Di bawah langit cerah Maluku, di mana aroma ikan asar dan papeda menggoda indera, masyarakat berkumpul di atas hamparan daun pisang yang panjang. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan menikmati hidangan bersama dalam tradisi yang dikenal sebagai Makan Patita. Lebih dari sekadar acara makan besar, Makan Patita adalah perayaan kebersamaan, simbol kekeluargaan, dan cerminan jiwa Maluku yang hangat. Dari desa-desa kecil seperti Negeri Oma di Pulau Haruku hingga jalan-jalan kota Ambon, tradisi ini mengajarkan dunia bahwa makanan bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang ikatan hati.
Akar dan Asal-Usul Makan Patita
Makan Patita adalah tradisi kuliner masyarakat Maluku yang telah diwariskan selama berabad-abad. Kata “Patita” sendiri merujuk pada makan besar bersama dalam jumlah banyak, sering kali diadakan untuk merayakan peristiwa penting seperti Hari Ulang Tahun (HUT) kota, pelantikan raja, Panas Pela, Panas Gandong, pembangunan Baileo (rumah adat), atau perayaan keagamaan seperti Natal dan Idulfitri. Tradisi ini mencerminkan nilai kekeluargaan yang kuat di Maluku, di mana masyarakat dari berbagai suku, agama, dan latar belakang bersatu dalam semangat gotong royong.
Di Negeri Oma, Pulau Haruku, Makan Patita memiliki nuansa khusus yang membedakannya dari pelaksanaan di tempat lain. Di sini, tradisi ini disebut Makan Patita Soa, dijalankan oleh masing-masing kelompok keturunan atau “Soa” (marga) seperti Soa Latuei, Pari, Raja, dan Tuni. Setiap Soa memiliki hak untuk menentukan waktu pelaksanaan, sering kali melalui proses berbalas pantun di meja adat, menambah kesan sakral dan unik pada tradisi ini.
Pelaksanaan Makan Patita: Ritual dan Kebersamaan
Pelaksanaan Makan Patita adalah perwujudan semangat kolektif masyarakat Maluku. Setiap keluarga bertanggung jawab menyiapkan makanan tradisional menggunakan biaya pribadi, seperti kasbi (singkong), pisang rebus, sagu, kohu-kohu (urap Maluku), ikan bakar, ikan kuah kuning, papeda, dan sambal colo-colo. Makanan-makanan ini dihidangkan di atas daun kelapa atau pisang yang disusun panjang, kadang-kadang di atas meja kayu, menciptakan pemandangan yang menggugah selera. Acara dimulai dengan ritual adat dan doa, mengundang kehadiran leluhur dan restu Tuhan, sebelum semua orang—tanpa memandang status sosial—dipersilakan menikmati hidangan secara gratis.
Di Negeri Oma, Makan Patita Soa memiliki prosesi yang lebih terstruktur dengan tiga tahap:
- Tahap Persiapan: Waktu ditentukan melalui musyawarah, diikuti dengan penyiapan makanan dan meja panjang berwarna putih. Doa perjuangan dipimpin oleh Bapa Lima-Lima (tokoh adat) di Baileo Kotayasa.
- Tahap Pelaksanaan: Acara diawali dengan tarian Cakelele, diikuti prosesi mengantar anak-anak ke meja Patita. Paman (Mara/Marei) memberi makan keponakan, dan sebaliknya, keponakan memberi makan paman (ana kas makang om), melambangkan hubungan timbal balik.
- Tahap Penutup: Sisa makanan dibawa pulang untuk dimakan bersama anak-anak di rumah, diakhiri dengan doa syukur untuk Soa dan Maradansa, memperkuat ikatan spiritual.
Di kota Ambon, Makan Patita sering digelar di tempat terbuka seperti Jalan A.Y. Patty, bahkan mencatatkan rekor MURI pada 2015 dengan meja sepanjang 2.470 meter untuk HUT Kota Ambon ke-440. Ribuan warga tumpah ruah, menikmati hidangan sambil bernyanyi dan menari, menciptakan suasana penuh suka cita.
Nilai Filosofis dan Makna Budaya
Makan Patita bukan sekadar pesta kuliner; ia adalah cerminan nilai-nilai filosofis yang mendalam:
- Kekeluargaan dan Persaudaraan: Tradisi ini memperkuat ikatan antarwarga, antarmarga, dan bahkan antaragama. Di Desa Hunuth, misalnya, Makan Patita HUT Kota Ambon ke-449 pada 2024 menyatukan warga dari berbagai suku dan agama, menunjukkan bahwa kebersamaan melampaui perbedaan.
- Saling Menghormati dan Menghargai: Di Negeri Oma, praktik paman memberi makan keponakan mencerminkan penghormatan kepada generasi tua dan harapan agar generasi muda tumbuh menjadi pribadi yang baik.
- Gotong Royong: Setiap keluarga berkontribusi tanpa mengharapkan imbalan, menunjukkan semangat berbagi yang menjadi inti budaya Maluku.
- Hubungan Spiritual: Makan Patita menghubungkan masyarakat dengan Tuhan, leluhur, dan alam melalui doa dan ritual, memperkuat rasa syukur dan kesadaran akan warisan budaya.
- Keadilan Sosial: Semua orang, dari anak-anak hingga lansia, dari warga biasa hingga pejabat, duduk bersama tanpa hierarki, menikmati hidangan yang sama, mencerminkan kesetaraan.
Makna ini terutama terlihat di Negeri Oma, di mana Makan Patita Soa bukan hanya acara sosial, tetapi juga upacara adat yang memperkuat identitas Soa dan harapan untuk generasi masa depan. Tradisi ini juga menjadi perekat silaturahmi, bahkan di perantauan, seperti yang dilakukan komunitas Maluku di Kupang pada HUT Pattimura ke-205 pada 2022.
Relevansi Makan Patita di Era Modern
Di tengah modernisasi, Makan Patita tetap lestari sebagai simbol identitas Maluku. Acara ini tidak hanya melestarikan kuliner tradisional seperti papeda dan kohu-kohu, tetapi juga memperkenalkan warisan budaya kepada generasi muda. Festival seperti HUT Kota Ambon ke-448 pada 2023, yang menghidangkan makanan sepanjang 200 meter, menarik perhatian nasional dan memperkuat pariwisata budaya.
Makan Patita juga berperan sebagai alat diplomasi budaya, mempromosikan kerukunan antaragama dan antarsuku. Di Sektor Elim, Ambon, acara Makan Patita pada 2023 menghadirkan komunitas Kristen dan Islam, menjadi teladan kebersamaan yang diharapkan dapat diikuti seluruh wilayah. Di luar Maluku, komunitas diaspora seperti di Belanda (Patab, 2023) terus menghidupkan tradisi ini, menunjukkan bahwa nilai-nilai Makan Patita bersifat universal.
Namun, meskipun semangat untuk menjaga dan melestarikan tradisi ini tetap ada, tantangan besar tetap menghadang. Beberapa warga masyarakat merasa khawatir bahwa tradisi ini mulai mengalami pelupaan dan perlahan-lahan ditinggalkan oleh generasi muda maupun masyarakat secara umum. Mereka khawatir bahwa jika upaya pelestarian tidak dilakukan secara serius dan konsisten, maka tradisi ini berisiko hilang dari warisan budaya mereka. Oleh karena itu, upaya untuk melestarikan tradisi ini harus dilakukan melalui berbagai cara, seperti memperkenalkan dan mendidik masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya tradisi ini agar tetap hidup.
Selain itu, pelaksanaan festival budaya yang rutin diadakan menjadi salah satu langkah penting dan strategis dalam menjaga keberlangsungan tradisi ini agar tetap dikenal dan dihormati. Dengan demikian, melalui pendidikan yang berkesinambungan dan pelaksanaan festival budaya yang menarik dan penuh makna, diharapkan tradisi Makan Patita dapat terus bertahan dan tidak hilang dari ingatan masyarakat.
Makan Patita: Warisan untuk Dunia
Makan Patita adalah lebih dari sekadar tradisi kuliner; ia adalah perayaan hidup, persaudaraan, dan kebersamaan. Dari meja panjang di Negeri Oma hingga jalanan kota Ambon, tradisi ini mengajarkan bahwa makanan memiliki kekuatan untuk menyatukan hati. Di dunia yang sering terpecah oleh perbedaan, Makan Patita menawarkan pelajaran sederhana namun mendalam: duduk bersama, berbagi hidangan, dan tersenyum adalah cara terbaik untuk membangun harmoni.
Mari kita ambil inspirasi dari Makan Patita, mengundang tetangga, teman, dan keluarga untuk berbagi makanan dan cerita. Seperti yang dikatakan oleh seorang warga Ambon, “Makan Patita bukan hanya soal makan; ini soal hati yang terhubung.” Jadilah bagian dari pesta rasa ini, dan biarkan semangat Maluku mengalir dalam setiap suapan