Malam itu dingin. Angin bertiup lembut, tetapi menusuk hingga ke tulang. Maria berdiri di bawah kaki salib. Matanya kosong, namun dalam kekosongan itu, ada samudera kepedihan yang tak terkatakan. Darah mengalir dari tubuh anaknya, dari dagingnya sendiri. Setiap tetesnya menoreh luka dalam hatinya. Setiap nafas yang tersisa dari mulut anaknya terdengar seperti ratapan di telinganya. Di hadapan semua orang, ia melihat anaknya tergantung di sana—Yesus, buah hatinya, yang pernah ia dekap dalam kehangatan kasih seorang ibu.
“Allahku…,” bibir Maria bergetar. “Apa arti semua ini?”
Ia menatap ke langit yang kelam, tetapi jawaban tak kunjung datang. Maria kembali melihat ke wajah Yesus, wajah yang dulu ia ciumi dengan penuh kasih saat masih bayi. Wajah yang ia ajari tersenyum. Mata yang dahulu bersinar penuh cahaya kehidupan kini tampak sayu, dilingkupi penderitaan yang tak terkatakan.
Maria jatuh berlutut. “Aku telah memberikan seluruh hidupku pada-Mu,” bisiknya. “Aku menerima kehendak-Mu saat Malaikat datang. Aku merelakan segala impian masa mudaku. Aku menyerahkan diri untuk rencana-Mu. Tetapi mengapa… mengapa akhirnya harus begini?”
Maria teringat saat pertama kali Malaikat datang kepadanya. Suara itu begitu lembut, tetapi membawa kabar yang mengguncang seluruh hidupnya. “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” Maria ingat bagaimana tubuhnya gemetar saat mendengar kata-kata itu. Lalu Malaikat berkata sesuatu yang lebih mengejutkan lagi, “Engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan engkau akan menamai Dia, Yesus.”
“Tetapi… bagaimana mungkin? Aku belum bersuami,” Maria ingat bagaimana ia bertanya dengan kebingungan dan ketakutan.
Malaikat menjawab dengan penuh keyakinan, “Roh Kudus akan turun atasmu, dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau.”
Dan di saat itu, dengan segala ketidaktahuannya, dengan segala ketakutan yang ada, Maria menyerahkan dirinya. “Jadilah padaku menurut perkataanmu.”
Tetapi menerima kehendak Allah bukan berarti jalannya menjadi mudah. Maria harus menghadapi Yusuf, tunangannya. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa dirinya mengandung tanpa pernah bersentuhan dengan seorang laki-laki? Bagaimana ia meyakinkan Yusuf bahwa ini adalah kehendak Allah?
Maria ingat malam-malam panjang yang ia lalui dengan air mata, bertanya apakah Yusuf akan mempercayainya, ataukah ia akan ditinggalkan? Bagaimana ia menahan napas ketika Yusuf melihatnya dengan tatapan penuh kebingungan dan luka? Bagaimana ia harus menjelaskan kepada orangtuanya, kepada keluarga dan masyarakatnya, bahwa ia mengandung bukan karena dosa, tetapi karena rencana Allah?
Tetapi Allah tidak meninggalkannya. Ia mengutus Malaikat kepada Yusuf dalam mimpi, dan Yusuf, dalam kasihnya, memilih untuk tetap berada di sisi Maria. Namun, jalan tetap sulit. Tatapan mencemooh dari orang-orang, bisik-bisik di belakangnya, beban yang harus ia tanggung sebagai seorang wanita yang tak dimengerti dunia.
Dan sekarang, setelah semua pengorbanan itu, setelah semua keyakinannya pada kehendak Allah, ia berdiri di bawah kaki salib, melihat anak yang dikandungnya dalam kehinaan, yang dibesarkannya dengan kasih, kini meregang nyawa dalam penderitaan.

Dari kejauhan, terdengar ejekan dan tawa. Mereka bersorak, menghina Yesus. “Lihat! Dia menyebut diri-Nya Raja! Tetapi di mana kekuatan-Nya sekarang?” Mereka tertawa, sementara Maria merasakan setiap kata itu menghujam ke jantungnya.
“Tidakkah cukup, ya Allah?” Maria menangis. “Tidakkah cukup air mataku selama ini? Aku telah kehilangan segalanya. Suamiku Yusuf telah lama pergi. Kini, Engkau mengambil anakku. Putraku, yang tak bersalah, yang hanya mencintai dan mengasihi.”
Maria teringat ketika ia pertama kali menggendong Yesus. Ia masih begitu muda, tubuhnya lelah setelah perjalanan panjang ke Betlehem. Tetapi begitu ia melihat wajah bayi kecil itu, segala beban lenyap. Ia ingat bagaimana Yesus kecil berlari ke arahnya saat belajar berjalan, bagaimana Ia mengucapkan kata-kata pertamanya, bagaimana tangan kecil-Nya dulu menggenggam jemarinya. Dan sekarang, tangan itu terpaku, terkoyak oleh kejamnya dunia.
“Apakah ini harga dari kasih?” Maria bertanya dalam tangis. “Apakah ini yang harus dialami setiap ibu? Mencintai, lalu kehilangan?”
Angin bertiup lebih kencang. Langit semakin gelap. Maria menyaksikan tubuh Yesus yang semakin lemah. Ia melihatnya berusaha mengangkat kepalanya, dan dalam suara yang hampir tak terdengar, Yesus berbisik, “Ibu…”
Seketika, air mata Maria membanjir. Ia ingin berlari, ingin memeluk anaknya, ingin meraih-Nya, membawa-Nya pulang, membiarkan-Nya beristirahat dalam dekapannya seperti dulu. Tetapi ia hanya bisa berdiri di sana, menyaksikan semuanya, menanggung pedih yang tak terkatakan.
Kemudian, dalam derita yang luar biasa, Yesus mengangkat wajah-Nya ke langit dan berkata, “Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.”
Dan saat itu, dunia terasa berhenti.
Maria tidak menjerit. Ia tidak bisa. Ia hanya berdiri di sana, jiwanya kosong, tubuhnya menggigil, hatinya remuk. Anak itu, yang pernah ia bawa di dalam rahimnya, kini diam, tak bernyawa.
Hening.
Dan dalam kehampaan itu, dalam kepedihan yang paling dalam, suara kecil bergema di hatinya.
“Maria, engkau tidak sendirian.”
Maria menutup matanya. Air matanya terus mengalir. Ia tidak mengerti semua ini, tetapi ia tahu bahwa Allah tidak meninggalkannya. Di tengah penderitaan yang nyaris tak tertahankan, ada tangan yang tak terlihat menopangnya. Ada janji yang masih hidup. Ada kasih yang lebih besar dari penderitaan.
Maria menarik nafas panjang. Ia membuka matanya, menatap anaknya untuk terakhir kalinya, lalu berbisik, “Jadilah menurut kehendak-Mu.”
Dan dalam hatinya, ia tahu bahwa penderitaan ini bukanlah akhir. Bahwa meski malam begitu gelap, fajar akan tiba.
Untuk semua ibu yang kehilangan, untuk semua wanita yang terluka, Maria mengerti. Ia telah merasakan segalanya. Tetapi di dalam derita, ada kasih yang tetap hidup. Dan kasih itu lebih kuat dari kematian.