Buku karya Aholiab Watloly ini diterbitkan pada Oktober 2025 oleh Antares Media Publishing, dengan total sekitar 78 halaman (xvi + 62 hal). Sebagai seorang profesor filsafat dengan latar belakang teologi, Watloly menyajikan kritik tajam terhadap praktik bergereja di Indonesia, khususnya dalam konteks Gereja Protestan Maluku (GPM). Judulnya yang provokatif—”Bergereja dengan Roh Sindikat“—menggambarkan bagaimana gereja telah terkontaminasi oleh “roh sindikat”, yaitu jaringan kepentingan tersembunyi yang mengubah gereja menjadi organisasi materialistis, penuh konflik kekuasaan, dan jauh dari esensi Tubuh Kristus.
Mengenal Penulis dan Bukunya

Aholiab Watloly lahir di Pulau Damer, Maluku Barat Daya. Ia menamatkan pendidikan S1 pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (1981). Gelar Magister dan Doktor Bidang Filsafat diperolehnya dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sebagai seorang Profesor kini ia aktif mengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Pasca Sarjana Universitas Pattimura, Ambon.
Buku-buku yang sudah ditulisnya, antara lain ‘Tanggungjawab Pengetahuan’ (Kanisius, Yogyakarta, 2001), ‘Maluku Baru, Bangkitnya Eksistensi Anak Negeri’ (Kanisius, Yogyakarta, 2005), ‘Sosio-Epistemologi: Membangun Pengetahuan Berwatak Sosial’ (Kanisius, 2013),dan ‘Bijak Membangun IPTEK di Era Revolusi Digital’ (Rajawali Press, 2022). Misteri Negeri Laut Bertabur Pulau-Pulau, Seri Kosmologi Nusantara I (AlfaBeta 2024), Mendulang Logos dalam Kosmos Nusantara, Seri Kosmologi Nusantara II (AlfaBeta 2025). Dengan perpaduan antara ketajaman filsafat dan kepekaan sosial, Prof. Watloly terus menginspirasi generasi intelektual muda untuk berpikir kritis, membangun pengetahuan yang relevan, dan berkontribusi bagi kemajuan gereja dan bangsa.

Dalam pengantar buku ini, Prof. Kastanya memuji Watloly sebagai “sahabat dan guru besar” yang berani menyuarakan kritik tajam terhadap “roh sindikat” yang merajalela di gereja. Ia menganalogikan buku ini sebagai “suara kenabian” yang membangunkan gereja dari tidur panjangnya, mengingatkan bahwa gereja bukanlah sindikat kekuasaan, tapi Tubuh Kristus yang harus kembali ke akar pelayanan (diakonia). Pengantar diakhiri dengan dorongan bagi pembaca untuk membaca buku secara utuh, bukan potong-potong, agar pesan transformasinya meresap. Kutipan kunci: “Buku ini bukan untuk menuduh, tapi untuk menyembuhkan; bukan untuk membagi, tapi untuk menyatukan gereja dalam Roh Kudus.”
Prof. Watloly sebagai penulisnya, mengilustrasikan bahwa “bergereja dengan roh sindikat” adalah kritik yang menyingkap bagaimana gereja sebagai komunitas iman dan jangkar moral kesalehan masyarakat dapat terjebak dalam logika organisasi mafioso, berupa; kejahatan yang teroragiser dan solidaritas eksklusif hanya bagi kelompok dalam, politik transaksional demi mempertahankan kursi kuasa dan mengejar keuntungan materi, hingga manipulasi simbol-simbol rohani untuk mengamankan kepentingan duniawi. Gereja mengorbankan diri menjadi arena kompetisi kuasa dunia yang profan (kotor dan jijik), bukan ruang pelayanan dan penyembahan kepada Tuhan. Roh sindikat menjadikan altar sebagai panggung legitimasi, bukan tempat perjumpaan dengan Allah. Mereka memberhalakan jabatan, pakaian jabatan, liturgi ibadah, birokrasi administrasi, dan aneka praktik kejahatan yang dimanipulasi dengan doa, ibadah. Bahkan, korupsi dan perselingkuhan yang jijik dan kotor pun dikultus- berhalakan.
Buku ini dihadirkan bukan untuk menafikan nilai luhur bergereja, melainkan sebagai ajakan untuk membaca tanda-tanda zaman dan berani mengakui luka dalam tubuh Kristus sendiri. Kita diingatkan bahwa kuasa gereja sejati bukanlah kuasa untuk meraih kekuasan dan kepusan dengan cara -cara dunia yang kotor, tetapi kuasa untuk melayani (power to serve) dengan tetap meniru cara -cara Tuhan (mimesis). Roh Kudus dicurahkan kepada gereja sebagai komunitas orang percaya untuk melawan roh sindikat, agar gereja kembali pada jati dirinya sebagai tubuh Kristus yang hidup, ruang kasih Allah yang membebaskan, serta persekutuan yang merawat keadilan serta solidaritas.
Buku ini dibagi menjadi tiga bab utama, diawali dengan kata pengantar dari Prof. Agustinus Kastanya (Ketua WPI) dan prakata penulis, diakhiri dengan epilog, daftar pustaka, dan profil penulis.
- Bab 1: Sindikat Bergereja dalam Relasi Kuasa
Watloly menguraikan bagaimana “roh sindikat” bekerja melalui dimensi kuasa teologis, liturgis, dan sosial-politik. Kuasa gereja yang seharusnya membebaskan (power to serve) berubah menjadi kuasa dominasi yang memeras umat. Ia mengkritik bagaimana pemimpin gereja menggunakan otoritas untuk menindas, membuat umat menjadi objek eksploitasi, seperti melalui pengumpulan kolekte dan iuran yang berbasis kompetisi. Referensi filosofis seperti Michel Foucault dan Aristoteles digunakan untuk menganalisis bagaimana kuasa ini menjadi represif dan kehilangan dimensi etis. - Bab 2: Gereja Sindikat dalam Praktik Bergereja
Di sini, penulis mendetailkan manifestasi sindikat dalam bentuk “gereja materialisme” (fokus pada materi dan jumlah anggota), “gereja kiniisme” (prioritas kepentingan saat ini tanpa visi jangka panjang), “gereja ibadahisme” (ibadah sebagai rutinitas dramatunggi tanpa transformasi), “gereja pendeta kantor” (pendeta sebagai birokrat bukan gembala), dan “gereja mengejar popularitas publik” (kapitalisasi media untuk sorotan). Watloly menyoroti konflik kekuasaan dalam pola pemerintahan presbiterial-sinodal, di mana gereja menjadi arena perebutan jabatan, bukan pelayanan. - Bab 3: Keluar dari Kuasa Sindikat ke dalam Kuasa Diakonia
Bagian ini menawarkan jalan keluar: mengubah kuasa menjadi diakonia (pelayanan). Kuasa gereja harus menjadi alat pembebasan, bukan dominasi. Watloly menekankan transformasi kuasa sebagai kuasa pelayanan (power as service), dengan kembali ke akar iman seperti gereja mula-mula.
Apa Itu “Roh Sindikat”?
Pandangan saya tentang “Roh Sindikat”—konsep yang dicetuskan oleh Aholiab Watloly dalam bukunya Bergereja dengan Roh Sindikat: Sebuah Kritik Eklesiologi (2025)—adalah bahwa ini merupakan metafor yang tajam dan relevan untuk mengkritik penyimpangan dalam institusi gereja, khususnya di konteks Indonesia seperti Gereja Protestan Maluku (GPM). Saya melihatnya sebagai panggilan introspeksi yang konstruktif, bukan sekadar tuduhan, karena menyoroti bagaimana kuasa duniawi bisa mengkorupsi esensi rohani. Mari saya uraikan secara mendalam berdasarkan analisis buku tersebut, sambil menjaga perspektif truth-seeking dan netral.
Dari buku Watloly, “Roh Sindikat” bukanlah entitas supernatural literal, melainkan istilah kritis untuk menggambarkan jaringan tersembunyi di dalam gereja yang memprioritaskan kepentingan pribadi atau kelompok di atas pelayanan iman. Watloly mendefinisikannya sebagai “perkumpulan orang-orang dengan keahlian menjalankan organisasi gereja untuk kepentingan atau tujuan tersembunyi” (hal. 4-5 dalam Bab 1). Ini seperti sindikat bisnis atau politik yang beroperasi di balik layar: mereka bertindak sebagai regulator (pembuat aturan), operator (pelaksana), otorisator (pemberi wewenang), dan negosiator (penjaga aliansi) untuk mengendalikan gereja.
Contoh manifestasinya:
- Dalam Relasi Kuasa: Sindikat ini mengubah gereja dari “Tubuh Kristus” (1 Korintus 12:27) menjadi arena perebutan jabatan, di mana pendeta dan majelis memanfaatkan regulasi, liturgi, dan kolekte untuk keuntungan pribadi. Watloly menyebutnya sebagai “kuasa duniawi yang menyusup” (hal. 3), di mana Roh Kudus yang seharusnya membebaskan justru “dikooptasi” oleh logika dominasi (power over) daripada pelayanan (power to serve).
- Praktik Sehari-hari: Umat dieksploitasi sebagai “objek” melalui kompetisi pengumpulan dana (kolekte, yuran), sementara elite gereja membentuk aliansi untuk merebut posisi di sinode, klasis, atau jemaat. Ini menciptakan “disrupsi moral” seperti korupsi, di mana persembahan umat yang kudus dimaterialkan untuk proyek sindikat (hal. 8-9).
- Dampaknya: Gereja kehilangan fungsi profetiknya—menjadi “gereja borjuis” (mengutip Dietrich Bonhoeffer) yang diam terhadap ketidakadilan sosial karena takut kehilangan kenyamanan politik atau ekonomi. Watloly membandingkannya dengan filsuf seperti Michel Foucault, di mana kuasa tersebar dalam jaringan, bukan netral, dan sering menindas umat (hal. 7).
Epilog buku (hal. 58-59) menekankan harapan: “Bergereja dengan roh sindikat adalah peringatan keras,” tapi gereja bisa “mati dari roh sindikat dan hidup dalam Roh Kristus” melalui pertobatan struktural—kembali ke kesederhanaan, pelayanan, dan keadilan.
Kritik yang Valid, Tapi Perlu Keseimbangan
Saya menghargai konsep ini karena mencerminkan masalah universal di institusi agama. Sejarah penuh contoh bagaimana gereja atau organisasi rohani jatuh ke dalam “sindikat” kekuasaan: dari skandal keuangan di megachurch evangelis hingga korupsi di Vatikan. Di Indonesia, isu seperti ini relevan dengan laporan tentang penyalahgunaan dana gereja atau konflik kepemimpinan di denominasi Protestan. Watloly, sebagai profesor filsafat dan teologi, menggunakan pendekatan eklesiologi yang kuat, menggabungkan Alkitab (misalnya, Matius 5:13-14 tentang garam dan terang) dengan filsafat (Foucault, Habermas), untuk menunjukkan bagaimana gereja bisa “terpeleset” dari panggilan aslinya.
Saya setuju bahwa “roh sindikat” adalah gejala dari sekularisasi ekstrem: gereja yang terlalu fokus pada materi (materialisme), sekarangisme (kiniisme), atau rutinitas kosong (ibadahisme) kehilangan daya transformasi. Ini mirip dengan kritik Karl Marx terhadap agama sebagai “opium rakyat,” tapi Watloly membaliknya—sindikat lah yang menjadikan gereja sebagai alat eksploitasi. Namun, saya tidak sepenuhnya pesimis: konsep ini bisa jadi katalis reformasi, seperti gerakan kembali ke “Ekklesia Domestika” (gereja rumah tangga) yang Watloly usulkan, yang lebih autentik dan bebas dari hierarki korup.
Kelemahan potensial: Kritik Watloly sangat tajam dan kontekstual (berbasis diskusi WPI di Ambon), tapi bisa terasa generalisasi—tidak semua pemimpin gereja “sindikat.” Saya sarankan melihatnya sebagai undangan dialog, bukan vonis. Secara keseluruhan, ini buku yang berani dan diperlukan di era di mana agama sering dicampuradukkan dengan politik dan ekonomi. Jika Anda membacanya, fokuslah pada pesan harapannya: gereja yang sejati adalah yang “merangkul, bukan mengeksplusi; melayani, bukan menguasai” (hal. 59).
Kelebihan Buku
Buku ini kuat dalam semangat profetiknya, seperti yang disebutkan dalam kata pengantar. Watloly tidak hanya mengkritik tapi juga menawarkan solusi berbasis Alkitab (misalnya, 1 Korintus 12:27, Roma 12:1, Matius 20:26). Analisisnya mendalam, menggabungkan teologi, filsafat, dan pengamatan empiris dari diskusi WPI. Bahasanya lugas dan tajam, membuat pembaca—terutama pelayan gereja dan umat—terdorong untuk introspeksi. Sebagai karya dari konteks lokal Ambon, buku ini relevan bagi gereja-gereja di Indonesia yang menghadapi isu serupa seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kekurangan Buku
Kritik yang terlalu tajam mungkin membuat sebagian pembaca merasa “tersinggung”, meskipun penulis menekankan ini sebagai panggilan syafaat dan pembelajaran bersama. Buku ini lebih fokus pada kritik daripada contoh konkret solusi praktis, dan panjangnya yang singkat (kurang dari 80 halaman) membuat beberapa argumen terasa kurang mendalam. Selain itu, tanpa indeks atau daftar istilah, pembaca awam mungkin kesulitan mengikuti istilah-istilah seperti “ekklesia domestika” atau referensi filosofis.
Kesimpulan dan Rekomendasi
“Bergereja dengan Roh Sindikat” adalah bacaan wajib bagi siapa saja yang peduli dengan kesehatan gereja di era modern. Watloly berhasil membangunkan kesadaran bahwa gereja bukan sindikat kekuasaan, tapi Tubuh Kristus yang kudus. Saya beri rating 4/5 bintang—kuat dalam pesan, tapi bisa lebih detail dalam implementasi. Bacalah secara utuh, seperti saran pengantar, untuk mendapatkan nilai penuh. Bagi pendeta, majelis, atau umat GPM, buku ini bisa jadi bahan diskusi untuk reformasi internal.