Pertanyaan tentang mengapa komunitas global—terutama media internasional dan lembaga kebijakan—tampaknya mengabaikan kekerasan skala besar dan berkepanjangan terhadap komunitas Kristen di Nigeria, sementara fokusnya terpusat secara intensif pada konflik Israel-Palestina di Gaza, merupakan permasalahan etika dan struktural yang penting dalam hubungan internasional. Premis yang mendasari analisis ini adalah bahwa jumlah korban kumulatif akibat kekerasan di Nigeria, terutama di wilayah Middle Belt dan Timur Laut, mungkin melebihi total fatalitas yang terjadi dalam eskalasi akut di Gaza.
Konflik Nigeria: Krisis Kemanusiaan yang Kronis dan Multi-Dimensi
Kekerasan di Nigeria tidak dapat didefinisikan sebagai satu konflik tunggal. Sebaliknya, kekerasan ini terdiri dari beberapa tipologi yang saling terkait dan telah berlangsung selama lebih dari satu dekade, terutama mempengaruhi komunitas Kristen di wilayah utara dan tengah negara tersebut.
Tipologi dan Sifat Kekerasan Berkepanjangan
Kekerasan di Nigeria melibatkan tiga aktor dan dinamika utama:
- Pemberontakan Jihadis: Kelompok seperti Boko Haram dan ISWAP (Islamic State West Africa Province) yang beroperasi di Timur Laut, melakukan serangan terorisme dengan motif ideologis yang jelas.
- Konflik Petani-Peternak (Farmer-Herder): Terutama di Middle Belt, ini adalah bentrokan yang secara formal dibingkai sebagai sengketa lahan atau ekologis. Namun, bentrokan ini memiliki dimensi agama dan etnis yang sangat kuat, sering melibatkan peternak Fulani (mayoritas Muslim, nomaden) melawan komunitas petani Kristen non-Fulani.
- Aksi Bandit Bersenjata: Kelompok bandit yang melakukan pembunuhan, penjarahan, dan penculikan massal, seringkali memanfaatkan kekosongan keamanan yang ditinggalkan oleh konflik agama atau ekologis.
Kekerasan ini telah menyebar melampaui benteng tradisional Boko Haram di Utara, meluas ke Middle Belt dan bahkan lebih jauh ke selatan. Pergeseran ini mempersulit upaya mitigasi oleh pemerintah pusat dan memungkinkan dunia luar untuk mengklasifikasikannya sebagai “kekerasan antar-komunal” yang kacau daripada serangan ideologis terpadu. Kekerasan yang terdesentralisasi dan kronis ini kurang menarik bagi media internasional yang membutuhkan narasi tunggal dan pelaku yang mudah diidentifikasi. Akibatnya, jaringan berita global sering menghindari konflik yang dianggap terlalu kompleks untuk dijelaskan dalam format berita breaking news yang ringkas.
Akumulasi Korban Fatalitas Jangka Panjang
Meskipun laporan berita individu mencatat insiden kekejaman yang berkelanjutan—seperti 27 orang tewas akibat kerusuhan agama, lonjakan korban hingga 45 orang akibat kekerasan etnis, 367 orang tewas dalam konflik agama di masa lalu, atau serangan mematikan yang menewaskan hingga 100 orang dalam satu insiden di Benue—fokus ini gagal menangkap skala kumulatif tragedi Nigeria.
Organisasi advokasi agama dan kemanusiaan seperti Open Doors secara konsisten melaporkan bahwa lebih banyak orang Kristen dibunuh karena iman mereka di Nigeria daripada gabungan negara lain di dunia. Klaim ini mengimplikasikan bahwa jumlah korban fatalitas kumulatif di Nigeria selama periode waktu yang panjang (misalnya, sejak 2009) mencapai puluhan ribu, memberikan validasi terhadap premis pengguna mengenai jumlah korban yang sangat besar secara agregat. Kekerasan ini bersifat berkepanjangan dan tersebar (protracted and diffuse), berbeda dengan kekerasan di Gaza yang bersifat akut dan terkonsentrasi.
Pengakuan atas skala kekejaman ini tercermin dalam penilaian hukum tertentu. Misalnya, Genocide Watch sejak 2022 telah mengklasifikasikan konflik ini sebagai genosida terhadap warga Kristen yang dilakukan oleh jihadis etnis Fulani, sebuah klasifikasi yang seharusnya memicu respons global yang jauh lebih kuat.
Dampak Kemanusiaan Struktural dan Jangka Panjang
Konflik Nigeria bukan hanya krisis fatalitas; ini adalah ancaman eksistensial struktural yang memperburuk semua dimensi keamanan manusia.
Krisis Pengungsi Internal (IDP): Kekerasan telah memicu perpindahan massal yang ekstrem. Laporan menunjukkan sedikitnya 80.000 orang mengungsi di Negara Bagian Plateau saja dalam periode tiga bulan. Lebih dari 16.2 juta orang Kristen di Sub-Sahara Afrika, termasuk Nigeria, telah terpaksa meninggalkan rumah mereka. UNHCR mengidentifikasi Nigeria Timur Laut sebagai salah satu dari delapan konflik di Afrika yang telah menyebabkan kenaikan jumlah pengungsi internal global dalam lima tahun terakhir.
Kerawanan Pangan: Konflik berfungsi sebagai pendorong utama kerawanan pangan akut. Diperkirakan 12.8 juta hingga 25 juta orang Nigeria berisiko menghadapi kelaparan antara Juni dan Agustus 2023, jika tindakan mendesak tidak diambil. Kekerasan bersenjata (terutama oleh bandit dan farmer-herder) merusak lahan pertanian yang luas, mengurangi panen, dan mengganggu rantai pasokan pangan.
Jaringan kausalitas di Nigeria adalah: Kekerasan Pengungsian Massal
Kerusakan Agrikultur
Kerawanan Pangan/Kelaparan. Ini adalah krisis “lambat” (slow-onset crisis) yang beroperasi di luar siklus berita 24 jam. Kematian akibat kelaparan yang didorong oleh konflik dan kekurangan gizi, meskipun jumlahnya jauh lebih besar dalam jangka panjang, tidak menghasilkan dampak visual dan naratif yang sama kuatnya di media global dibandingkan dengan kematian akibat ledakan bom atau serangan militer intensitas tinggi di Gaza.
Konflik Gaza: Sentralitas Geopolitik dan Intensitas Tinggi
Konflik Israel-Palestina, khususnya di Gaza, menawarkan kontras yang mencolok dalam hal intensitas, konsentrasi geografis, dan resonansi politik global.
Konteks dan Intensitas Kekerasan Akut
Eskalasi besar terjadi setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1,200 warga Israel. Respons Israel segera diikuti oleh kampanye pengeboman intensif dan invasi darat. Konflik ini sangat terpusat di Jalur Gaza, sebuah wilayah kecil dan padat penduduk, sehingga setiap tindakan militer memiliki dampak fatalitas yang cepat dan masif.
Jumlah korban tewas Palestina di Gaza mencapai puluhan ribu dalam hitungan bulan; laporan menyebutkan lebih dari 32.000 (menurut Kementerian Kesehatan Gaza) hingga angka yang mendekati 57.800 jiwa. Tingkat fatalitas per satuan waktu (akut) ini jauh melampaui rata-rata bulanan yang tercatat di Nigeria.
3.2. Status Legal dan Tudingan Kejahatan Internasional
Disparitas kekuatan militer terlihat jelas dalam rasio korban, di mana jumlah korban jiwa Israel hanya sekitar 7% dari jumlah korban Palestina, yang menunjukkan dampak yang sangat parah pada populasi sipil di Gaza.
Isu legalitas dan akuntabilitas menjadi sentral. Organisasi hak asasi manusia terkemuka Israel, B’Tselem, menyatakan bahwa Israel telah bertindak secara terkoordinasi dan disengaja untuk menghancurkan masyarakat Palestina di Jalur Gaza, berpotensi melakukan genosida. Tuduhan genosida ini, yang berasal dari sumber domestik dan internasional, secara inheren menempatkan konflik ini pada prioritas tertinggi dalam agenda hukum dan politik global.
3.3. Sentralitas Media dan Narasi Global
Konflik Gaza segera menjadi berita utama di seluruh dunia, mencakup liputan yang luas dan intens di media tradisional dan sosial. Konflik ini melibatkan aktor negara (Israel) yang merupakan sekutu utama Amerika Serikat dan kekuatan Barat, menjadikannya isu yang terjalin erat dengan kebijakan luar negeri dan politik domestik di banyak negara maju.
Narasi konflik Gaza diperkuat oleh peran aktor non-negara (Hamas) yang diklasifikasikan sebagai “teroris” oleh banyak kekuatan Barat, menciptakan polarisasi yang sangat kuat dan menarik audiens. Sentralitas historis konflik Israel-Palestina dalam sejarah abad ke-20 memastikan bahwa konflik tersebut selalu disisipkan ke dalam agenda kebijakan luar negeri global, tidak peduli intensitasnya.
Perbandingan Kuantitatif, Dampak, dan Status Hukum
Disparitas dalam perhatian global dapat diringkas melalui perbandingan sifat fundamental kedua krisis ini, menyoroti perbedaan antara korban yang berkepanjangan dan kumulatif di Nigeria versus korban akut dan terkonsentrasi di Gaza.
Tabel 1. Perbandingan Data Kunci Konflik Nigeria dan Gaza
| Indikator | Konflik Nigeria (Kekerasan Komunal/Jihadis) | Konflik Gaza (Israel-Palestina) |
| Sifat Konflik | Kronis, Berkepanjangan, Tersebar (Multi-Aktor) | Akut, Intensitas Tinggi, Terkonsentrasi (Aktor Negara vs. Non-Negara) |
| Skala Korban Fatalitas | Puluhan ribu (Kumulatif, Multi-tahun, Klaim Open Doors) | Puluhan ribu (Terkon- sentrasi dalam hitungan bulan) |
| Jumlah IDP/Pengungsi Internal | Jutaan IDP, ancaman kelaparan didorong konflik | Jutaan (hampir seluruh populasi Gaza mengungsi) |
| Isu Utama Global | Keamanan Regional, Kontra-Terorisme, Pangan | Geopolitik Timur Tengah, Tuduhan Genosida, Hak Asasi Manusia |
Evaluasi Klaim Korban
Klaim bahwa korban di Nigeria lebih banyak hanya dapat dijustifikasi jika merujuk pada total akumulatif korban selama periode waktu yang panjang (misalnya, 2009 hingga sekarang). Kematian yang terjadi secara sporadis (30–100 orang per bulan selama bertahun-tahun di lokasi yang berbeda) tidak menghasilkan dampak kejut yang sama dengan 30.000 kematian dalam waktu enam bulan di satu wilayah geografis kecil seperti Gaza. Media cenderung memprioritaskan krisis intensitas tinggi yang menawarkan citra kehancuran yang instan dan mudah diukur. Efek naratif dari kematian massal yang cepat jauh lebih kuat daripada krisis “lambat” yang terus-menerus.
Diskrepansi Status Hukum Internasional (ICC-International Criminal Court)
Perbedaan dalam perhatian global diperkuat oleh diskrepansi dalam tindakan yudisial internasional:
Situasi Palestina: Mahkamah Pidana Internasional (ICC) secara resmi membuka investigasi atas Situasi di Palestina pada Maret 2021, dengan yurisdiksi yang mencakup Gaza. Ini menunjukkan pengakuan cepat atas statusnya sebagai konflik yang melibatkan potensi kejahatan yurisdiksi ICC tingkat tertinggi, dipicu oleh tekanan politik dan perhatian global.
Situasi Nigeria: ICC menyelesaikan pemeriksaan awal di Nigeria pada Desember 2020. Jaksa Penuntut menyimpulkan adanya dasar yang masuk akal untuk percaya bahwa kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan oleh Boko Haram dan, yang paling penting, oleh militer Nigeria. Namun, sejak keputusan tahun 2020 tersebut, Jaksa Penuntut belum meminta otorisasi yudisial untuk membuka investigasi penuh.
Penundaan investigasi penuh ICC di Nigeria mencerminkan adanya hierarki yurisdiksi global dan keengganan politik. Menyelidiki Nigeria berarti potensi destabilisasi internal dan mengganggu aliansi kontra-terorisme dengan militer Nigeria—yang merupakan mitra utama Barat dalam memerangi jihadisme di Afrika. Kekuatan global tampaknya memilih untuk mempertahankan hubungan pragmatis dengan Abuja, bahkan dengan mengorbankan akuntabilitas kejahatan massal yang sedang berlangsung, menjadikannya kasus yang dianggap “tidak strategis” untuk dikejar secara agresif.
Analisis Disparitas Liputan Media: Kerangka Teori “Hierarchy of Victims”
Disparitas perhatian ini paling baik dijelaskan melalui lensa teori Hierarchy of Victims (Hierarki Korban). Teori ini menjelaskan bahwa pengakuan sosial, media, dan dukungan kemanusiaan didistribusikan secara tidak setara berdasarkan kedekatan budaya, ras, dan geopolitik korban dengan audiens utama (Barat).
Definisi dan Aplikasi Hierarki Korban
Konsep Hierarchy of Victims menunjukkan bahwa hanya korban yang dianggap “ideal”—yang tidak bersalah secara politik, memiliki kesamaan rasial/budaya dengan audiens, dan mudah dipahami dalam narasi tunggal—yang menerima perhatian dan empati yang maksimal.
Nigeria dalam Hierarki: Korban kekerasan di Nigeria, baik Kristen maupun Muslim, tidak menerima pengakuan sosial dan internasional yang sebanding. Mereka sering diklasifikasikan sebagai “Korban Afrika,” yang terletak jauh dari pusat kepentingan geopolitik global. Konflik mereka sering dibingkai sebagai sengketa etnis yang kacau atau sebagai konflik sumber daya yang rumit, yang membuatnya kurang menarik untuk diliput.
Gaza dalam Hierarki: Meskipun Palestina juga merupakan non-Barat, sentralitas konflik Israel-Palestina dalam sejarah abad ke-20 dan keterlibatan langsung AS/Eropa menjamin status mereka sebagai korban yang sangat politis. Tingkat liputan yang tinggi memastikan visibilitas, meskipun liputan itu sendiri mungkin bias.
Tabel 2. Variabel Kunci yang Mempengaruhi Disparitas Liputan Media Global
| Variabel Penentu Fokus | Konflik Gaza (Israel-Palestina) | Konflik Nigeria (Kekerasan Komunal/Jihadis) |
| Keterlibatan Aktor Barat Langsung | Sangat Tinggi (Dukungan Militer/Politik AS dan Eropa) | Rendah (Hanya ke- pentingan Kontra- Terorisme/Minyak) |
| Framing Naratif Utama | Jelas (Perang/ Pendudukan/Genosida), Konflik Sejarah-Global | Kabur (Konflik Sumber Daya/Etnis/Kriminalitas) |
| Akses dan Kualitas Liputan Media | Sangat Tinggi (Jurnalisme Terpusat, Citra Intensif) | Rendah (Akses Sulit, Liputan Sporadis/ Regional) |
| Resonansi Budaya/Bias Rasial | Tinggi (Terhubung dgn politik domestik Barat: Anti-Semitisme/ Islamophobia) | Rendah (Dianggap “Masalah Afrika” yang jauh dan terisolasi) |
Bukti Bias dan Standar Ganda dalam Framing
Media arus utama, khususnya di Amerika Serikat, telah menunjukkan pola bias yang mendalam dalam liputan Gaza. Jurnal-jurnal akademis dan analisis media telah mencatat bahwa narasi Israel sering diprioritaskan, dan bahasa yang mengutuk (massacre, horrific) hampir secara eksklusif diterapkan pada korban Israel, sementara penderitaan sipil Palestina, termasuk korban anak-anak, sering diremehkan atau diabaikan dalam tajuk utama.
Secara lebih luas, literatur kritis menunjukkan adanya standar ganda rasial dalam kebijakan dan media Barat, di mana nilai kehidupan Palestina (dan Afrika) diremehkan di mata publik global dibandingkan dengan korban yang memiliki kedekatan budaya, seperti pengungsi Ukraina.
Bagi Nigeria, kekerasan yang konstan selama bertahun-tahun telah menjadi semacam “normalitas” bagi pengamat global. Konflik ini telah menjadi tragedi yang terlalu lama terjadi, sehingga tidak lagi memenuhi ambang batas novelty atau kejutan yang diperlukan untuk menjamin liputan global yang berkelanjutan. Media menganggap kekerasan kronis ini sebagai background noise (kekerasan kronis), sementara konflik Gaza adalah peristiwa diskret dan dramatis (kekerasan akut).
Faktor Geopolitik, Strategis, dan Historis
Alasan paling mendasar untuk disparitas ini terletak pada perbedaan sentralitas geopolitik kedua wilayah tersebut bagi kekuatan Barat.
Sentralitas Konflik Israel-Palestina
Konflik Israel-Palestina bukanlah sekadar perang, melainkan konflik ideologis yang mengakar dalam sejarah abad ke-20 (Perang Dingin, Dekolonisasi) dan tetap menjadi titik sentral bagi hubungan Timur-Barat. Keterlibatan Amerika Serikat, melalui dukungan militer dan politik yang signifikan terhadap Israel, memastikan bahwa konflik ini akan selalu menjadi topik hangat dan prioritas di Dewan Keamanan PBB dan forum internasional.
Konflik ini memicu polarisasi di masyarakat Barat dan global, yang berkontribusi pada liputan media yang tak tertahankan. Tragedi ini menjadi isu yang harus ditanggapi oleh para pemimpin global, terlepas dari bias mereka.
Kepentingan Strategis di Nigeria
Kepentingan Barat di Nigeria bersifat pragmatis dan strategis, berfokus pada stabilitas kawasan dan akses sumber daya. Nigeria adalah produsen minyak penting bagi perusahaan multinasional. Namun, kepentingan utama Barat adalah memastikan stabilitas militer untuk kontra-terorisme, terutama dalam melawan Boko Haram/ISWAP.
Kepentingan strategis ini menciptakan insentif untuk menghindari sorotan publik yang intens terhadap kejahatan kemanusiaan yang sedang berlangsung. Jika fokus media dan ICC bergeser kuat ke Nigeria, hal itu dapat memaksa intervensi politik atau sanksi yang berpotensi melemahkan pemerintah Nigeria. Karena Nigeria dianggap sebagai penyangga penting melawan penyebaran jihadisme di Afrika Barat, kekuatan global memilih untuk mempertahankan hubungan yang pragmatis dengan Abuja. Di Nigeria, geopolitik justru menghalangi perhatian global dan akuntabilitas; di Gaza, geopolitik memaksa perhatian global.
Kesimpulan: Sintesis Disparitas dan Implikasi Etis
Disparitas perhatian global antara kekerasan masif terhadap warga Kristen (dan komunitas lain) di Nigeria dan tragedi kemanusiaan di Gaza bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari konvergensi struktural yang mendalam.
Alasan mengapa dunia seolah menutup mata terhadap Nigeria, meskipun terdapat klaim yang kredibel tentang jumlah korban kumulatif yang sangat besar, dapat disintesis dari tiga faktor utama:
- Sifat Konflik: Konflik di Nigeria adalah krisis kronis, kompleks, dan tersebar yang sulit dipertahankan dalam siklus berita 24 jam. Sebaliknya, Gaza adalah krisis akut dan terkonsentrasi yang menghasilkan citra dramatis dan fatalitas dalam waktu singkat.
- Geopolitik dan Aliansi: Konflik Gaza melibatkan negara-negara yang secara langsung terjalin dengan kepentingan historis dan aliansi militer kekuatan Barat (khususnya AS dan Eropa), menjadikannya isu domestik di panggung internasional. Kepentingan strategis di Nigeria, yang berfokus pada stabilitas dan kontra-terorisme, justru memicu keengganan untuk menekan akuntabilitas melalui jalur hukum internasional (seperti yang ditunjukkan oleh stagnasi penyelidikan ICC).
- Hierarchy of Victims: Terdapat bias inheren dalam liputan media yang mengistimewakan penderitaan berdasarkan kedekatan rasial dan politik. Korban di Nigeria sering terpinggirkan, tidak dianggap sebagai “korban ideal” yang dapat diserap oleh narasi Barat dengan mudah.
Disparitas ini menyoroti perlunya menantang Hierarchy of Victims yang tersemat dalam kebijakan global dan pelaporan media. Penderitaan dan kejahatan terhadap kemanusiaan harus diukur berdasarkan skala kemanusiaan universal, bukan berdasarkan kedekatan geopolitik atau daya tarik naratif. Komunitas internasional memiliki tanggung jawab etis untuk mendesak akuntabilitas dan intervensi kemanusiaan penuh terhadap krisis struktural di Nigeria, termasuk dengan mengatasi stagnasi penyelidikan ICC untuk memastikan keadilan bagi semua korban, terlepas dari di mana lokasi tragedi itu terjadi.