Zoë Tauran: Suara Kebebasan dari Akar Maluku yang Menginspirasi

Share:

Di panggung musik Belanda, nama Zoë Tauran bersinar terang sebagai penyanyi pop R&B yang memikat hati jutaan penggemar. Namun, di balik suara soulful dan lagu-lagu hits seperti Gebruik Me dan Therapie, ada kisah inspiratif tentang keberanian, identitas, dan warisan keluarga Maluku yang membentuknya menjadi sosok yang istimewa. Sebagai Ambassadeur van de Vrijheid 2025, Zoë tidak hanya menyanyikan lagu, tetapi juga menyuarakan kebebasan dan keadilan, menghidupkan kembali sejarah leluhurnya yang penuh perjuangan, terutama melalui penampilannya yang mengesankan di Bevrijdingsfestivals pada 5 Mei 2025.

Akar Maluku: Warisan yang Membentuk Jiwa

Zoë Tauran lahir pada 31 Maret 1997 di Roden, Belanda, dengan darah Maluku yang mengalir dari keluarganya. Kakeknya, Max, adalah salah satu dari banyak orang Maluku yang dipaksa meninggalkan tanah air mereka di Maluku setelah Perang Dunia II. Bersama ribuan lainnya, mereka dijanjikan kepulangan oleh pemerintah Belanda, namun janji itu tak pernah ditepati. Max berjuang untuk keadilan, menyisakan luka sekaligus kebanggaan dalam keluarga Tauran. “Saya tumbuh mendengar cerita kakek tentang perjuangan dan rasa kehilangan bangsanya,” ungkap Zoë. Kisah-kisah ini bukan hanya sejarah, tetapi fondasi yang membentuk nilai-nilai keluarga yang erat dalam hidupnya.

Di rumah keluarga Tauran di Roden, Drenthe, musik, makanan, dan hormat kepada yang lebih tua adalah bagian tak terpisahkan dari budaya Maluku. “Bagi kami, makan bersama, membuat musik, dan menghormati orang yang lebih tua adalah hal yang wajar,” katanya. Musik telah menjadi bahasa Zoë sejak kecil, mengalir seperti darah dalam nadinya, diwariskan dari keluarga yang penuh talenta musikal. Pamannya adalah anggota band, dan suasana rumah selalu dipenuhi nada-nada yang menghibur.

Perjalanan Musik: Dari TP4Y hingga Bintang Solo

Zoë memulai langkahnya di dunia musik pada usia muda. Pada 2012, ia mengikuti The Voice Kids, menunjukkan bakat vokalnya yang luar biasa. Dua tahun kemudian, ia bergabung dengan girlband TP4Y (Too Pretty For You) di Holland’s Got Talent, mencapai posisi ketiga dan merilis lagu-lagu seperti Kisses dan La La Love. Meski TP4Y bubar pada 2018, Zoë tidak berhenti bermimpi. Ia melangkah sebagai penyanyi solo, dan pada 2022, single Solo bersama Bilal Wahib melejit, meraih status platinum dengan lebih dari 18,6 juta streaming.

Kesuksesan terus mengalir dengan lagu-lagu seperti Gebruik Me (feat. Frenna) dan Adrenaline (feat. Kris Kross Amsterdam & Ronnie Flex), yang menduduki Top 40 Belanda. Album debutnya pada 2023, yang bertajuk Zoë Tauran, mendapat nominasi Edison Pop Award untuk kategori ‘Newcomer’. Puncaknya, ia tampil di panggung megah bersama Coldplay di Johan Cruijff Arena, membuktikan bahwa mimpinya telah melampaui batas.

Ambassadeur van de Vrijheid: Menyuarakan Kebebasan di Bevrijdingsfestivals 2025

Pada 5 Mei 2025, Zoë dipercaya sebagai Ambassadeur van de Vrijheid oleh Nationaal Comité 4 en 5 mei, bersama Antoon, RONDÉ, dan Hannah Mae (menggantikan S10 yang batal tampil karena alasan pribadi). Dalam peran ini, Zoë melakukan perjalanan dengan helikopter ke empat Bevrijdingsfestivals di Belanda untuk memperingati 80 tahun kebebasan sejak akhir Perang Dunia II, menarik sekitar satu juta pengunjung di 14 lokasi festival. Penampilannya meliputi:

  • Den Bosch (Bevrijdingsfestival Brabant): Zoë membuka program festival di Pettelaarse Schans pada pukul 12:30–13:15, tampil bersama artis seperti Flaire dan Bizzey. Penampilannya menjadi sorotan awal yang penuh energi, membawa pesan kebebasan melalui lagu-lagu populernya.
  • Wageningen (Bevrijdingsfestival Gelderland): Bersama RONDÉ, Douwe Bob, dan Roxy Dekker, Zoë menghibur penonton di pusat kota Wageningen dengan penampilan yang menggugah, memadukan musik pop R&B dengan pesan inklusivitas.
  • Zwolle (Bevrijdingsfestival Overijssel): Di Podium Hanzestrohm pada pukul 18:30–19:15, Zoë memikat sekitar 130.000 pengunjung di Park de Wezenlanden. Ia membawakan lagu-lagu seperti Therapie dan De Laatste Keer Dat Ik Huil, yang resonan dengan tema festival tentang kebebasan dan keterbukaan emosional.
  • Groningen (Bevrijdingsfestival Groningen): Sebagai penutup tur helikopternya, Zoë tampil di Drafbaan, Groningen, yang terasa seperti “pertandingan kandang” karena kedekatannya dengan kampung halamannya di Roden. Berbagi panggung dengan Maan, Typhoon, dan Sticks, ia menghadirkan penampilan meriah yang memperkuat pesan persatuan.

Selain menyanyi, Zoë menggunakan platform ini untuk menyampaikan makna kebebasan, yang baginya adalah hidup bersama keluarga tanpa rasa takut. Ia juga berpartisipasi dalam “5 Mei Moment” pada pukul 17:00, saat semua festival berhenti sejenak untuk merefleksikan pentingnya kebebasan, terutama di tengah konflik global yang mengingatkan bahwa kebebasan bukanlah hal yang pasti.

Dokumenter Maluku: Menghidupkan Kembali Sejarah

Sebagai bagian dari perannya, Zoë membuat dokumenter pendek bersama Nationaal Comité 4 en 5 mei, menyoroti sejarah Maluku yang dipaksa pindah ke Belanda pada 1950-an. Fokusnya adalah perjuangan kakeknya, Max, yang kecewa atas janji kepulangan ke Maluku yang tak pernah terwujud. Dalam dokumenter ini, Zoë mengunjungi depot Museum Maluku dan berbincang dengan ayahnya, Remco Tauran, tentang luka dan kebanggaan identitas Maluku. “Saya ingin melanjutkan warisan kakek saya agar sejarah ini tidak dilupakan,” ujarnya. Dokumenter ini menjadi jembatan untuk mengedukasi generasi muda tentang perjuangan komunitas Maluku.

Lagu Pribadi: Suara dari Hati

Pada Oktober 2024, Zoë merilis De Laatste Keer Dat Ik Huil, lagu paling pribadinya yang menceritakan perjuangannya untuk terbuka tentang masalah pribadi. Lagu ini menjadi bagian penting dari penampilannya di Bevrijdingsfestivals, menginspirasi penonton untuk lebih jujur dan kuat secara emosional. “Saya berharap orang lain bisa merasakan keterkaitan dan mendapat kekuatan dari lagu ini,” katanya. Melalui musiknya, Zoë tidak hanya menghibur, tetapi juga membangun hubungan emosional dengan penggemar.

Tantangan dan Keteguhan

Peran Zoë sebagai duta tidak lepas dari kontroversi. Centraal Joods Overleg mengkritik keterlibatannya dalam acara penggalangan dana untuk Plant Een Olijfboom, menyebutnya memiliki pandangan “anti-Israel yang ekstrem.” Namun, Zoë tetap fokus pada misinya untuk mempromosikan persatuan dan kesadaran sejarah melalui musik dan cerita Molukse yang otentik.

Inspirasi dari Zoë Tauran

Kisah Zoë Tauran adalah bukti bahwa akar budaya dan perjuangan leluhur dapat menjadi sumber kekuatan untuk meraih mimpi. Dari panggung kecil di Roden hingga festival besar di Belanda, ia membawa warisan Maluku dalam setiap nada dan liriknya. Pada 5 Mei 2025, penampilannya di Bevrijdingsfestivals tidak hanya menghibur, tetapi juga mengingatkan kita akan makna kebebasan—hak untuk hidup, mencintai, dan bermimpi tanpa rasa takut. Sebagai perempuan muda dengan darah Maluku, Zoë adalah suara dari masa lalu yang membawa harapan untuk masa depan, seorang duta kebebasan yang mengajarkan bahwa musik dan identitas dapat mengubah dunia.


Zoë Tauran – Ambassadeur van de Vrijheid 2025 || Nationaal Comité 4 en 5 mei

Zoë Tauran – Duta Kebebasan 2025: Suara dari Bangsa yang Terlupakan

Tahun 2025 menjadi momen istimewa bagi Zoë Tauran. Penyanyi dan keturunan Maluku ini ditunjuk sebagai Duta Kebebasan, peran simbolik yang mengangkat suara-suara yang telah lama dibungkam dan merayakan nilai-nilai kebebasan di Belanda. Namun bagi Zoë, ini lebih dari sekadar penghargaan—ini adalah panggilan jiwa untuk mengangkat kisah leluhurnya dan bangsanya, bangsa Maluku, yang hingga kini hidup dalam bayang-bayang pengasingan dan ketidakadilan sejarah.

Zoë memulai kisahnya dengan menyatakan sebuah kenyataan pahit: “Kami adalah bangsa yang dilupakan.” Sebuah pernyataan yang bukan hanya emosional, tapi juga historis. Sejarah panjang hubungan Maluku dan Belanda dimulai sejak kedatangan kapal VOC pertama pada tahun 1599. Dalam waktu singkat, Ambon—ibu kota Maluku—ditaklukkan dan diperbudak. Selama lebih dari tiga abad berikutnya, penderitaan, perlawanan, dan pengkhianatan terus menyertai perjalanan bangsa Maluku, hingga pada tahun 1950-an, ribuan orang Maluku dibawa ke Belanda dengan janji akan kembali ke tanah air mereka. Janji yang hingga kini tak pernah ditepati.

Sebagai generasi ketiga yang lahir di Belanda, Zoë tetap tumbuh dengan nilai-nilai budaya Maluku. Ia mengingat betapa kuatnya rasa sakit yang diwariskan oleh kakeknya—seorang pejuang dan saksi sejarah yang telah berjuang demi kemerdekaan Maluku. Tapi yang lebih penting dari itu, kakeknya juga mengajarkan bagaimana rasa sakit itu bisa diubah menjadi energi, menjadi kekuatan untuk menceritakan siapa mereka dan dari mana mereka berasal. Nilai-nilai itulah yang kini Zoë warisi dan bawa ke panggung nasional sebagai Duta Kebebasan.

Melalui kunjungannya ke Museum Maluku, Zoë mendalami kembali warisan budayanya. Ia menemukan arsip-arsip foto, musik, dan bahkan rancangan barak-barak di kamp Westerbork, tempat ribuan orang Maluku dulu ditempatkan begitu saja setelah kedatangan mereka ke Belanda. Baginya, sungguh menyakitkan menyadari bahwa orang-orang yang berjasa bagi negeri ini justru ditempatkan di kamp bekas transit Nazi. Namun di balik luka itu, Zoë melihat kekuatan dan ketangguhan. Ia mencontohkan suling Maluku yang dahulu dibuat dari bambu, kini dibuat dari pipa PVC karena keterbatasan bahan di tanah rantau—sebuah simbol dari keteguhan hati untuk tetap menjaga budaya.

Zoë tidak hanya membawa kisah ini sebagai kenangan pribadi, tapi juga sebagai panggilan kolektif untuk menghadirkan keadilan sejarah. Ia mempertanyakan mengapa bangsa lain mendapat pengakuan dan permintaan maaf atas perbudakan, namun orang Maluku tidak. Meskipun begitu, ia menolak untuk larut dalam kemarahan. Zoë memilih jalan ayahnya—jalan untuk terus maju, membangun jembatan, dan mencari koneksi antarbangsa. “Kebebasan adalah untuk semua orang,” katanya dengan penuh keyakinan.

Sebagai Duta Kebebasan 2025, Zoë tidak hanya tampil di panggung-panggung resmi. Ia juga kembali ke makam kakek dan neneknya, menyanyikan lagu kebangsaan Maluku bersama keluarganya sebagai bentuk penghormatan. Ia menyadari bahwa meskipun generasinya telah tumbuh dalam kenyamanan, luka masa lalu tetap hidup. “Kakek dan nenek saya selalu berharap bisa kembali ke tanah air. Tapi itu tidak pernah terjadi. Rasa sakit itu tetap ada, dan kami membawanya.”

Dengan perannya sebagai Duta Kebebasan, Zoë Tauran tidak hanya berbicara tentang kebebasan dalam arti luas, tetapi juga kebebasan untuk diakui, diingat, dan dihormati sebagai bagian dari sejarah yang sah. Ia adalah suara dari bangsa yang terlupakan—dan kini, suaranya tidak lagi bisa diabaikan.


error: Content is protected !!