๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ Proklamasi 1945: Gema Kemerdekaan yang Mengguncang Dunia

Share:

Pagi itu, 17 Agustus 1945, Jakarta bergolak. Di sebuah rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur 56, Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan di hadapan rakyat yang berdesakan. Sorak sorai pecah, Merah Putih berkibar, dan Indonesia lahir sebagai bangsa merdeka. Namun, di tengah euforia, dunia belum banyak tahu tentang momen bersejarah ini. Media internasional masih terfokus pada akhir Perang Dunia II, dan berita proklamasi baru menyebar melalui siaran radio dan selebaran yang disebarkan para pemuda pejuang. Meski begitu, gema kemerdekaan Indonesia mulai terdengar, bahkan menembus batas benua, dengan Australia menjadi salah satu pendukung awal yang mengejutkan. Bagaimana kisahnya?

Siaran Radio dan Selebaran: Suara Kemerdekaan di Tengah Keterbatasan

Di era tanpa internet atau televisi global, menyebarkan berita proklamasi bukanlah perkara mudah. Radio Republik Indonesia (RRI), yang baru saja diambil alih dari pendudukan Jepang, menjadi senjata utama. Siaran berulang kali mengumandangkan teks proklamasi, menjangkau kota-kota di Jawa dan luar Jawa. Para pemuda seperti B.M. Diah dan Sayuti Melik tak tinggal diam. Mereka mencetak selebaran, menempelkan plakat, dan menuliskan slogan berapi-api seperti โ€œRespect Our Constitution, August 17!!!โ€ di tembok-tembok kota hingga gerbong kereta. Harian Suara Asia di Surabaya turut memuat berita proklamasi, membakar semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.

Namun, di luar Indonesia, berita ini masih seperti bisikan. Belanda, yang baru saja terbebas dari pendudukan Jerman, bergegas merencanakan kembalinya kekuasaan kolonial. Inggris dan Amerika Serikat, sekutu Belanda, awalnya skeptis terhadap proklamasi, khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. Di tengah tantangan ini, beberapa negara justru mendengar dan merespons dengan dukungan yang tak terduga.

Australia: Sekutu Tak Terduga dalam Perjuangan Indonesia

Di antara negara-negara yang pertama kali merespons, Australia tampil sebagai pendukung yang mengejutkan. Negara tetangga di selatan ini, yang baru saja merasakan kemerdekaan penuh dari Inggris, menunjukkan solidaritas kuat terhadap perjuangan Indonesia. Dukungan ini terwujud dalam aksi heroik yang dikenal sebagai Black Armada.

Pada 24 September 1945, sekitar 4.000 buruh pelabuhan dan pelaut Australia, yang tergabung dalam Australian Waterside Workers Union, memboikot kapal-kapal Belanda yang membawa senjata dan pasokan untuk agresi militer di Indonesia. Pelabuhan-pelabuhan besar seperti Sydney, Melbourne, dan Brisbane lumpuh. Kapal-kapal Belanda terpaksa terdampar, menghambat rencana kolonial Belanda. Aksi ini tak hanya melibatkan buruh Australia, tetapi juga pelaut dari Indonesia, India, dan China, menunjukkan solidaritas lintas bangsa. Didukung oleh pemerintahan Partai Buruh Australia, Black Armada menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme.

Tak berhenti di pelabuhan, Australia juga bergerak di panggung diplomasi. Pada Juli 1947, ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I, Australia mengusulkan isu ini ke Dewan Keamanan PBB, menyebut agresi Belanda sebagai pelanggaran perdamaian. Bersama India, Australia terus mendesak PBB untuk menghentikan Agresi Militer II pada 1948. Langkah ini memaksa dunia, termasuk Inggris dan Amerika, untuk mulai memperhatikan perjuangan Indonesia. Pada 1949, Australia turut menghadiri Konferensi Asia di New Delhi, yang digagas India, untuk menggalang dukungan regional bagi Republik Indonesia. Tekanan ini berujung pada Perjanjian Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar, yang akhirnya memaksa Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.

Mengapa Australia Mendukung Indonesia?

Dukungan Australia tak datang begitu saja. Ada beberapa alasan kuat di baliknya:

  • Semangat Anti-Kolonial: Sebagai negara yang baru merdeka dari cengkeraman kolonial Inggris, Australia memahami perjuangan Indonesia melawan Belanda.
  • Kepentingan Regional: Indonesia adalah tetangga strategis. Australia melihat Indonesia merdeka sebagai penyangga stabilitas di Asia Tenggara.
  • Dorongan Buruh: Aksi Black Armada mencerminkan suara rakyat Australia, terutama kelompok buruh, yang menentang kolonialisme dan mendukung keadilan.
  • Kepemimpinan Partai Buruh: Pemerintahan Partai Buruh, yang berkuasa saat itu, memiliki visi progresif untuk mendukung gerakan kemerdekaan di Asia.

Dukungan dari Negara Lain: Mesir, India, hingga Vatikan

Australia bukan satu-satunya yang mendukung. Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto pada 22 Maret 1946, diikuti pengakuan de jure pada 1947. Mesir bahkan melobi negara-negara Liga Arab seperti Suriah dan Arab Saudi untuk mendukung Indonesia. India, di bawah kepemimpinan Jawaharlal Nehru, memberikan dukungan moral dan material, termasuk mengutuk agresi Belanda dan menggelar Konferensi Asia 1949. Hubungan erat antara Nehru dan Mohammad Hatta menjadi pendorong kuat solidaritas ini.

Palestina, meski belum merdeka, menyatakan dukungan simbolis pada 1944 melalui siaran radio oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini. Vatikan, pada 6 Juli 1947, mengakui Indonesia dengan membuka kedutaan di Jakarta, menunjukkan dukungan dari komunitas Katolik dunia. Dukungan ini, meski kecil, membantu Indonesia membangun legitimasi internasional.

Tantangan dari Belanda dan Sekutunya

Di sisi lain, Belanda tak tinggal diam. Didukung Inggris, mereka melancarkan dua agresi militer (1947 dan 1948) untuk merebut kembali Indonesia. Inggris bahkan membekukan aset Indonesia di London, sementara Amerika Serikat, khawatir dengan pengaruh komunisme, awalnya condong mendukung Belanda. Namun, perjuangan diplomasi Indonesia, ditambah tekanan dari Australia, India, dan negara lain, mengubah dinamika. Dunia mulai melihat Indonesia bukan hanya sebagai pemberontak, tetapi sebagai bangsa yang berhak atas kemerdekaan.

Gema yang Tak Padam

Proklamasi 17 Agustus 1945 mungkin awalnya hanya bergema di Jakarta, tetapi semangatnya menjalar ke seluruh dunia. Dari siaran radio yang sederhana hingga aksi boikot di pelabuhan Australia, dari selebaran pemuda hingga sidang-sidang PBB, perjuangan Indonesia menunjukkan bahwa kemerdekaan bukan hanya mimpi, tetapi kenyataan yang diperjuangkan bersama. Australia, dengan Black Armada dan diplomasinya, menjadi salah satu pilar tak terduga dalam perjuangan ini. Bersama Mesir, India, dan lainnya, mereka membuktikan bahwa solidaritas lintas bangsa bisa mengubah sejarah.

Hingga kedaulatan Indonesia diakui dunia pada 1949, dan resmi menjadi anggota PBB pada 1950, gema proklamasi terus terdengar. Kisah ini bukan hanya tentang kemerdekaan Indonesia, tetapi juga tentang bagaimana dunia, perlahan namun pasti, belajar menghormati suara sebuah bangsa yang baru lahir.

error: Content is protected !!