Di pusat kota Leiden, Belanda, nama Chris Koenen (72 tahun) dikenal sebagai pilar utama dalam kancah musik blues lokal. Sebagai frontman karismatik dari Men in Blues, Koenen telah menghibur penonton selama puluhan tahun dengan riff gitar yang penuh jiwa, vokal serba bisa, dan energi panggung yang menular. Dikenal karena penampilan mingguan mereka di Cafe ‘t Praethuys, bersama Pam MacBeth, Chris dan bandnya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya musik Belanda.
Chris Koenen adalah musisi blues asal Leiden, Belanda, yang dikenal luas sebagai gitaris, vokalis, dan pilar dalam skena musik blues lokal. Dikenal karena gaya permainannya yang hangat, ekspresif, dan penuh improvisasi, Chris bukan hanya sekadar pemusik; ia juga adalah penjaga tradisi blues yang menghadirkan sentuhan personal dan sejarah keluarga yang unik ke atas panggung.

Perjalanan Musik Penuh Gairah
Sejak usia muda, Chris Koenen telah menapakkan kakinya di dunia musik dan tidak pernah menoleh ke belakang. “Saya tidak tahu persis sudah berapa lama saya menjadi musisi, tapi saya tidak pernah melakukan hal lain,” ujarnya dalam sebuah wawancara. Dedikasinya pada musik terlihat dari kemampuannya untuk terus berkembang, menghasilkan penampilan langsung yang dinamis—dari melodi lembut yang menenangkan hingga ledakan atonal yang penuh energi.
Chris Koenen, yang sering disebut sebagai “legenda hidup” di Leiden, adalah gitaris, penyanyi, dan penulis lagu dengan karier yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun. Gaya musiknya memadukan blues klasik dengan elemen folk, bluegrass, dan bahkan flamenco, dengan inspirasi dari tokoh seperti Big Bill Broonzy, Bob Dylan, Willie Dixon, dan Little Feat. Kemampuan Koenen untuk menyisipkan humor dan spontanitas dalam penampilannya—baik melalui teknik fingerpicking yang rumit maupun riff yang kuat—menjadikannya sebagai seorang performer yang istimewa dengan gitar akustik Gibson tahun 1938 miliknya yang ikonik.
Sebagai pendiri Men in Blues, Chris telah memimpin band ini menjadi ikon dalam kancah musik Leiden. Bersama personel inti seperti bassist Aad van Pijlen, drummer Martijn Groen, pemain kibor Frans Heemskerk, dan kadang-kadang gitaris slide Willem van der Wall, band ini dikenal karena repertoar eklektik mereka. Penampilan mereka mencakup cover lagu-lagu klasik hingga komposisi orisinal, disampaikan dengan energi mentah yang membuat penonton selalu kembali setiap Minggu malam di Cafe ‘t Praethuys.
Keunikan gaya bermainnya menjadikannya pemain yang tak hanya dikenal karena keterampilannya, tetapi juga karena pendekatan inovatifnya terhadap blues. Ia mampu membawa suara yang mengalun bebas, tetapi tetap memiliki struktur dan kedalaman emosional yang kuat—karakteristik utama dari musik blues sejati.
Chris Koenen memiliki kecintaan pada hal-hal yang sederhana dan bermakna, yang tercermin dari kesukaannya membaca Alkitab dan penolakannya terhadap teknologi modern. Ia menganggap Alkitab sebagai sumber inspirasi, menikmati cerita-cerita indah di dalamnya yang memberinya kedalaman emosional dan spiritual. Sebaliknya, ia menolak penggunaan ponsel atau smartphone, menyebut dirinya “romantikus keras kepala” karena merasa terganggu ketika orang-orang lebih fokus pada layar ketimbang kebersamaan langsung, menunjukkan preferensinya pada interaksi manusia yang autentik dan gaya hidup yang tidak bergantung pada teknologi.
Cafe ‘t Praethuys: Jantungan Men in Blues
Inti dari perjalanan musik Chris Koenen adalah band “Men in Blues”. Bersama bassis Aad van Pijlen, yang telah menemaninya di berbagai formasi band selama 30 tahun (termasuk Livin’ Blues dan Himalaya), serta drummer Martijn Groen yang bergabung sejak 1999, “Men in Blues” telah menjadi trio yang solid dan sangat dihormati. Sesekali, Willem van de Wall turut menyumbangkan keahlian slide guitar-nya, menambah kekayaan suara band.
“Men in Blues” secara teratur tampil setiap Minggu malam di Praethuys, Leiden, sebuah pertunjukan yang menjadi “keharusan” bagi para pecinta musik di kota tersebut. Dengan repertoar yang meliputi lagu-lagu groove dari Big Bill Broonzy, The Rolling Stones, Bob Dylan, Canned Heat, hingga karya orisinal mereka sendiri, “Men in Blues” memiliki misi untuk menyebarkan musik blues ke khalayak yang lebih luas, membuktikan bahwa Belanda juga mampu menghadirkan blues berkualitas.
Cafe ‘t Praethuys di Leiden bukan sekadar tempat manggung bagi Men in Blues—ini adalah rumah musik mereka. Selama puluhan tahun, Koenen dan bandnya telah tampil setiap minggu, mengubah malam Minggu menjadi perayaan blues, jazz, dan kebersamaan. Penampilan pada 23 Maret 2025, yang menampilkan penyanyi country Amerika-Belanda Pam MacBeth bersama Men in Blues, menjadi contoh semangat kolaboratif mereka. Pertunjukan ini, yang sering diumumkan melalui halaman Facebooknya, menarik penggemar setia dan pengunjung baru, menciptakan suasana intim di mana humor dan keahlian musik Koenen bersinar.
Selain di ‘t Praethuys, Chris juga tampil di berbagai festival seperti Biggg Muziekfestivals dan Blues Festival Delft, serta acara seperti Leidse Blues en Jazzweek. Kolaborasinya meluas ke proyek seperti Chris Koenen & Friends, yang melibatkan musisi seperti Peter Wassenaar (bas), Hans van Sleen (pedal steel), dan putranya Tijn Koenen (drum), menunjukkan kemampuannya untuk menjembatani generasi dan genre.
Jejak Nusantara dalam Kisah Pribadi

Di balik sosok musisi blues berdarah Belanda ini, terdapat kisah keluarga yang menarik. Ayahnya, Chris Koenen, adalah seorang tentara Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang pernah bertugas di Ambon pada sekitar tahun 1940-an, masa yang penuh gejolak menjelang dan sesudah Perang Dunia II. Di Ambon, ia bertemu dengan Lebrina (Brien) Siahaya-Oppier, seorang perempuan Maluku. Kisah cinta mereka berlanjut ke jenjang pernikahan, dan pasangan ini kemudian menetap di Belanda, membentuk keluarga lintas budaya.
Latar belakang ini mungkin tidak secara langsung tercermin dalam genre musiknya, namun memberikan dimensi unik pada identitas Chris Koenen, menghubungkannya dengan warisan budaya Indonesia.
Chris Koenen memiliki beberapa rekaman yang terkait dengan proyek musiknya, terutama dalam skena blues di Belanda. Berikut beberapa yang tercatat dalam diskografinya:
- Men in Blues – Live at the Q-Bus (2003) – Album mini yang menampilkan penampilan live dari bandnya, Men in Blues.
- Tilt Team – Five Balls in Play (1982) – Album yang dirilis oleh Tilt Team, salah satu grup yang pernah ia ikuti.
- The Blues Bastards – Friendship (1983) – Album yang menampilkan permainan gitar Koenen dalam proyek The Blues Bastards.
- J.A. Deelder – Deelder Drumt (1993) – Album yang melibatkan Koenen dalam kolaborasi dengan J.A. Deelder.






Warisan dan Pengaruh
Kontribusi Koenen pada kancah musik Leiden tak terbantahkan. Sebuah dokumenter pada tahun 2017 yang menyoroti karyanya bersama drummer Art Bausch merekam dampak mereka pada blues dan rock sejak tahun 1960-an. Kolaborasinya dengan artis seperti Jules Deelder, Lo van Gorp, dan band seperti The Blues Bastards dan Tilt Team telah memperkuat reputasinya sebagai sosok serba bisa dan dihormati.
Di Cafe ‘t Praethuys dan di luar itu, Chris terus menginspirasi. Penampilannya adalah bukti kekuatan abadi blues untuk menyatukan orang-orang, memadukan keterampilan teknis dengan ekspresi yang tulus. Baik ia memainkan melodi folk yang lembut atau melepaskan solo yang membara, kemampuan Koenen untuk menemukan “jiwa” sebuah lagu membuat penontonnya terpukau.
Kesimpulan
Chris Koenen bukan hanya sekadar musisi lokal; ia adalah simpul budaya yang menghubungkan sejarah kolonial, diaspora Maluku, dan musik akar dari Amerika. Dengan latar belakang keluarganya yang pernah mengalami dinamika sejarah besar — dari Ambon hingga Belanda — Chris membawa warisan tersebut ke atas panggung melalui senar gitarnya.
Dengan perjalanan karir yang panjang, dedikasi pada musik blues yang tak tergoyahkan, dan akar keluarga yang kaya, Chris Koenen adalah lebih dari sekadar musisi; ia adalah penjaga api blues di Leiden, yang kisahnya terjalin dengan benang-benang sejarah global.
https://shorturl.fm/47rLb
https://shorturl.fm/I3T8M