Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah inisiatif mulia yang digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi masalah gizi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia, khususnya bagi anak-anak sekolah. Namun, ketika laporan tentang belatung dalam makanan siswa di Maluku mencuat ke permukaan, ini bukan sekadar insiden kecil, melainkan sebuah alarm serius yang menguji integritas, akuntabilitas, dan efektivitas program ini secara keseluruhan.
Insiden belatung di SD Kristen Seri, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, pada 23 Juli 2025, bukan hanya menjijikkan tetapi juga memicu pertanyaan mendasar: bagaimana ini bisa terjadi dalam program yang bertujuan untuk memberikan gizi terbaik bagi generasi penerus bangsa? Ini bukan kali pertama isu kebersihan makanan muncul di Maluku, meskipun kasus belatung dalam konteks MBG ini memiliki bobot yang berbeda.
Program MBG di Maluku
Program MBG diluncurkan secara resmi pada 6 Januari 2025, menjangkau 26 provinsi, termasuk Maluku, dengan target awal 600.000 penerima manfaat. Di Maluku, uji coba program ini dimulai pada 19 Desember 2024 di SD Negeri 3 Kota Ternate, Maluku Utara. Tujuannya mulia: memastikan anak-anak Indonesia, terutama di daerah terpencil, mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan prestasi belajar mereka. Makanan disediakan melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yang melibatkan UMKM lokal, petani, dan nelayan, dengan pengawasan ketat dari ahli gizi dan akuntan. Namun, kejadian di Ambon menunjukkan bahwa visi besar ini tidak berjalan mulus.
Kronologi Kasus di SD Kristen Seri
Menurut laporan, makanan yang dibagikan kepada siswa SD Kristen Seri ditemukan mengandung belatung, menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap kualitas program MBG. Meski belum ada pernyataan resmi dari Badan Gizi Nasional (BGN) atau pihak sekolah terkait kasus ini, kejadian tersebut telah memicu diskusi luas di media sosial. Publik mempertanyakan bagaimana makanan yang seharusnya melalui pemeriksaan ketat bisa sampai ke tangan siswa dalam kondisi tak layak konsumsi.
Kasus ini bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 14 Juli 2025, di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, siswa SMAN dan SMKN Tambakboyo menemukan larva dalam makanan MBG mereka. Video amatir yang viral menunjukkan larva hidup dalam kotak makanan berisi nasi dan ayam, memicu kritik keras. Di Manggarai Barat, NTT, pada Februari 2025, laporan serupa tentang “ulat sayur” dalam makanan MBG juga muncul, meskipun pihak berwenang membantah bahwa itu adalah belatung dan menegaskan makanan tetap aman.
Lebih dari Sekadar Belatung: Isu Sistemik di Balik Layar
Ketika kita berbicara tentang belatung dalam makanan, kita tidak hanya berbicara tentang satu atau dua ulat, melainkan sebuah indikasi kuat adanya masalah sistemik dalam rantai pasok dan pengawasan program. Beberapa poin krusial yang perlu digarisbawahi adalah:
- Kualitas Bahan Baku dan Penyimpanan. Belatung biasanya muncul dari telur lalat yang diletakkan pada bahan makanan yang membusuk atau tidak segar, atau dari kontaminasi silang. Ini mengindikasikan bahwa bahan baku yang digunakan mungkin tidak memenuhi standar kualitas yang layak, atau cara penyimpanannya sangat buruk sehingga memungkinkan lalat bersarang dan bertelur. Bagaimana proses pengadaan bahan baku oleh penyedia makanan? Apakah ada standar ketat dan audit mendadak terhadap pemasok?
- Proses Pengolahan yang Abai Standar Higiene. Dapur tempat makanan diolah seharusnya menjadi tempat yang paling steril. Kehadiran belatung menunjukkan adanya kelalaian parah dalam praktik higiene dan sanitasi selama proses memasak. Apakah peralatan yang digunakan bersih? Apakah penjamah makanan memiliki pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya kebersihan personal dan kebersihan lingkungan? Mengapa ada rekomendasi dari Badan Pangan Nasional (BGN) untuk tidak memasukkan sayur mentah? Ini menunjukkan adanya kelemahan dalam pemahaman tentang penanganan bahan makanan yang rentan.
- Pengawasan dan Kontrol Kualitas yang Lemah. Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku telah mengadakan Rakor Survei Khusus Monitoring dan Evaluasi Program MBG, dan ada persyaratan untuk menjadi mitra program, insiden ini menunjukkan bahwa implementasi di lapangan masih jauh dari sempurna. Siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap porsi makanan yang sampai ke tangan siswa sudah lolos inspeksi kualitas dan kebersihan? Apakah ada mekanisme pengaduan yang efektif dan responsif yang benar-benar ditindaklanjuti?
- Akuntabilitas dan Transparansi. Ketika insiden seperti ini terjadi, respons cepat dari pemerintah daerah seperti yang ditunjukkan oleh Wali Kota Ambon yang meminta agar kasus ini diproses hukum, patut diapresiasi. Namun, akuntabilitas tidak berhenti pada penindakan hukum terhadap pelaku langsung. Akuntabilitas juga harus meluas ke pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pengawasan, seleksi penyedia, dan keseluruhan manajemen program. Siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban atas kegagalan sistemik ini? Transparansi mengenai hasil investigasi dan langkah-langkah perbaikan yang konkret sangat penting untuk membangun kembali kepercayaan publik.
Membangun Kembali Kepercayaan: Langkah ke Depan
Kasus belatung ini adalah momentum krusial bagi program MBG untuk berbenah diri. Beberapa langkah mendesak dan mendalam perlu diambil:
- Audit Menyeluruh Rantai Pasok. Pemerintah perlu melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh rantai pasok makanan, mulai dari pemasok bahan baku hingga proses distribusi. Ini harus mencakup inspeksi mendadak, pengujian sampel makanan secara berkala, dan penegakan standar kebersihan yang ketat.
- Peningkatan Kapasitas dan Pelatihan. Semua pihak yang terlibat dalam pengolahan dan distribusi makanan, mulai dari juru masak hingga penanggung jawab program, harus mendapatkan pelatihan intensif mengenai standar higiene, penanganan makanan yang aman, dan kontrol kualitas.
- Sistem Pengaduan dan Respons Cepat. Perlu ada sistem pengaduan yang mudah diakses, transparan, dan responsif bagi siswa, orang tua, dan guru. Setiap laporan harus ditindaklanjuti dengan investigasi cepat dan langkah perbaikan yang jelas.
- Penegakan Hukum yang Tegas. Pihak yang terbukti lalai dan menyebabkan insiden seperti ini harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku, untuk memberikan efek jera dan menunjukkan komitmen pemerintah terhadap keamanan pangan anak-anak.
- Keterlibatan Komunitas. Orang tua dan komunitas sekolah harus diberdayakan untuk ikut serta dalam mengawasi program ini. Partisipasi aktif mereka bisa menjadi “mata” tambahan yang memastikan kualitas dan kebersihan makanan.
Harapan untuk Masa Depan
Program MBG memiliki potensi besar untuk mengubah masa depan anak-anak Indonesia, termasuk di Maluku, yang sering kali menghadapi tantangan akses pangan bergizi. Namun, keberhasilan program ini bergantung pada komitmen untuk menjaga kualitas dan kepercayaan publik. Kasus belatung di SD Kristen Seri adalah pengingat bahwa niat baik saja tidak cukup—eksekusi yang cermat dan pengawasan ketat adalah kunci. Dengan target pemerintah menjangkau 15 juta penerima manfaat pada Desember 2025, masih ada waktu untuk memperbaiki sistem dan memastikan setiap anak mendapatkan makanan bergizi yang aman dan layak.
Mari kita dukung visi Indonesia bebas stunting, tetapi juga tuntut akuntabilitas agar makanan yang sampai ke piring anak-anak kita benar-benar mendukung kesehatan dan masa depan mereka.