Mengapa Harga Ikan di Maluku Tetap Mahal Meski Melimpah?

Belanja ikan di Pasar Mardika
Share:

Maluku, yang dijuluki “Negeri Seribu Pulau,” terkenal dengan kekayaan lautnya yang melimpah. Ikan menjadi salah satu komoditas utama di wilayah ini, dengan potensi perikanan yang sangat besar. Namun, meski stok ikan berlimpah, harga ikan di Maluku tetap tergolong mahal bagi masyarakat lokal. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mari kita telusuri lebih dalam.

Kekayaan Laut yang Melimpah, tapi Harga Tetap Tinggi

Maluku, dengan perairannya yang kaya akan beragam jenis ikan seperti tuna, cakalang, dan ikan karang, seharusnya menjadi surga bagi para pencinta seafood. Namun, meskipun hasil tangkapan ikan di wilayah ini melimpah, harga ikan di pasar lokal justru seringkali membuat masyarakat merasa terbebani. Logika umumnya berbicara bahwa dengan pasokan yang berlimpah, harga seharusnya bisa lebih murah; namun, kenyataan di Maluku tidak demikian. Ada beberapa faktor yang menyebabkan harga ikan tetap tinggi.

Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah infrastruktur yang masih tertinggal. Di banyak daerah di Maluku, akses terhadap listrik, jalan yang baik, dan fasilitas penyimpanan dingin (cold storage) masih menjadi tantangan. Keadaan ini mengakibatkan nelayan kesulitan untuk menyimpan hasil tangkapan mereka, yang akhirnya memaksa mereka menjual ikan dengan harga murah kepada tengkulak agar ikan tidak busuk. Tengkulak kemudian menjual ikan tersebut ke pasar dengan harga yang jauh lebih tinggi.

Selain itu, biaya transportasi yang tinggi juga menjadi sorotan. Maluku terdiri dari banyak pulau, dan distribusi ikan ke konsumen memerlukan transportasi laut yang tidak murah. Biaya bahan bakar dan perawatan kapal turut membebani harga ikan ketika sampai ke konsumen. Jarak yang jauh antara pulau-pulau semakin memperparah masalah ini, di mana ikan yang ditangkap di pulau-pulau terpencil harus menempuh perjalanan panjang sebelum tiba di pasar utama seperti Ambon atau Tual.

Ketergantungan nelayan pada tengkulak juga menjadi persoalan yang signifikan. Banyak nelayan di Maluku merasa terpaksa menjual ikan mereka kepada tengkulak dengan harga yang rendah, sementara tengkulak menyalurkan hasil tangkapan tersebut ke pasar dengan margin keuntungan yang besar. Hal ini membuat harga ikan di tingkat konsumen menjadi lebih mahal, dengan nelayan yang kesulitan mendapatkan harga yang adil untuk hasil tangkapan mereka.

Musim dan cuaca yang tak menentu juga memengaruhi hasil tangkapan ikan. Pada musim tertentu, seperti musim barat, nelayan sering kali kesulitan melaut karena ombak yang besar. Pasokan ikan pun berkurang saat permintaan tetap tinggi, sehingga harga ikan meningkat. Cuaca buruk juga menyebabkan nelayan harus menanggung biaya operasional lebih tinggi, yang pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen.

Terakhir, kurangnya industri pengolahan ikan di Maluku juga berkontribusi terhadap masalah harga. Mayoritas ikan dijual dalam bentuk segar, yang memiliki daya tahan lebih pendek. Apabila Maluku memiliki lebih banyak industri pengolahan, seperti pembuatan ikan asin atau ikan kaleng, nilai tambah dari ikan bisa diperoleh serta harga bisa lebih stabil. Namun sayangnya, industri pengolahan ikan di pulau ini masih sangat terbatas.

Ditambah lagi, permintaan ikan dari Maluku yang tinggi dari pasar luar daerah, seperti Jawa dan Sulawesi, sering kali membuat pasokan di Maluku sendiri menipis. Ikan-ikan berkualitas tinggi cenderung diekspor atau dikirim keluar, sementara masyarakat lokal harus membayar lebih untuk ikan yang tersisa. Semua faktor ini menjelaskan mengapa, meskipun keberlimpahan ikan di laut Maluku, harga tetap tinggi dan menjadi beban bagi masyarakat.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk mengatasi masalah dalam sektor perikanan, intervensi dari pemerintah dan pihak terkait sangat diperlukan. Langkah pertama yang harus diambil adalah membangun infrastruktur yang lebih baik. Pemerintah perlu meningkatkan pembangunan fasilitas seperti cold storage dan jalan yang memadai untuk memudahkan distribusi ikan. Dengan adanya fasilitas pendingin, nelayan dapat menyimpan ikan mereka lebih lama, sehingga mereka tidak terpaksa menjualnya dengan harga rendah saat panen melimpah.

Selain itu, pemberdayaan nelayan juga menjadi langkah yang krusial. Dengan memberikan pelatihan dan modal kepada para nelayan, mereka dapat mengurangi ketergantungan pada tengkulak, serta mendapatkan akses langsung ke pasar. Hal ini tidak hanya meningkatkan pendapatan mereka, tetapi juga memastikan bahwa mereka mendapatkan harga yang lebih adil untuk hasil tangkapan.

Selanjutnya, pengembangan industri pengolahan ikan perlu didorong. Dengan menciptakan produk olahan seperti ikan asin, ikan kaleng, atau produk lainnya, nilai tambah dapat ditingkatkan sekaligus memperpanjang daya simpan produk ikan. Inisiatif ini dapat membantu menstabilkan harga ikan di pasaran.

Terakhir, mendorong kerja sama antar berbagai pihak—pemerintah, swasta, dan masyarakat—adalah langkah yang tak kalah penting. Kolaborasi yang baik akan menciptakan sistem distribusi yang lebih efisien, sehingga harga ikan dapat menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat lokal. Semua langkah ini apabila dijalankan secara bersinergi, diharapkan dapat membawa solusi yang signifikan bagi permasalahan yang ada di sektor perikanan.

Kesimpulan

Meskipun Maluku memiliki kekayaan ikan yang melimpah, harga ikan tetap mahal karena beberapa faktor, seperti infrastruktur yang terbatas, biaya transportasi tinggi, ketergantungan pada tengkulak, dan kurangnya industri pengolahan ikan. Dengan langkah-langkah yang tepat, seperti pembangunan infrastruktur, pemberdayaan nelayan, dan pengembangan industri pengolahan, harga ikan di Maluku bisa lebih stabil dan terjangkau. Dengan begitu, masyarakat Maluku bisa menikmati kekayaan laut mereka sendiri tanpa harus mengeluarkan biaya yang mahal.



Keluhan Ibu-Ibu di Pasar Ikan Ambon

Di tengah keriuhan Pasar Mardika, pasar ikan terbesar di Kota Ambon, beberapa ibu-ibu terlihat sedang memilih ikan untuk dibawa pulang. Suasana pasar yang ramai tidak menyurutkan keluhan mereka tentang harga ikan yang terus melambung. Berikut adalah cuplikan dialog antara ibu-ibu dan penjual ikan yang mencerminkan keresahan mereka.

Ibu Shanty: (sambil memegang ikan tuna) "Nona, ini ikan tuna harga berapa?"
Penjual: "Itu 80 ribu per ekor, Mama."
Ibu Shanty: (terkejut) "Hah, mahal e? Kemarin beta beli di Makassar cuma 50 ribu. Padahal kan ini Maluku, ikan disini melimpah, kenapa dia pung harga lebih mahal?"
Penjual: (menghela napas) "Mama. Beta lai bingung. Tapi ini harga dari nelayan juga su tinggi. Belum lagi biaya transportasi sampai ke sini. Kalau seng jual bagini, beta juga rugi."
Penjual 2: (tertawa sinis) "Mama...ini Ambon...orang bilang seng ada lawan, hahaha eee...."

Ibu Fat: (bergabung dalam percakapan) "Iya, beta nih heran lai. Dulu harga ikan di sini masih murah, sekarang mahal lawang e. Padahal katong tinggal di daerah yang lautnya kaya ikan. Kenapa justru harus impor ikan dari luar Maluku?"
Penjual: "Itu karena ikan-ikan bagus banyak yang dikirim ke luar, Mama. Ke Jawa, Makassar, bahkan diekspor. Yang di sini kadang sisa-sisa, tapi harganya tetap tinggi karena biaya operasional nelayan dan transportasi naik terus."

Ibu Shanty: (mengeluh) "Jadi katong yang tinggal di sini malah susah makan ikan. Padahal ini sumber protein utama paar ana-ana. Beta pung cucu-cucu samua suka makan ikan, tapi sekarang beta harus pikir dua kali par beli ikan, ganti deng tempe deng tahu sa...."
Ibu Fat: "Betul, Usi Shanty. Beta malah kadang beli ayam atau daging karena lebih murah. Padahal kan ironis, katong tinggal di daerah laut tapi makan ikan jadi barang mewah."

Penjual: (mencoba menjelaskan) "Mama-mama e..., memang ini masalah su lama. Nelayan juga susah, mama. Bahan bakar mahal, alat tangkap mahal, belum lagi kalau cuaca buruk, dorang seng bisa melaut. Jadi ketika pasokan sedikit, harga otomatis naik."

Ibu Shanty: "Tapi kenapa pemerintah seng turun tangan e...? Harusnya ada kebijakan yang membuat harga ikan di sini lebih terjangkau. Katong kan punya potensi besar, tapi masyarakat sendiri seng rasa akang."
Ibu Fat: "Iya, setuju. Mungkin perlu ada pasar khusus untuk nelayan langsung, tanpa melalui tengkulak. Jadi harganya bisa lebih murah."

Penjual: (mengangguk) "Mama-mama batul. Tapi selama ini belum ada solusi konkret. Kita penjual juga hanya ikut arus. Kalau harga dari nelayan tinggi, ya kita terpaksa jual tinggi juga."

Ibu Shanty: (menghela napas) "Ya sudah, terpaksa beli sedikit saja hari ini. Semoga suatu hari nanti harga ikan di sini bisa lebih terjangkau. Kasihan keluarga-keluarga yang penghasilannya pas-pasan, jadi susah makan ikan."
Ibu Fat: "Amin. Semoga pemerintah cepat bertindak. Katong butuh solusi, bukan hanya keluhan terus."

Dialog di atas menggambarkan betapa ironisnya situasi di Maluku, khususnya Kota Ambon. Meski dikelilingi oleh laut yang kaya ikan, masyarakat justru kesulitan mengakses ikan dengan harga terjangkau. Keluhan ibu-ibu ini menjadi cerminan dari masalah struktural yang perlu segera diatasi, mulai dari infrastruktur, sistem distribusi, hingga kebijakan pemerintah. Harapannya, ke depan, kekayaan laut Maluku bisa dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat, tanpa harus membayar mahal.

error: Content is protected !!