Perjalanan Sunyi Sang Anak

Share:

Subuh menggigil ketika halaman istana Pilatus mulai dipenuhi suara-suara pengadilan yang menggema.
Di tengah hiruk-pikuk para imam kepala dan orang banyak, berdirilah Dia yang sejak semalam tak tidur, tak makan, dan tak menerima satu pun belaian kasih.
Yesus dari Nazaret—Sang Anak—berdiri dalam sunyi, diadili oleh ciptaan-Nya sendiri.

Pilatus memandang-Nya lekat-lekat.
Wajah-Nya penuh luka, tetapi sorot mata-Nya memancarkan damai yang tak dipahami dunia.

“Apakah Engkau Raja orang Yahudi?”

Dan Yesus menjawab, pelan tapi pasti:

“Kerajaanku bukan dari dunia ini.”

Namun dunia menolak Dia.
Orang banyak berseru memekakkan langit:
“Salibkan Dia!”


Diam yang Menyelamatkan

Dia bisa berbicara, bisa membela diri, bisa memanggil malaikat.
Tapi Yesus memilih diam.
Diam yang bukan lemah.
Diam yang menanggung seluruh dunia.

Di dalam keheningan-Nya tersimpan jerit umat manusia sepanjang zaman.
Dan dalam luka yang menganga, mengalirlah pengampunan dari surga.


Cambuk, Duri, dan Ingatan Lama

Ketika cambuk mulai menyayat kulit-Nya,
saat daging-Nya tercabik oleh ujung logam tajam,
Yesus mengingat wajah-wajah yang pernah tersenyum kepada-Nya.

Ia melihat Petrus,
yang dulu begitu berani berkata:
“Aku akan mati bersama-Mu.”
tapi kini justru menyangkal-Nya tiga kali di halaman imam besar.

Ia mengingat tawa kecil anak-anak yang Ia peluk di Galilea,
tangan-tangan mungil yang meraih jubah-Nya dengan harapan.
Kini tangan-tangan kasar menarik-Nya ke tanah.

“Bapa, betapa dalam kasih-Mu…
Biar tubuh-Ku hancur, asalkan dunia mengenal kasih-Mu yang menyelamatkan.”


Via Dolorosa — Langkah-Langkah Pengampunan

Salib itu diletakkan di bahu-Nya.
Beratnya bukan hanya karena kayu,
tetapi karena beban seluruh umat manusia.

Yesus melangkah perlahan.
Kakinya berdarah. Napasnya sesak.
Namun tak sekali pun Ia mundur.

Di setiap sudut jalan,
ada wajah-wajah yang pernah disapa kasih-Nya—
dan kini berpaling.

Namun ada juga yang menangis,
seperti Veronica yang menyeka wajah-Nya,
dan para wanita Yerusalem yang meratapi-Nya.

“Jangan tangisi Aku,” kata-Nya,
“tangisilah dirimu dan anak-anakmu.”
Suara-Nya masih penuh cinta, meski tubuh-Nya nyaris runtuh.


Ibu yang Tak Pernah Berpaling

Di antara kerumunan,
Maria, Ibu-Nya, berdiri.
Air matanya mengalir pelan,
namun wajahnya tetap menghadap salib.

Sejak bayi Ia menggendong-Nya,
sejak kecil Ia menyanyikan mazmur bagi-Nya,
dan kini, Ia hanya bisa memandang Anak-Nya yang dihancurkan dunia.

“Hatiku hancur, Putraku.
Tapi aku takkan berpaling.
Jika inilah jalan keselamatan,
aku akan menatapmu sampai akhir.”

Dan Yesus melihat Ibunya.
Dalam kelelahan dan kepedihan-Nya,
Ia menemukan kekuatan dalam mata Maria.


Titik Lemah Sang Anak Manusia

Yesus jatuh. Berkali-kali.
Tubuh-Nya tak mampu lagi menopang beban salib.
Debu dan darah menyatu di wajah-Nya.

“Bapa, jika mungkin…
biarlah cawan ini berlalu dari-Ku…”

Bisikan itu lirih,
datang dari titik terdalam kerentanan manusia.
Yesus tidak sedang bermain peran.
Ia sungguh-sungguh merasakan perih, kelelahan, dan kesepian.

Namun Ia bangkit kembali.
Karena cinta lebih kuat dari rasa takut.

“Namun bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.”


Di Atas Bukit Golgota

Paku-paku besar menembus tangan dan kaki-Nya.
Langit menggelap, bumi bergetar.
Dan Yesus, tergantung di salib, dalam kesendirian yang sempurna.

“Eloi, Eloi, lama sabaktani?”
“Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”

Teriakan itu bukan tanda putus asa.
Itulah jeritan manusia yang mewakili seluruh umat yang pernah merasa ditinggalkan.
Namun dari salib itu juga, mengalir tujuh kata cinta.
Dan akhirnya…

“Sudah selesai.”
“Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.”


Cinta yang Tak Pernah Mati

Perjalanan sunyi Sang Anak
bukan sekadar kisah penderitaan,
tetapi kisah kemenangan cinta yang bertahan, bahkan dalam luka terdalam.

Dunia menyalibkan Dia,
tetapi tidak dapat mematikan kasih-Nya.
Dan hari itu,
di atas kayu yang hina,
kasih menang untuk selama-lamanya.


error: Content is protected !!