Soya: Benteng Iman dan Identitas di Jantung Maluku

Share:

Di tengah gemuruh ombak dan aroma rempah yang memikat, Pulau Ambon bertahta sebagai permata Maluku yang memikat hati bangsa-bangsa asing selama berabad-abad. Di antara desa-desanya yang kuno, Soya berdiri sebagai mercusuar sejarah, menyimpan kisah keberanian, iman, dan ketahanan di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial. Dari lereng pegunungan hingga tepian Kota Ambon, Soya bukan sekadar nama, melainkan sebuah warisan yang mengalir seperti sungai-sungai Leitimor, membawa cerita tentang masa lalu yang gemilang dan perjuangan yang tak pernah padam.

Awal Mula: Soya di Panggung Sejarah

Pada abad ke-16, ketika layar-layar kapal Portugis mengibarkan bendera mereka di pantai Hitu, Soya telah menjadi titik strategis di Pulau Ambon. Catatan-catatan awal dari tahun 1571 menyebut Soya sebagai lumbung sagu yang melimpah, menopang kehidupan penduduk lokal dan menarik perhatian para pendatang. Namun, jauh sebelum pena Barat mencatatnya, Soya telah menjadi pusat kehidupan adat, dipimpin oleh para patih di pegunungan dan raja-raja di dataran rendah. Desa ini terbagi dua: Soya di Atas, bersemayam di antara tebing-tebing terjal, dan Soya di Bawah, yang merangkul wilayah Amatelo, Ahusen, dan Uritetu di dekat benteng Portugis yang kelak dinamai Benteng Victoria.

Perpecahan ini, yang kemungkinan terjadi antara 1576 dan 1625, mencerminkan dinamika zaman. Soya di Atas, dengan rumah-rumah yang tersembunyi di perbukitan, dipimpin oleh Patih Ussen dan kemudian Andries Tehi. Sementara itu, Soya di Bawah, di bawah naungan Raja Thomas de Silva dan kemudian Bernhard de Silva, menjadi jembatan antara dunia adat dan kekuatan kolonial yang kian menguat. Georgius Everhardus Rumphius, seorang naturalis Jerman yang menjelajahi Ambon pada akhir abad ke-17, menggambarkan Soya dengan penuh kekaguman dalam Ambonsche Landbeschrijving. Ia mencatat populasi Soya yang mencapai 901 jiwa, terbagi dalam empat soa: Heriaim, Ririmassapait, Rihata, dan kelompok di bawah patih, sebuah struktur sosial yang mencerminkan keseimbangan antara tradisi dan perubahan.

Cahaya Iman di Tengah Badai Kolonial

Kedatangan Portugis pada 1512 membawa lebih dari sekadar pedang dan kapal; mereka membawa salib yang mengubah wajah Leitimor. Soya, bersama desa-desa tetangganya, memeluk agama Kristen sebagai bentuk aliansi strategis melawan komunitas Muslim di Hitu. Pada 1536, Orangkaya Hatiwe memimpin gelombang pembaptisan, diikuti oleh Amatelo dan Nusaniwe. Meskipun tidak ada catatan pasti tentang kunjungan misionaris Jesuit Franciscus Xaverius ke Soya pada 1546, pengaruh Kristen telah meresap, ditandai dengan berdirinya sekolah Kristen di Soya pada 1561, salah satu dari 31 desa di Leitimor yang menjadi benteng iman baru.

Ketika Belanda merebut Benteng Victoria pada 1605, Soya tetap teguh sebagai pusat Kristen. Para raja Soya, bersama pemimpin Nusaniwe dan Kilang, dihormati dengan hak istimewa: membawa pedang, memiliki kora-kora megah, dan duduk di hadapan gubernur. Namun, kehormatan ini datang dengan beban. Setiap pelanggaran terhadap aturan VOC dapat berujung pada pengasingan, sebuah kenyataan yang menggambarkan ketegangan antara otonomi lokal dan kekuasaan kolonial.

Soya dalam Pusaran Politik dan Budaya

Soya bukan hanya pusat spiritual, tetapi juga titik strategis dalam geografi dan politik Maluku. Pegunungan Soya menjadi sumber sungai-sungai Leitimor, menyuburkan kehidupan di wilayah selatan Ambon. Dalam struktur pemerintahan Belanda, Soya diwakili di Landraad, dewan yang mengatur urusan lokal seperti budidaya cengkeh dan tenaga kerja. Raja-raja Soya, seperti Latu Consina (Duarte de Silva) dan keturunannya, memainkan peran kunci dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan komunitas dan tuntutan VOC.

Namun, hubungan dengan Belanda tidak selalu harmonis. Pada 1633-1637, konflik meletus akibat larangan memelihara ternak di Kota Ambon, yang berujung pada penembakan ternak milik Raja Soya. Sensus penduduk yang tidak sah pada 1635 memicu kecurigaan, mendorong banyak penduduk Soya melarikan diri ke pegunungan. Meski demikian, melalui negosiasi, mereka kembali, menunjukkan ketangguhan komunitas dalam menghadapi tekanan kolonial.

Silsilah Para Raja Soya

Georgius Everhardus Rumphius dalam Ambonsche Landbeschrijving mencatat bahwa raja Kristen pertama di Soya adalah Latu Consina, yang dibaptis oleh Portugis di Hunut dan diberi nama Duarte de Silva.

  • Ia adalah penerus Kapten Duarte de Meneses.
  • Latu Consina hidup hingga masa pemerintahan Herman Speult dan memiliki lima putra dan satu putri.
  • Dalam silsilah ini, hanya para putra yang disebutkan.

Silsilah Keturunan Raja Soya

I. Latu Consina (Duarte de Silva)

  • Penerus Kapten Duarte de Meneses.
  • Memiliki lima putra dan satu putri.

Putra-Putra Latu Consina:

  1. Bartholomeus Soerinacul
    • Pergi bersama Portugis ke Larantuka dan menetap di sana.
  2. Djoean Sibori
    • Tidak memiliki keturunan.
  3. Laurenso Wanihutu
    • Memiliki putra:
    3.1. Laurenso Consina
    • Menikah dengan saudari Mattuena, raja tua dari Hitu.
    • Memiliki empat putra dan satu putri:
    • 3.1.1. Andreas Pattijmara
      • Pernah tinggal di Belanda dan kemudian menetap di Oma.
      3.1.2. Pedro de Silva
      • Naik tahta sebagai raja pada 1664 dan memerintah selama 8 tahun.Meninggal tanpa memiliki anak laki-laki.
      3.1.3. Manuel Tucar
      • Meninggal pada 1672, juga tanpa keturunan.
      3.1.4. Bartholomeus de Silva
      • Gugur dalam Perang Bantam.
  4. Thomas de Silva
    • Memerintah hingga wafat pada 1664.
    • Memiliki tiga putra dan lima putri:
    4.1. Eduard de Silva
    • Menggantikan Pedro de Silva pada 1672.
    • Memiliki enam putra dan satu putri: 4.1.1. Joean Coulipa
      4.1.2. Isaac de Silva (Pattij Carras)
      4.1.3. Cornelis de Silva
      4.1.4. Jacob de Silva
      4.1.5. Domingos de Silva
      4.1.6. Willem de Silva
    4.2. Willem Latuarij
    • Memiliki dua putra dan satu putri: 4.2.1. Salomon
      4.2.2. Paul de Silva
    4.3. Manuel Locorij
    • Masih hidup bersama dua saudara tuanya pada 1672.
    • Memiliki tiga putra: 4.3.1. Hieronijmo Bessi
      4.3.2. Joan de Silva
      4.3.3. Joris Haluet
  5. Jordaan de Silva (Latu-Huhol)
    • Memiliki dua putra dan dua putri.
    5.1. Bartholomeus de Silva
    • Memiliki empat putra: 5.1.1. Latoemoeli
      5.1.2. Bernhardus Pellecohan (Kemudian disebut Keijtsjili)
      5.1.3. Cornelis
      5.1.4. Lowadijn
    5.2. Domingos Coepak (Kapten Laala)

Raja-Raja Soya dalam Catatan Resmi

Berdasarkan catatan sejarah, berikut adalah daftar beberapa raja Soya:

  • Kapten Duarte de Meneses (Sebelum 1600)
  • Latu Consina (Duarte de Silva) (Raja pertama yang masuk Kristen)
  • Lourenso de Silva
  • Thomas de Silva (Memerintah sejak 24 Desember 1638 hingga wafat pada 1664)
  • Pedro de Silva (Menjadi raja pada 1664, memerintah selama 8 tahun)
  • Eduard de Silva (Naik tahta pada 1672)
  • Bernardus de Silva (Raja pada 1686)
  • Canulandus de Silva (Raja pada 1688)
  • Juan da Silva (Raja pada 1836)

Pada suatu periode, kepemimpinan beralih ke keluarga Rehatta:

  • René Rehatta (Raja pada 1979)
  • Ruben Rehatta (Penerus René Rehatta)
  • Johan Lodewijk Rehatta (Dipilih sebagai raja pada 24 Mei 2005 oleh mayoritas masyarakat Soya. Ia menjabat sebagai raja dari tahun 2006 hingga 2022).
  • Rido Rehatta (2022-2024).
  • Herve R. J. Rehatta (dilantik oleh Pj Wali Kota Ambon, Bodewin M. Wattimena, pada tanggal 3 Mei 2024 di Balai Saniri Negeri Soya, Kecamatan Sirimau. Periode 2024-2030).

Catatan Penting

  • Latu Consina (Duarte de Silva) adalah raja pertama yang masuk Kristen di bawah Portugis.
  • Dinasti de Silva mendominasi pemerintahan hingga abad ke-19.
  • Pada abad ke-20, kepemimpinan bergeser ke keluarga Rehatta, yang tetap berkuasa hingga saat ini.

Warisan yang Abadi

Ketika Indonesia merdeka pada 1945, Soya menghadapi tantangan baru. Revolusi Maluku 1950 dan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) memecah belah komunitas, dengan sebagian penduduk tetap setia kepada Indonesia dan lainnya bermigrasi ke Belanda. Namun, Soya tidak pernah kehilangan identitasnya. Pada 1986, René Rehatta dinobatkan sebagai raja, melanjutkan tradisi kepemimpinan yang telah dirintis oleh Latu Consina berabad-abad sebelumnya.

Hingga kini, Soya tetap berdiri sebagai simbol ketahanan budaya dan iman di Pulau Ambon. Dari lumbung sagu pada abad ke-16 hingga pusat Kristen di Leitimor, dari benteng adat hingga bagian dari Indonesia modern, Soya adalah cerminan perjalanan panjang sebuah komunitas yang menolak dilupakan. Di setiap batu pegunungannya, di setiap riak sungainya, Soya berbisik tentang keberanian leluhur dan harapan untuk masa depan.

2 thoughts on “Soya: Benteng Iman dan Identitas di Jantung Maluku

Comments are closed.

error: Content is protected !!