Setiap tahun, Gereja Protestan Maluku (GPM) meneguhkan ribuan anggota sidi baru, menandai momen penting dalam kehidupan rohani umat. Peneguhan ini sejatinya adalah perayaan iman, titik balik seseorang dalam komitmennya kepada Tuhan. Namun, yang seharusnya menjadi refleksi spiritual kini justru beralih menjadi pesta besar-besaran yang menghamburkan uang.
Di seluruh wilayah GPM, dari Maluku hingga Maluku Utara, pemandangan pesta sidi baru bukanlah hal asing. Rumah-rumah dihiasi, hidangan melimpah, tamu berdatangan, dan tak jarang restoran mewah disewa untuk perayaan ini. Biaya yang dikeluarkan tidak main-main, dari jutaan hingga puluhan juta rupiah. Sebagian besar keluarga rela berhutang demi gengsi sosial. Padahal, Maluku sendiri masih berada dalam jajaran provinsi termiskin di Indonesia. Ironis? Tentu saja.
Yang lebih menarik, mereka yang miskin pun tetap menggelar pesta, meskipun ala kadarnya. Tetap saja, dana yang dikeluarkan untuk pesta sidi baru ini hampir pasti berada di atas satu jutaan. Tahun 2025, Gereja Protestan Maluku (GPM) mentahbiskan sebanyak 13.925 anggota sidi baru di wilayah Maluku dan Maluku Utara. Bisa jadi ada 13ribu-an tempat pesta di Maluku saat ini. Fenomena ini unik karena hanya terjadi di GPM. Budaya pesta orang Maluku ini memang gila.
Ketika angka kemiskinan di Maluku masih tinggi, dengan ribuan warga hidup dalam keterbatasan ekonomi, mengapa gereja tidak mengambil sikap lebih tegas? GPM, sebagai institusi keagamaan yang seharusnya menjadi panutan, justru membiarkan kemewahan ini berlangsung dari tahun ke tahun. Gereja yang mestinya menjadi suara keadilan sosial malah seperti menutup mata terhadap ironi yang terjadi di depan mata.
Bagaimana mungkin seseorang yang baru saja mengaku iman dalam Tuhan langsung terjun dalam pesta berlebihan? Apakah pengakuan iman diukur dari besar kecilnya pesta? Di tengah kondisi bangsa yang kian memprihatinkan, dengan angka pengangguran yang tinggi dan kemiskinan yang mencekik, apakah pantas gereja tidak mengarahkan jemaatnya untuk lebih bijak dalam merayakan momen ini? Terlebih lagi, momen sidi baru ini dilakukan pada hari Minggu, hanya beberapa hari sebelum peringatan penderitaan Yesus di kayu salib pada Jumat Agung. Ironisnya, kita berpesta dulu sebelum mengenang penderitaan Kristus.
Dari Pesta Individual ke Aksi Sosial Bersama
Sidi baru seharusnya menjadi refleksi pribadi, bukan ajang unjuk diri. Gereja perlu berani bersuara untuk mengubah tradisi ini. Bayangkan jika uang yang dihamburkan untuk pesta dialihkan menjadi kegiatan sosial besar-besaran. Alih-alih pesta di rumah, restoran, atau hotel, mengapa tidak mengubahnya menjadi aksi berbagi kebutuhan pokok bagi orang miskin, panti asuhan, panti jompo, serta pasien di rumah sakit? Satu kegiatan gigantis yang menjadi kesaksian iman yang luar biasa.
Dengan mengubah budaya pesta menjadi gerakan berbagi, sidi baru tidak hanya menjadi momen pribadi, tetapi juga perayaan iman yang nyata dalam tindakan kasih. Gereja bisa menjadi fasilitator utama dalam mengorganisir kegiatan ini, sehingga sidi baru tidak sekadar seremonial, tetapi berdampak bagi masyarakat luas.
Saatnya GPM dan seluruh umat Kristen di Maluku bertanya kembali: Apakah kita sedang merayakan iman, atau sekadar mengikuti budaya pamer yang tidak ada kaitannya dengan ajaran Kristus? Jangan sampai gereja hanya menjadi saksi bisu dalam kemewahan yang tidak masuk akal, sementara sebagian besar jemaatnya masih bergumul dengan kemiskinan dan kesulitan hidup. Gereja harus mulai mengedukasi jemaat bahwa iman tidak diukur dari besarnya pesta, melainkan dari kedalaman komitmen terhadap ajaran Kristus. Gereja juga harus mendorong transformasi dari perayaan konsumtif menjadi aksi nyata yang mencerminkan kasih dan keadilan sosial.
Salib yang kaupikul hari ini bukanlah beban, melainkan tanda kasih Tuhan yang memanggilmu untuk tumbuh lebih dewasa dalam Kristus. Tantangan akan ada, tapi ingat: “Aku senantiasa beserta kamu sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:20). ✝️🔥