Dalam riak-riak kegaduhan yang melanda Pati, kita tidak hanya melihat gejolak lokal, melainkan pantulan yang tajam dari sebuah realitas nasional. Pati, sebuah kabupaten yang mungkin tidak selalu menjadi sorotan, tiba-tiba menjadi panggung utama, tidak hanya bagi demonstrasi warganya, tetapi juga bagi arogansi yang mewujud dalam kebijakan dan ucapan para pejabatnya. Kejadian ini, dengan segala isinya yang menggugah, bukan sekadar insiden terisolir. Ia adalah cermin—cermin yang retak, namun memantulkan gambaran yang utuh tentang kondisi bangsa ini.
Gejala yang terjadi di Pati begitu universal. Ketika rakyat berhadapan dengan birokrasi yang tuli dan pejabat yang merasa di atas angin, maka ledakan amarah hanyalah soal waktu. Isu pajak yang menjadi pemicu di sana bukanlah semata-mata soal nominal, tetapi soal keadilan. Mengapa rakyat harus patuh membayar kewajiban, sementara di sisi lain, mereka merasa tidak mendapatkan hak-haknya, atau bahkan dilecehkan oleh mereka yang seharusnya melayani? Narasi ini bergema di banyak sudut Indonesia. Arogansi pejabat, dengan celotehan-celotehan yang tidak berempati, seolah menjadi norma baru. Kata-kata yang seharusnya merangkul, justru menjadi pedang yang melukai.
Pati, dalam kasus ini, bisa jadi adalah sebuah template nasional. Ini adalah pola yang bisa kita temukan di mana-mana. Di berbagai daerah, di berbagai tingkat pemerintahan, ada benang merah yang sama: ketidakselarasan antara harapan rakyat dengan tindakan para pemimpinnya. Ketidakpercayaan publik tidak tumbuh dalam semalam. Ia dipupuk oleh janji-janji yang tak ditepati, oleh kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan nurani, dan oleh sikap-sikap yang menunjukkan bahwa rakyat hanyalah angka dalam laporan, bukan manusia yang memiliki suara.
Namun, yang paling mengkhawatirkan dari peristiwa Pati bukanlah demonya itu sendiri, melainkan potensi eskalasi yang lebih besar. Ketika masalah lokal tidak ditangani dengan bijak, ia dapat dengan mudah menjadi api yang menyambar rumput kering di seluruh penjuru negeri. Jakarta, sebagai pusat kendali, selayaknya merasa panik. Bukan karena demonstrasinya, tetapi karena substansi di baliknya—bahwa ketidakpuasan rakyat telah mencapai titik didih. Bahwa Pati hanyalah satu dari sekian banyak bom waktu yang menunggu untuk meledak.
Refleksi ini bukan tentang menyalahkan. Ia adalah seruan untuk introspeksi. Pemerintah, dari tingkat pusat hingga daerah, perlu bertanya: mengapa suara rakyat begitu sering tidak didengar? Mengapa empati menjadi komoditas langka? Dan yang terpenting, bagaimana caranya memperbaiki cermin yang retak ini, sebelum pecah berkeping-keping, meninggalkan kita dengan serpihan-serpihan kebenaran yang menyakitkan? Pati telah memberikan kita peringatan. Kini, pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan belajar dari cermin ini, atau membiarkannya hancur, dan menciptakan kegelapan yang tidak kita inginkan.