Hari itu, matahari enggan bersinar. Langit kelabu seolah turut merasakan beban yang sedang dipikul oleh Doni, seorang mahasiswa semester akhir. Di kamar kos yang sempit, ia termenung di depan laptop bekas miliknya. Di layar, sebuah pesan dari bagian keuangan kampus menuntut pembayaran uang kuliah yang sudah jatuh tempo.
“Doni, bagimana nih? Su bayar uang kuliah ka belum?” tanya Fandi, teman satu kosnya, yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu.
Doni mendesah panjang. “Belum, Fan. Beta pung tabungan seng cukup, deng beta pung beasiswa su pake abis par bayar kos. Beta su bingung mo bikin apa lai.”
Fandi duduk di kasur Doni, menepuk pundaknya. “Kalo bagitu, kanapa seng coba pinjol sa? Beta pernah dengar beberapa teman pake, dorang bilang akang proses paleng capat.”
Doni mengernyitkan dahi. “Pinjol? Pinjaman online? Aman ka seng, Fan?”
“Ya, asal ale pilih yang batul, seng masalah. Beta ada rekomendasi aplikasinya kalau ale mau,” jawab Fandi sambil mengeluarkan ponselnya. “Ini, coba daftar di sini. Bunganya kecil, sa.”
Doni mengangguk ragu. Dalam kepanikannya, ia merasa tidak punya pilihan lain. Setelah Fandi keluar dari kamarnya, Doni segera mengunduh aplikasi yang direkomendasikan. Dalam hitungan menit, uang pinjaman masuk ke rekeningnya. Ia merasa lega, meski di hatinya muncul perasaan tidak nyaman.
Sebulan kemudian, ketenangan Doni berubah menjadi mimpi buruk. Pesan-pesan ancaman dari pihak pinjol mulai masuk. Bunganya terus membengkak, dan Doni tidak mampu melunasinya. Ia memutuskan untuk meminjam di aplikasi lain guna menutup utangnya.
Di warung kopi, Fandi menatap Doni dengan khawatir. “Don, ale macam tambah stres saja? Ada apa lai?Su bisa bayar uang kuliah to!”
Doni menunduk, menggenggam cangkir kopinya yang sudah dingin. “Fan, beta seng sangka akang lebe parah lai. Beta terjebak. Beta pung utang di satu aplikasi seng bisa bayar lunas, jadi beta pinjam lai di tampa laeng. Sakarang dorang samu buru beta ale.”
Fandi terdiam. Ia merasa bersalah karena dulu menyarankan Doni untuk menggunakan pinjol. “Don, mari katong cari solusi sama-sama e. Mangkali beta bisa bantu bicara ke pihak kampus atau cari pekerjaan sambilan par ale. Jang ale pendam sandiri, kawan e.”
Doni tersenyum pahit. “Danke lai, Fan. Tapi beta rasa su seng ada jalan kaluar lai par beta. Samua su terlambat.”
Malam itu, Doni duduk sendiri di kamarnya. Pikirannya berkecamuk. Telepon genggamnya terus berbunyi, menampilkan notifikasi ancaman dari berbagai aplikasi pinjol. Ia merasa terjebak dalam jerat yang tak berujung.
Dalam keputusasaan, Doni menulis sepucuk surat di atas selembar kertas:
“Maafkan beta, Papa, Mama. Beta su berusaha sekuat tenaga, maar beta seng bisa lai. Par samua orang yang pernah bantu beta, danke banya. Jang kamorang kasih salah sapa-sapa par keputusan ini. Ini murni beta pung salah.”
Keesokan paginya, kabar duka mengguncang seluruh penghuni kos. Doni ditemukan tak bernyawa di kamarnya. Sebuah tali melingkar di lehernya, dan surat yang ia tulis semalam tergeletak di meja.
Fandi hanya bisa menatap hampa. Ia merasa bersalah atas apa yang terjadi. Namun penyesalan tidak akan pernah bisa mengembalikan sahabatnya.
Langit kelabu hari itu kembali menyelimuti, seolah menangisi hilangnya seorang pemuda yang kalah dalam perjuangannya melawan jerat kejam pinjaman online.
Cerita Doni mengingatkan kita tentang betapa pentingnya menjaga komunikasi dan mencari bantuan ketika kita terjebak dalam kesulitan. Terlalu sering, masalah utama bisa diasumsikan berat, padahal ada solusi lain yang mungkin belum terpikirkan.
vgs
Antang, 23 Januari 2025