Kunjungan Wapres Gibran ke Maluku: Selfie, Seremoni, dan Keuntungan Politik yang Menggiurkan

Share:

Pada 14-15 Oktober 2025, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Apa yang seharusnya menjadi momen penting untuk memantau pembangunan di wilayah timur Indonesia ini, justru terlihat seperti tur wisata politik yang penuh dengan foto-foto selfie, sambutan adat, dan agenda seremonial yang minim substansi. Di tengah euforia warga yang berebut salaman dan foto bersama, pertanyaan mendasar muncul: apa sebenarnya keuntungan yang didapat dari kunjungan ini? Apakah ini benar-benar untuk rakyat, atau sekadar alat untuk memperkuat citra politik seorang wapres yang masih dianggap “pemula” oleh banyak kalangan?

Kunjungan dimulai di Ambon pada 14 Oktober, di mana Gibran meninjau Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Way Apu di Kabupaten Buru. Proyek ini, yang dibangun dengan anggaran APBN oleh PT PP (Persero) Tbk, memang penting untuk irigasi, pasokan air, dan pencegahan banjir. Gibran menerima paparan teknis, didampingi Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa, dan menekankan penyelesaian tepat waktu. Kedengarannya mulia, bukan? Tapi tunggu dulu—ini bukan kunjungan pertama seorang pejabat tinggi ke proyek semacam ini. Bendungan Way Apu sudah menjadi “bintang” dalam agenda kunjungan sejak era pemerintahan sebelumnya. Apa yang baru? Tidak ada komitmen anggaran tambahan yang diumumkan, tidak ada solusi konkret untuk keluhan petani lokal tentang keterlambatan proyek. Hanya foto-foto resmi dan ucapan standar tentang “manfaat bagi masyarakat.”

Lanjut ke Pasar Mardika di Ambon, Gibran “blusukan” untuk memantau aktivitas ekonomi. Ia berdialog dengan pedagang, meninjau Pusat Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) di Waai, dan bahkan mengunjungi Sekolah Garuda Maluku di Waiheru. Di sekolah itu, ia berinteraksi dengan siswa, berfoto bersama, dan meninjau fasilitas. Antusiasme warga memang terlihat—mereka berebut selfie, salaman, dan bahkan ada yang meminta foto keluarga. Tapi di balik kegembiraan itu, ada nada sinis dari kalangan kritis: apakah ini kunjungan kerja atau kampanye terselubung? Di Pasar Mardika, misalnya, persiapan dilakukan secara intensif, termasuk pembersihan dan perbaikan jalan, hanya untuk satu hari kunjungan. Setelah wapres pergi, apakah pasar itu akan tetap “bersih dan aman” seperti yang dianjurkan Gibran di Pasar Langgur, Maluku Tenggara? Atau kembali ke masalah klasik seperti banjir, sampah, dan harga bahan pokok yang melambung?

Hari kedua, 15 Oktober, agenda berlanjut ke Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Di RSUD Hi. Noho Renuat Maren, Gibran meninjau fasilitas kesehatan yang dibangun dengan dana APBN. Ia membawa paket bantuan bayi seperti minyak telon, sarung, dan baju—gestur yang manis, tapi terasa seperti charity show. Kemudian ke Pasar Langgur, di mana ia mengajak pedagang mempertahankan predikat pasar aman dan bersih. Penyambutan adat Kei Rinin di Maluku Tenggara menambah nuansa budaya, simbol restu leluhur. Dari sana, rombongan terbang ke Pulau Morotai di Maluku Utara, meninjau RSUD Soekarno, Dermaga Wapres, fasilitas pelabuhan perikanan, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Pasar Gamalama di Ternate, dan proyek irigasi serta sekolah di Halmahera Timur dan Barat. Agenda padat, tapi lagi-lagi, minim detail tentang intervensi nyata. Tidak ada pengumuman dana tambahan untuk pemangkasan dana transfer daerah yang sering dikeluhkan, atau solusi untuk infrastruktur harian yang rusak.

Yang lebih tajam adalah sikap Gibran terhadap media. Di RSUD Maren, ia menolak wawancara singkat dengan wartawan yang sudah menunggu sejak pagi. “Nanti dengan Gubernur yah,” katanya sambil buru-buru pergi, dibantu Paspampres yang beralasan jadwal ketat. Gubernur pun ikut menghindari tanya-jawab mendalam. Alih-alih menjawab pertanyaan substantif tentang isu daerah, Gibran lebih memilih meladeni selfie dengan warga dan pegawai rumah sakit. Di Morotai, ia sempat menyapa wartawan dan jawab singkat, tapi secara keseluruhan, kunjungan ini terasa anti-kritik. Mengapa menghindari media? Apakah karena takut ditanya soal program nyata, atau sekadar strategi untuk menjaga narasi positif? Ini bukan kunjungan transparan; ini seperti reality show di mana hanya sisi glamor yang ditampilkan.

Reaksi masyarakat pun beragam, tapi ada nada kritis yang tak bisa diabaikan. Di Halmahera Barat, Maluku Utara, warga secara terbuka menolak kedatangan Gibran. Ini menunjukkan bahwa tidak semua orang terpesona oleh kunjungan seremonial. Dari postingan di media sosial, terlihat antusiasme dari aparat seperti polisi yang memuji sinergi dan pengamanan (dengan ribuan personel TNI-Polri dikerahkan), tapi di sisi lain, ada suara-suara yang melihat kunjungan ini sebagai “maraton tanpa hasil.” DPRD Maluku, misalnya, berharap bukan hanya simbolis, tapi berdampak nyata. Kunjungan ini memang disambut hangat di banyak tempat, tapi penolakan di Halmahera Barat adalah pengingat bahwa citra “dekat rakyat” tak selalu diterima begitu saja.

Lalu, apa keuntungan yang didapat dari kunjungan ini? Mari kita bedah secara kritis.

Pertama, keuntungan politik bagi Gibran dan pemerintahan. Ini adalah jackpot terbesar. Sebagai wapres termuda, Gibran butuh membangun citra sebagai pemimpin yang aktif dan peduli daerah pinggiran. Foto selfie dengan warga, sambutan adat, dan blusukan ke pasar menjadi amunisi media sosial yang powerful. Di era digital, ini lebih efektif daripada konferensi pers. Kunjungan ini memperkuat narasi “pemerintahan Prabowo-Gibran pro-rakyat,” terutama di wilayah timur yang sering merasa terpinggirkan. Bagi partai koalisi, ini adalah modal untuk Pemilu mendatang—membuktikan bahwa pusat masih “mengawasi” daerah. Pengamanan masif oleh TNI-Polri juga menunjukkan kontrol pemerintah atas stabilitas, yang bisa dijadikan propaganda keamanan.

Kedua, keuntungan ekonomi sementara bagi daerah. Persiapan kunjungan memaksa pembersihan pasar dan perbaikan jalan, yang setidaknya memberikan “facelift” sementara. Bantuan bayi di RSUD dan dialog dengan pedagang mungkin memberikan dorongan moral, tapi ini bukan solusi struktural. Proyek seperti Bendungan Way Apu dan KEK Morotai memang dipantau, tapi tanpa komitmen baru, ini hanya pengingat bahwa pembangunan bergantung pada pusat. Bagi pedagang, kunjungan wapres bisa jadi “booming” sementara—penjualan naik karena keramaian—tapi setelahnya? Kembali ke rutinitas dengan harga bahan pokok yang tak terkendali.

Ketiga, keuntungan bagi masyarakat? Minimalis dan sementara. Warga mendapat kesempatan bertemu wapres, berfoto, dan merasa “diperhatikan.” Di sekolah, siswa mungkin terinspirasi. Tapi apakah ini mengubah nasib? Maluku dan Maluku Utara masih bergulat dengan kemiskinan, akses pendidikan rendah, dan infrastruktur rusak. Kunjungan tanpa program baru—seperti dana khusus untuk banjir atau pendidikan—terasa hampa. Bahkan, penolakan di Halmahera Barat menunjukkan ketidakpuasan atas “kunjungan maraton” yang tak menyentuh akar masalah.

Keempat, keuntungan bagi media dan opini publik. Kunjungan ini memicu diskusi, termasuk kritik seperti ini. Media resmi memuji, tapi media sosial menunjukkan sisi lain: dari apresiasi polisi hingga penolakan warga. Ini membuka mata bahwa kunjungan pejabat sering kali lebih untuk PR daripada perubahan.

Secara keseluruhan, kunjungan Gibran ke Maluku ini tajam dalam arti ironis: tajam dalam membelah opini antara yang pro dan kontra. Keuntungannya lebih condong ke politik dan citra, sementara bagi rakyat, ini seperti obat penghilang nyeri sementara—sakitnya tetap ada. Jika pemerintahan ingin serius, kunjungan berikutnya harus bawa program konkret, bukan hanya selfie dan seremoni. Kalau tidak, ini hanya akan jadi bahan guyonan: “Wapres datang, foto-foto, lalu pulang—rakyat tetap menunggu perubahan.” Sudah saatnya kita tuntut lebih dari sekadar kunjungan; tuntut aksi nyata.

error: Content is protected !!