosial. Di Maluku-Papua, isolasi digital berarti keluarga terpisah sulit video call, komunitas adat kehilangan suara di media sosial, dan pemuda rentan polarisasi karena informasi terbatas. Selama pandemi, warga berkerumun di spot 4G demi sinyal, meningkatkan risiko COVID-19, sementara Jawa nikmati telemedisin mulus. Budaya pun terancam: nilai adat tergerus arus digital tidak setara, dengan pola konsumtif yang dipaksakan. Ini bentuk kekerasan struktural—pemerintah lebih sibuk citra daripada solusi nyata. Dampaknya? Ketegangan sosial-politik, di mana disparitas regional bisa memicu konflik, merobek persatuan bangsa.

Kesehatan dan Layanan Publik: Akses yang Menentukan Hidup-Mati

Akses internet krusial untuk kesehatan: telemedisin, info vaksin, dan aplikasi seperti Halodoc. Di timur, penetrasi rendah berarti risiko lebih tinggi—sulit konsultasi dokter online atau update protokol kesehatan. Layanan publik seperti e-KTP pun jadi mimpi, memaksa perjalanan jauh yang mahal. Ini bukan ketidaknyamanan; ini ancaman nyata terhadap kesejahteraan. Lebih dalam lagi, data tahun 2025 mengungkap realitas yang menyedihkan: sekitar 745 puskesmas (7,18% dari total) di seluruh Indonesia belum memiliki akses internet sama sekali, sementara 14,91% lainnya mengalami kesulitan koneksi ke sistem digital nasional seperti SATUSEHAT dan BPJS Kesehatan. Faktor geografis menjadi biang keladi utama, terutama di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) seperti Papua dan Maluku, di mana infrastruktur listrik tidak stabil, sinyal internet lemah, dan perangkat usang membuat inovasi digital seperti telemedicine hampir mustahil. Di daerah-daerah ini, tenaga kesehatan terpaksa mengelola data secara manual, yang tidak hanya memperlambat layanan tapi juga meningkatkan risiko kesalahan medis, seperti duplikasi obat atau diagnosis salah karena rekam medis pasien hilang atau tidak terintegrasi. Dampaknya fatal: disparitas kesehatan semakin lebar, dengan indikator seperti mortalitas maternal, cakupan imunisasi, dan prevalensi stunting lebih tinggi di timur dibandingkan Jawa, karena keterlambatan respons darurat dan pencegahan penyakit endemik seperti malaria atau tuberkulosis.

Pada aspek layanan publik, kesenjangan ini memperburuk birokrasi yang sudah rumit. Di wilayah dengan akses rendah, penduduk sulit mengurus administrasi online seperti pembaruan e-KTP, pendaftaran BPJS Kesehatan, atau pelaporan pajak digital, yang memaksa mereka melakukan perjalanan ratusan kilometer ke kota terdekat—biaya transportasi dan waktu yang hilang bisa mencapai jutaan rupiah per keluarga setiap tahun. Selama pandemi atau bencana alam, ketidakmampuan mengakses update protokol kesehatan real-time dari Kemenkes berpotensi menimbulkan klaster baru, seperti yang terjadi di Papua di mana warga harus berkerumun di titik sinyal tunggal untuk mendapatkan informasi vaksinasi.

Ini adalah kegagalan sistemik dari transformasi digital kesehatan yang diklaim inklusif oleh pemerintah. Wakil Menteri Kesehatan Prof. Dante Saksono Harbuwono memang menekankan perlunya konektivitas dan integrasi data agar tak ada yang tertinggal, tapi realitas di lapangan menunjukkan kebijakan top-down ini masih gagal menjangkau 3T, di mana literasi digital tenaga kesehatan rendah dan anggaran daerah (APBD) lebih prioritas infrastruktur fisik daripada TIK. Inisiatif seperti Desa Digital Health—yang mengintegrasikan telemedicine, rekam medis elektronik, dan monitoring IoT untuk desa pelosok—terdengar menjanjikan, tapi implementasinya terhambat oleh biaya tinggi, resistensi budaya, dan keamanan data yang lemah, sehingga baru mencakup pilot terbatas. Tanpa desentralisasi radikal, seperti subsidi satelit Starlink untuk puskesmas di timur dan pelatihan intensif bagi kader kesehatan adat, kesenjangan ini akan terus menjadi “pembunuh diam” yang memperlemah ketahanan kesehatan nasional, terutama di era di mana AI diprediksi bisa mengurangi disparitas tapi justru memperburuknya jika akses dasar saja belum merata. Akhirnya, ini bukan hanya soal teknologi, tapi hak hidup yang setara—pemerintah harus bertindak sekarang, atau risiko kesehatan masyarakat timur akan jadi beban moral bagi seluruh bangsa.

Jalan Keluar: Desentralisasi Radikal untuk Masa Depan Inklusif

Kesenjangan ini mengancam stabilitas nasional, memperburuk disparitas yang bisa jadi bom waktu. Opini saya: cukup dengan pendekatan paternalistik! Pemerintah harus desentralisasi radikal—alokasikan anggaran besar untuk infrastruktur timur, libatkan komunitas adat, prioritaskan literasi digital untuk guru dan siswa. Tingkatkan listrik stabil, subsidi perangkat murah, dan evaluasi proyek seperti Palapa Ring dengan metrik grassroots. Jika tidak, digital divide akan jadi jurang yang tak terjembatani, menghancurkan mimpi bangsa bersatu.

Indonesia punya potensi luar biasa—dari Sabang sampai Merauke. Saatnya bertindak tegas, sebelum kesenjangan ini jadi warisan memalukan bagi generasi mendatang. Mari kita bangun jembatan digital yang setara, untuk semua!

error: Content is protected !!