Kota Ambon, yang dikenal dengan julukan “Ambon Manise,” memiliki sejarah yang terukir sejak abad ke-16. Didirikan oleh bangsa Portugis pada tahun 1575 sebagai sebuah benteng pertahanan strategis melawan serangan dari Kesultanan Ternate dan negeri-negeri di sekitarnya, Ambon pada awalnya berfungsi sebagai pusat kekuatan untuk menguasai perdagangan cengkeh. Seiring berjalannya waktu, di bawah kekuasaan Belanda pada abad ke-17 dan ke-18, kota ini bertransformasi menjadi Bandar Ekspor cengkeh yang sangat vital. Penentuan 7 September 1575 sebagai Hari Lahir Kota Ambon, yang ditetapkan melalui seminar sejarah pada tahun 1972 dan pertama kali diperingati pada 7 September 1973, merupakan upaya simbolis untuk merekonstruksi dan merayakan identitas historis kota ini.
Seiring berjalannya waktu, Ambon memasuki babak baru pembangunan urban yang jauh lebih kompleks. Perjalanan kontemporer kota ini ditandai oleh perpaduan dinamis antara proyek-proyek infrastruktur berskala besar, inisiatif yang berfokus pada pembangunan identitas, serta upaya pragmatis untuk mengatasi tantangan sosial dan lingkungan yang kronis.
Arsitektur Kota dan Transformasi Ruang Pesisir
Jembatan Merah Putih: Arteri Utama dan Simbol Dua Sisi
Jembatan Merah Putih (JMP) berdiri sebagai simbol modernitas dan rekonsiliasi di Kota Ambon. Proyek infrastruktur monumental yang menelan anggaran sebesar Rp779,2 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 4 April 2016. Sebagai jembatan cable-stayed yang menghubungkan kawasan Poka dan Galala, JMP secara drastis mempersingkat waktu tempuh dari Bandara Pattimura ke pusat kota Ambon, dari sebelumnya lebih dari 30 menit menjadi hanya sekitar 30 menit, bahkan kurang. Jembatan ini tidak hanya meningkatkan mobilitas dan efisiensi transportasi, tetapi juga mendorong akselerasi pembangunan ekonomi di kawasan sekitarnya, menjadikan Galala dan Rumah Tiga sebagai simpul pertumbuhan baru. Nama “Merah Putih” sendiri dipilih sebagai lambang bendera nasional dan simbol persatuan, merefleksikan upaya rekonsiliasi pasca-konflik sosial yang pernah melanda kota ini.
Meskipun dirancang dengan sistem tahan gempa, jembatan ini tidak kebal dari tantangan. Pada gempa magnitudo 6,8 yang mengguncang Ambon pada 2019, JMP mengalami keretakan pada expansion joint, sebuah sambungan yang dirancang untuk mengakomodasi pemuaian dan pergeseran. Pihak Kementerian PUPR menegaskan bahwa keretakan tersebut tidak memengaruhi keamanan struktur utama. Lebih dari sekadar isu struktural, pembangunan JMP juga menciptakan konsekuensi sosial dan lingkungan yang perlu dicermati. Sebuah analisis dampak lingkungan menemukan bahwa proyek ini telah merusak terumbu karang dan mencemari biota laut. Dari perspektif sosial, sementara mobilitas meningkat, pembangunan JMP menyebabkan marginalisasi komunitas pendayung perahu di sekitar Teluk Ambon, yang pendapatan mereka menurun drastis karena hilangnya kebutuhan akan jasa penyeberangan.
Dalam konteks manajemen lalu lintas, JMP juga menghadirkan kompleksitas yang tidak terduga. Jembatan ini memang berhasil mengurai kemacetan di titik penyeberangan Teluk Ambon. Namun, hal ini secara paradoks memperburuk kemacetan di area lain. Berdasarkan data dari Dinas Pendapatan Provinsi Maluku tahun 2021, jumlah kendaraan bermotor di Kota Ambon sangat tinggi, dengan pertumbuhan rata-rata 10 persen per tahun, yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan ruas jalan baru. Setelah pembangunan JMP, volume kendaraan yang masuk ke pusat kota meningkat signifikan, namun sebagian besar kendaraan tersebut hanya memiliki dua ruas jalan utama untuk dilalui, yaitu Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Tulukabessy. Akibatnya, JMP berfungsi sebagai “corong” yang mengarahkan volume lalu lintas besar ke dalam sistem jalan yang sudah jenuh, sehingga memindahkan dan memperparah masalah kemacetan di pusat kota. Hal ini menggarisbawahi sebuah pelajaran penting: proyek infrastruktur besar tidak dapat berdiri sendiri. Keberhasilan jangka panjangnya sangat bergantung pada perencanaan yang terintegrasi dan sinergi dengan masterplan tata ruang dan transportasi yang komprehensif, yang mampu mengantisipasi dan mengelola dampak lanjutannya.
Visi Waterfront City dan Coastal Road: Antara Ambisi dan Realita Lingkungan
Visi Ambon sebagai kota pesisir modern tercermin dalam konsep Waterfront City, sebuah strategi pembangunan yang berorientasi pada pemanfaatan kawasan pesisir dan perairan untuk menciptakan ruang publik yang teratur, estetis, dan berkelanjutan. Bagian integral dari visi ini adalah rencana pembangunan Ambon Coastal Road, sebuah proyek strategis nasional yang bertujuan untuk mengurai kemacetan kronis dan mempercantik wajah Teluk Ambon. Proyek sepanjang 21 kilometer ini direncanakan membentang dari Kota Jawa–Tanjung Martafons hingga Pelabuhan Yos Sudarso. Pembangunan jalan pesisir ini dianggap lebih efisien karena dapat menghindari masalah pembebasan lahan yang rumit di darat. Proyek ini telah memasuki tahap awal perencanaan, termasuk survei awal oleh Kementerian PUPR dan penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh Universitas Pattimura.
Namun, ambisi ini diiringi dengan tantangan lingkungan yang signifikan. Studi menunjukkan bahwa pembangunan yang tidak terkendali di sekitar Teluk Ambon telah berdampak pada ekosistem mangrove, menyebabkan pengurangan luas lahan hutan mangrove yang signifikan. Pemanfaatan lahan untuk permukiman, jembatan, pelabuhan, dan fasilitas komersial lainnya secara langsung berkorelasi dengan degradasi ini. Indikator lain dari dampak pembangunan terhadap lingkungan adalah kualitas air sungai yang tidak memenuhi baku mutu, peningkatan sampah padat, dan tingginya sedimentasi pada perairan.
Kondisi ini menghadirkan sebuah dilema yang mendalam. Ambon berambisi menjadi “kota maritim modern,” sebuah identitas yang dibangun di atas kekayaan alam dan ekosistem pesisirnya. Namun, upaya untuk mewujudkan visi ini melalui proyek fisik seperti Coastal Road berpotensi merusak fondasi ekologis yang menjadi sumber identitas tersebut. Upaya pembangunan tanpa kajian yang matang dan penataan ruang yang jelas telah menyebabkan kerusakan yang nyata. Keberhasilan Coastal Road tidak hanya akan diukur dari kelancaran lalu lintas atau estetika kota, tetapi juga dari kemampuan pemerintah untuk mengelola proyek ini secara bertanggung jawab, memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan.
Proyek Mega Pelabuhan: Ambon New Port dan Isu Pro-Kontra
Proyek Ambon New Port (ANP) dan Lumbung Ikan Nasional (LIN) merupakan inisiatif strategis yang telah dicanangkan sejak beberapa periode pemerintahan, dengan tujuan utama untuk mengoptimalkan potensi perikanan Maluku dan menjadikannya pusat perikanan ekspor. Namun, perjalanan proyek ini diselimuti oleh ketidakpastian dan kontradiksi.
Sebuah narasi publik yang berkembang luas mengklaim bahwa proyek ANP dan LIN telah dibatalkan. Alasan yang diungkapkan oleh perwakilan rakyat daerah Maluku adalah adanya gunung berapi aktif di dasar laut pada lokasi yang direncanakan. Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Maluku secara tegas membantah isu ini, menyebutnya sebagai disinformasi yang dipolitisasi. Pihak pemerintah pusat, dalam klarifikasi mereka, mengaku terkejut dengan kabar pembatalan tersebut dan menegaskan bahwa proyek ini tetap berjalan sebagai Proyek Strategis Nasional yang direncanakan beroperasi pada tahun 2025.
Selain kontradiksi narasi ini, proyek tersebut juga menghadapi tantangan sosial yang signifikan. Laporan dari aktivis mahasiswa menyoroti adanya potensi pelanggaran hak asasi manusia terkait proses pembebasan lahan di Dusun Batu Dua (Waai), di mana masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam negosiasi dan bahkan menerima ancaman verbal. Konflik dan diskomunikasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan masyarakat lokal ini menunjukkan bahwa implementasi proyek berskala besar tidak hanya terkendala oleh aspek teknis atau geologis, tetapi juga oleh isu-isu sosial, politik, dan komunikasi yang buruk. Ketidakjelasan dan ketidakpastian ini menghambat proses pembangunan yang seharusnya transparan dan berkeadilan.
Berikut adalah tabel ringkasan yang mengkapsulasi proyek-proyek dan inisiatif utama dalam arsitektur kota Ambon, serta dampak multi-sektornya:
Tabel 1. Tinjauan Komprehensif: Proyek dan Kebijakan Pembangunan di Kota Ambon
| Nama Proyek/ Inisiatif | Tujuan Utama | Dampak Positif | Dampak Negatif/ Tantangan | Status |
| Jembatan Merah Putih | Memper- cepat mobi- litas, meng- hubungkan kawasan Poka dan Galala | Efisiensi wkt tempuh, akselerasi ekonomi, simbol rekonsiliasi | Kemacetan di pusat kota, marginalisasi pendayung perahu, dampak lingkungan | Selesai & Beroperasi |
| Rencana Coastal Road | Mengurai ke-macetan, memper- cantik wajah Teluk Ambon | Menghindari isu pembe- basan lahan di darat, menciptakan jalur ekonomi baru | Berpotensi merusak ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang), isu reklamasi | Tahap Perencanaan Awal |
| Ambon New Port (ANP) & LIN | Menjadikan Maluku sbg lumbung ikan nasional, pusat ekspor perikanan | Mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan taraf hidup masyarakat | Ketidak- pastian isu pembatalan, tantangan pembebasan lahan, peno- lakan masy. | Belum Jelas (Wacana/ Tahap Studi) |
| Alih Fungsi Terminal Passo | Membangun kantor Balai Kota baru yang repre- sentatif | Memanfaat- kan aset publik mangkrak, pemerataan pemba- ngunan, efisiensi anggaran | Perlu biaya rehabilitasi, potensi polemik transisi | Rencana Implemen- tasi |
| Penataan Pasar Mardika | Menertibkan pedagang, menciptakan pasar yang bersih dan nyaman | Mengurai kemacetan, meningkatkan ketertiban, menyedia- kan fasilitas berjualan | Membutuh- kan kerja- sama multi- pihak, mengubah kebiasaan pedagang, potensi resistansi | Berjalan bertahap |
Manajemen Urban dan Kualitas Hidup Warga Kota
Alih Fungsi Terminal Transit Passo: Dari Aset Mangkrak ke Pusat Pemerintahan Baru
Selama bertahun-tahun, Terminal Transit Passo di Kecamatan Baguala berdiri sebagai simbol pemborosan anggaran publik. Dibangun pada masa kepemimpinan Wali Kota MJ Papilaja dengan anggaran puluhan miliar rupiah, terminal ini terbengkalai dan tidak berfungsi sama sekali. Kondisi ini menciptakan narasi tentang ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola aset strategis.
Namun, aset mangkrak ini kini berada di pusat rencana transformatif. Pemerintah Kota Ambon berencana mengalihfungsikan Terminal Transit Passo menjadi Balai Kota Ambon yang baru. Rencana ini didasarkan pada kebutuhan mendesak akan kantor pemerintahan yang lebih memadai, mengingat kondisi kantor lama yang tidak lagi mampu mengakomodasi kebutuhan pelayanan publik yang semakin kompleks dan mengalami kerusakan.
Keputusan untuk memanfaatkan kembali terminal terbengkalai ini mencerminkan sebuah pergeseran dari paradigma pembangunan yang bersifat “megah” ke pendekatan yang lebih pragmatis dan efisien. Alih-alih membangun gedung baru dari nol, yang akan memakan biaya dan waktu yang signifikan, pemerintah memilih untuk merehabilitasi dan mengoptimalkan aset yang sudah ada. Keputusan ini juga sejalan dengan visi pemerataan pembangunan di Kota Ambon. Dengan memindahkan pusat pemerintahan ke Passo, yang merupakan kawasan timur kota, diharapkan akan terjadi akselerasi ekonomi dan pemerataan pembangunan yang selama ini terpusat di kawasan tengah kota. Langkah ini dinilai sebagai solusi strategis yang tidak hanya mengatasi masalah infrastruktur, tetapi juga mengirimkan pesan kuat tentang efisiensi anggaran dan keberpihakan pada pembangunan yang merata dan berkeadilan.
Manajemen Mobilitas: Tantangan Kemacetan dan Kebijakan Intervensi
Kemacetan adalah salah satu tantangan urban paling kronis di Kota Ambon, yang disebabkan oleh laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang mencapai 10 persen per tahun, tidak diimbangi dengan pertumbuhan ruas jalan yang baru. Kondisi ini diperparah oleh fenomena “corong” yang disebabkan oleh Jembatan Merah Putih, di mana volume kendaraan yang masuk ke pusat kota membanjiri ruas jalan yang terbatas.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah kota telah menerapkan berbagai kebijakan intervensi. Upaya jangka pendek mencakup uji coba rekayasa lalu lintas di ruas Jalan Jenderal Sudirman dan Tulukabessy. Pemerintah juga melakukan penertiban secara berkala, baik terhadap kelengkapan administrasi angkutan kota (angkot) di Terminal Mardika dan jalan protokol, maupun terhadap kendaraan yang menggunakan badan jalan sebagai tempat parkir. Langkah-langkah ini didukung oleh penegakan peraturan yang tegas, termasuk denda dan penderekan.
Salah satu kebijakan yang paling inovatif adalah penerapan “Jumat tanpa kendaraan dinas” bagi para pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan efisiensi bahan bakar, tetapi juga menghubungkan masalah transportasi dengan masalah lingkungan. Anggaran senilai Rp5 miliar yang seharusnya digunakan untuk pengadaan kendaraan dinas dialihkan untuk penanganan masalah sampah. Pendekatan ini menunjukkan pemikiran strategis yang holistik, di mana masalah urban tidak dianggap terpisah, melainkan saling terkait. Dengan mengalihkan sumber daya fiskal dari satu sektor ke sektor prioritas lain yang lebih membutuhkan, pemerintah menunjukkan model tata kelola yang adaptif dan responsif terhadap tantangan riil yang dihadapi masyarakat.
Penataan Pasar Mardika: Merebut Kembali Ruang Publik
Pasar Mardika merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi yang paling vital dan padat di Ambon. Namun, pasar ini juga menjadi sumber masalah kesemrawutan dan kemacetan, terutama akibat menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) yang menggunakan badan jalan dan area terminal sebagai lapak jualan. Kondisi ini tidak hanya mengganggu kelancaran lalu lintas, tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak tertib dan kurang nyaman bagi pembeli dan masyarakat umum.
Pemerintah Kota Ambon telah mengambil langkah-langkah tegas untuk menertibkan dan menata kembali kawasan Pasar Mardika. Penertiban ini dipimpin langsung oleh Wali Kota Ambon dan didukung oleh pembentukan tim terpadu yang melibatkan TNI, Polri, dan jajaran pemerintah kota. Sebagai solusi jangka panjang, pemerintah berencana menerapkan sistem shift bagi para pedagang. Pedagang sayur, ikan, dan kebutuhan pokok akan beroperasi dari pukul 03.00 pagi hingga 15.00 sore, sedangkan PKL akan menempati area pasar dari pukul 16.00 sore hingga 02.00 subuh. Dengan skema ini, terminal dan jalan tidak lagi digunakan untuk berjualan, sehingga ruang publik dapat dikembalikan kepada fungsinya semula.
Membangun Identitas dan Keberlanjutan
Ambon City of Music: Dari Visi Budaya ke Perekonomian Kreatif
Ambon tidak hanya berinvestasi pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada “aset lunak” yang paling melekat pada identitasnya: musik. Pengakuan Ambon sebagai UNESCO City of Music pada tahun 2016 adalah puncak dari sebuah visi yang dicanangkan sejak 2011. Filosofi di balik visi ini adalah bahwa musik merupakan “DNA” yang tak terpisahkan dari masyarakat Ambonese.
Visi ini diimplementasikan melalui lima pilar strategis yang memandu seluruh program pembangunan: Musisi dan Komunitas, Infrastruktur, Industri dan Edukasi Musik, Nilai Sosial-Budaya, dan peran Ambon Music Office (AMO) sebagai pelaksana. AMO bertugas menyiapkan strategi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan kota untuk merealisasikan rencana aksi yang telah ditetapkan.
Pendekatan ini merupakan model pembangunan yang progresif. Secara tradisional, ekonomi Ambon bergantung pada sektor perikanan dan maritim. Dengan memposisikan musik sebagai pilar pembangunan ekonomi kreatif, pemerintah secara strategis berupaya mendiversifikasi sumber pertumbuhan kota. Aset budaya yang kuat diubah menjadi modal utama untuk menciptakan sumber daya manusia dan lapangan kerja baru, yang tidak bergantung pada sumber daya alam. Ini adalah langkah penting menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan, di mana identitas dan tradisi budaya menjadi motor inovasi dan branding kota di tingkat global.
Pembangunan Berkelanjutan: Mengatasi Isu Lingkungan yang Menghantui
Pembangunan di Ambon tidak lepas dari tantangan lingkungan yang masif, terutama terkait pengelolaan sampah, banjir, dan longsor. Isu-isu ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan dan realita di lapangan.
1. Pengelolaan Sampah: Antara Inovasi dan Skala Tantangan
Kota Ambon menghasilkan volume sampah yang sangat besar, dengan rata-rata 246 ton sampah plastik per hari. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah kota telah bermitra dengan pihak swasta dan internasional untuk meluncurkan program Smart Waste Ambon. Model inovatif ini berfokus pada pendekatan holistik, mulai dari edukasi dan kesadaran masyarakat (2.000 rumah tangga dan siswa sekolah), implementasi sistem pemilahan sampah di lima titik pengumpulan, hingga pengangkutan yang efisien menggunakan truk pemadat. Proyek ini juga berhasil menciptakan 28 pekerjaan yang “hijau, aman, dan sehat” bagi pekerja dari sektor informal. Namun, meskipun program Smart Waste menunjukkan potensi sebagai cetak biru yang dapat direplikasi, skala tantangan volume sampah yang masif (246 ton/hari) menunjukkan bahwa solusi inovatif ini perlu diadaptasi dan diperluas secara signifikan untuk mencapai dampak yang berkelanjutan.
2. Isu Banjir dan Longsor: Menyoroti Keterkaitan Ekologis
Bencana banjir dan tanah longsor yang sering terjadi di Ambon bukanlah semata-mata fenomena alam, tetapi konsekuensi langsung dari degradasi lingkungan yang dipicu oleh aktivitas manusia. Topografi Ambon yang didominasi oleh lereng terjal (sekitar 73% wilayahnya memiliki kemiringan di atas 20%) membuatnya sangat rentan terhadap erosi. Penebangan hutan secara liar dan pembangunan yang tidak terkendali menyebabkan erosi tanah dan sedimentasi di Daerah Aliran Sungai (DAS). Ketika sedimentasi meningkat, kapasitas sungai untuk menampung aliran air berkurang, sehingga memicu luapan dan banjir saat curah hujan tinggi. Hal yang sama terjadi pada lereng gunung yang gundul, di mana tidak ada lagi vegetasi yang menahan air, sehingga memicu tanah longsor. Kondisi ini menuntut pendekatan pembangunan yang lebih holistik, di mana perencanaan tata ruang harus memprioritaskan konservasi lahan kritis dan DAS, bukan hanya pembangunan infrastruktur fisik.
Tabel 2. Analisis Tantangan Lingkungan dan Tata Ruang
| Isu Urban | Penyebab Utama | Upaya Kebijakan/ Solusi | Kesenjangan/ Tantangan |
| Kemacetan | Laju pertumbuh- an kendaraan tinggi (10%/thn), pertumbuhan jalan yg stagnan, dampak “corong” JMP | Rekayasa lalu lintas, penertiban kendaraan, kebijakan “Jumat tanpa kendaraan dinas” | Solusi rekayasa bersifat semen- tara, volume kendaraan ttp tinggi, perlu masterplan transportasi terintegrasi |
| Pengelolaan Sampah | Volume sampah plastik tinggi (246 ton/hari), kurangnya kesadaran pemilahan sampah | Program Smart Waste Ambon (edukasi, pemilahan, fasilitas sorting) | Skala proyek yg masih terbatas dibandingkan vol sampah total; butuh replikasi dan dukungan finansial berkelanjutan |
| Banjir & Longsor | Sedimentasi DAS, penebangan hutan liar, topo- grafi berlereng curam | Rehabilitasi drainase, pembangunan sarana prasarana sanitasi | Penyebab struk- tural (degradasi ekosistem) blm tertangani secara fundamental; butuh penegakan hukum dan konservasi lahan |
| Degradasi Mangrove | Pemanfaatan lahan tak ter- kendali untuk per mukiman, pasar, dan fasilitas komersial | Penyusunan AMDAL untuk proyek besar (Coastal Road), rencana rekonservasi | Pertumbuhan ekonomi yang cepat berpotensi mengorbankan kelestarian lingkungan vital |
Penutup: Ambon di Persimpangan Jalan—Visi, Realita, dan Harapan
Perjalanan pembangunan Kota Ambon mencerminkan dinamika yang kompleks antara ambisi besar dan tantangan mendasar. Proyek-proyek monumental seperti Jembatan Merah Putih dan rencana Coastal Road menunjukkan keinginan kuat untuk bertransformasi menjadi kota modern yang efisien dan terhubung. Di sisi lain, isu-isu kronis seperti kemacetan, tumpukan sampah, dan degradasi lingkungan mengungkap bahwa keberhasilan pembangunan fisik tidak dapat dipisahkan dari tata kelola yang efektif dan pendekatan yang berkelanjutan.
Kota Ambon saat ini berada di persimpangan jalan, di mana masa depannya akan ditentukan oleh bagaimana pemerintah dan masyarakat mengelola ambiguitas dan kontradiksi yang ada. Isu-isu seperti narasi yang bertentangan terkait proyek Ambon New Port dan ketimpangan sosial akibat JMP menunjukkan perlunya transparansi dan partisipasi publik yang lebih kuat. Sementara itu, inisiatif kreatif seperti Ambon City of Music dan Smart Waste Ambon menawarkan model pembangunan yang lebih berorientasi pada modal manusia, inovasi, dan keberlanjutan.
Untuk melangkah maju, Ambon perlu memprioritaskan beberapa pilar strategis. Pertama, integrasi multi-sektor menjadi kunci. Proyek infrastruktur tidak boleh dibangun dalam isolasi. Sebaliknya, setiap proyek harus terintegrasi penuh dengan masterplan tata ruang, lalu lintas, dan lingkungan. Kedua, partisipasi publik dan transparansi harus diperkuat, terutama dalam menyelesaikan isu-isu sensitif seperti pembebasan lahan, agar setiap pembangunan dapat berjalan secara adil dan berkeadilan. Ketiga, investasi pada modal manusia dan aset lunak harus terus digalakkan. Dengan terus memanfaatkan budaya musik dan inovasi berbasis komunitas, Ambon dapat membangun fondasi ekonomi dan sosial yang tidak hanya kuat, tetapi juga tangguh dan berkelanjutan di tengah tantangan zaman yang terus berubah.