Kisah perjalanan Jacob Sihasale, salah satu legenda sepak bola Indonesia, dimulai dari tanah kelahirannya yang kaya akan sejarah dan semangat olahraga, yakni Ambon. Ia lahir pada 16 April 1944 di masa Hindia Belanda, sebuah periode di mana sepak bola mulai menyebar ke seluruh penjuru Nusantara sebagai bentuk hiburan dan identitas daerah.
Jacob memulai karier senior-nya bersama PSA Ambon pada sekitar tahun 1958 hingga 1960. Durasi dua tahun tersebut merupakan masa pemantapan di level regional. Bermain untuk klub asal provinsi tempat lahirnya, Sihasale memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan permainan kompetitif tingkat tinggi sebelum pindah ke kancah nasional. Selama kurun waktu ini, ia mampu menunjukkan potensi luar biasa yang dimilikinya, terutama dalam hal kecepatan dan insting gol yang tajam. Masa-masa di PSA merupakan langkah awal yang fundamental, membentuk dasar teknik, taktik, dan mentalitas yang akan dia bawa ke klub-klub besar di kemudian hari. Prestasi tim selama masa Sihasale bermain di PSA tidak disebutkan secara eksplisit, namun pentingnya peran dirinya sebagai pemain muda berbakat sudah cukup untuk membuat klub lain meliriknya.
Pada tahun 1961, ketika masih berusia muda, Jacob Sihasale melakukan langkah besar dengan hijrah ke Surabaya untuk bergabung dengan Assyabaab, salah satu klub elite pada masanya. Ia akan bertahan di klub Surabaya itu selama enam musim, dari tahun 1961 hingga 1966. Surabaya pada era itu adalah pusat sepak bola nasional yang haus akan talenta-talenta baru. Bergabung dengan Assyabaab bukan hanya berarti meninggalkan kota kelahirannya, tetapi juga memasuki arena persaingan yang jauh lebih sengit. Di sini, Sihasale tidak hanya sekadar berlatih, tetapi harus bersaing untuk mendapatkan tempat utama di skuad. Keberhasilannya mempertahankan posisinya di lini depan Assyabaab selama enam tahun menunjukkan bahwa bakat dan kerja kerasnya telah mencapai tingkat profesional yang matang. Meskipun statistik golnya selama di Assyabaab tidak disebutkan secara rinci, pengalaman berharga yang didapatnya di Surabaya tentunya sangat berkontribusi terhadap perkembangan karier internasionalnya nanti, termasuk debutnya di timnas Indonesia. Perpindahan dari klub Amatir Ambon ke klub profesional di Surabaya merupakan transisi kunci dalam perjalanan panjang seorang Jacob Sihasale, si legenda.
Kontribusi Signifikan di Level Klub: Dari PSMS Medan hingga Persebaya Surabaya
Setelah enam tahun di Assyabaab Surabaya, karier Jacob Sihasale menuju puncaknya saat ia pindah ke Medan pada tahun 1967 untuk memperkuat PSAD Kodam IX, sebuah klub militer yang berbasis di ibu kota Sumatera Utara. Meskipun durasi keterlibatannya di PSAD cukup singkat, hanya dua tahun hingga 1969, periode ini menjadi jembatan emas menuju kebesaran. Tepat pada tahun 1969, Sihasale bergabung dengan PSMS Medan, klub sepak bola profesional Indonesia yang sedang berada di puncak kejayaannya. Bergabungnya Sihasale ke PSMS Medan terjadi tepat pada waktunya untuk menjadi bagian dari skuad juara Perserikatan 1969, turnamen tertinggi sepak bola Indonesia pada masa itu.
Kontribusi Sihasale terhadap gelar juara PSMS sangat signifikan. Sebagai penyerang, ia menjadi ujung tombak yang efektif dalam serangan tim, yang dikenal karena produktivitas golnya. Skuad juara 1969, sering disebut-sebut sebagai ‘The Dream Team Indonesia’, dipenuhi oleh para pemain hebat. Namun, keberadaan Sihasale menambah kedalaman dan ancaman serangan. Prestasi gemilang PSMS di final Perserikantan 1969 mencatatkan 29 gol dicetak oleh tim dalam tujuh pertandingan babak final, sementara hanya kebobolan dua gol. Meskipun tidak ada data spesifik tentang jumlah gol Sihasale dalam fase playoff tersebut, fakta bahwa dia adalah bagian dari skuad yang mencetak rekor tersebut menunjukkan peran pentingnya. Setelah masa di PSMS, Sihasale sempat memperkuat Pardedetex Medan pada tahun 1969–1970 sebelum akhirnya kembali ke Surabaya. Periode di Pardedetex, bersamaan dengan beberapa rekan ‘Kuartet Tercepat Asia’ seperti Iswadi Idris dan Abdul Kadir, membuktikan bahwa reputasinya sebagai pemain top sudah melampaui batas regional.
Langkah terakhir dalam perjalanan karier klub Sihasale adalah kepindahannya ke Persebaya Surabaya pada tahun 1970, di mana ia akan bertahan hingga pensiun pada 1975. Memilih Persebaya, klub rival langsung Assyabaab, adalah langkah yang strategis dan menegaskan statusnya sebagai pemain elit. Di Persebaya, Sihasale segera menjadi andalan di lini depan, menggunakan nomor punggung 9. Dia membawa pengalaman juara dan gaya permainan cepat yang dia pelajari sebelumnya. Sayangnya, informasi detail tentang semua trofi yang dia raih bersama Persebaya tidak tersedia. Namun, catatan prestasi tim Persebaya pada paruh kedua 1970-an memberi gambaran tentang tingkat kompetisi yang diikuti. Persebaya berhasil menjadi runner-up Perserikatan pada tahun 1971 dan 1973, finis di bawah PSMS Medan dan Persija Jakarta masing-masing. Selain itu, mereka juga meraih gelar juara Surya Cup pada tahun 1975. Meskipun tidak menjadi juara umum, torehan prestasi ini menunjukkan bahwa Persebaya dengan didikan Sihasale dan rekan-rekan setimnya tetap menjadi salah satu kekuatan besar di Indonesia. Kehadiran Sihasale di lini depan tentu saja menjadi faktor kunci dalam kesuksesan tersebut. Pada akhirnya, cedera serius yang dialaminya saat bermain melawan Ascot dari Australia pada akhir 1975 memaksanya gantung sepatu pada 1 Juli 1975. Secara keseluruhan, kontribusi Sihasale di level klub adalah contoh nyata pemain yang mampu sukses di berbagai klub elite, meninggalkan jejak prestasi yang patut diacungi jempol.

Dominasi Internasional dan Rekor Tim Nasional Indonesia
Karier Jacob Sihasale di tingkat internasional adalah cerminan dari puncak kejayaan sepak bola Indonesia pada era 1960-an dan 1970-an. Ia menjadi bagian integral dari timnas Garuda yang dominan pada masa itu, dan catatannya bersama PSSI merupakan bukti nyata kontribusinya. Sihasale memperkuat tim nasional Indonesia selama delapan tahun, dari tahun 1966 hingga 1974. Debutnya untuk negara dilakukan pada 10 Desember 1966, ketika dirinya berusia 22 tahun 7 bulan 25 hari. Total, ia tampil sebanyak 70 kali (caps) dan mencetak 23 gol. Angka-angka ini menjadikannya pemain dengan caps kelima terbanyak sepanjang masa untuk tim nasional Indonesia, serta pemain dengan gol kedelapan terbanyak sepanjang masa. Rasio golnya sebesar 0,33 per pertandingan menunjukkan bahwa dia adalah penyerang yang efisien dan konsisten.
Prestasi kolektif tim nasional Indonesia pada masa Sihasale bermain sangatlah spektakuler. Dia adalah bagian dari era di mana Indonesia sering kali menjadi favorit di kancah Asia. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah saat menjadi bagian dari tim yang memenangi King’s Cup Thailand pada tahun 1968. Turnamen ini merupakan salah satu ajang internasional bergengsi di Asia. Selain itu, dia turut menyumbang medali emas SEA Games 1973, meskipun detail pertandingannya tidak disebutkan. Tidak hanya itu, dia juga berpartisipasi dalam AFC Youth Championship 1961 bersama timnas U-19 Indonesia, menandakan bahwa bakatnya sudah diakui sejak usia muda.
Salah satu momen paling ikonik dalam karier internasional Sihasale adalah pertandingan melawan Uruguay pada 19 April 1974. Indonesia, yang sebelumnya kalah 2-3 dari Uruguay pada 17 April 1974, bermain ulang dua hari kemudian. Dalam pertandingan ulang tersebut, Indonesia berhasil menang 2-1 berkat gol-gol dari Syamsuddin dan Mochtar Lubis, dengan Sihasale menjadi bagian dari skuad yang menorehkan kemenangan luar biasa tersebut. Ini adalah salah satu kisah heroik dalam sejarah sepak bola Indonesia. Selain itu, momen tak terlupakan lainnya adalah laga melawan Santos FC besutan Pele pada 21 Juni 1972. Meskipun Indonesia kalah 2-3, pertandingan tersebut dihadiri sekitar 75.000 penonton. Lebih dari itu, Sihasale melakukan pertukaran jersey dengan Pele sendiri setelah pertandingan, sebuah simbol penghargaan antar sesama pemain hebat di panggung dunia. Semua prestasi ini tidak hanya memperkaya catatan individu Sihasale, tetapi juga membantu membangun warisan positif bagi sepak bola Indonesia di mata dunia.

“Kuartet Tercepat Asia” dan Sinergi Emas dengan Rekan Setim
Nama Jacob Sihasale tidak akan lengkap jika disebut tanpa menyebut trio mitralnya: Sutjipto Suntoro, Iswadi Idris, dan Abdul Kadir. Mereka bersama-sama membentuk apa yang dijuluki “Kuartet Tercepat Asia” atau “Asian All Stars” oleh Asian Football Confederation (AFC) pada tahun 1968. Julukan ini bukan hanya sebuah propaganda, tetapi merupakan pengakuan nyata akan kehebatan mereka sebagai pasukan sayap yang sulit dihentikan. Mereka adalah manifestasi dari kecepatan, kelincahan, dan kematangan taktis yang jarang dimiliki oleh pasangan pemain sayap pada masanya. Keberadaan Sihasale di tengah garis depan sebagai penyerang sentral adalah titik temu sempurna bagi kombinasi serangan cepat yang mereka bangun.
Sinergi antara mereka berempat adalah hasil dari bermain bersama di berbagai klub elite pada masa itu. Hubungan yang paling erat dibangun saat mereka semua membela PSMS Medan, klub yang dijuluki ‘The Dream Team Indonesia’ pada tahun 1969/1970. Di samping Sihasale, skuad PSMS juga diperkuat oleh para legenda seperti Abdul Kadir, Iswadi Idris, Soetjipto Soentoro, dan Tumsila. Keterlibatan Sihasale di PSMS selama periode 1969 hingga 1971 membuatnya menjadi bagian integral dari dinamika serangan tim. Bahkan, setelah pindah ke klub lain, hubungan mereka tetap kuat. Mereka juga pernah bermain bersama di Pardedetex Medan pada periode 1968–1971, sebuah fakta yang menegaskan bahwa kolaborasi mereka adalah pilihan strategis daripada sekadar kebetulan.
Analisis taktis dari cara mereka bekerja sama menunjukkan sebuah pola serangan yang sangat efisien. Abdul Kadir, dengan kecepatan dan visinya yang luar biasa, sering kali menjadi motor serangan dari sayap kanan. Ketika dia mendapat bola, dia tidak akan mengejar garis samping, melainkan akan melakukan iris-an (cross) ke tengah lapangan. Pada saat itulah sinergi mereka beraksi. Jacob Sihasale, yang berposisi sebagai penyerang tengah, akan melakukan gerakan “offside trap” palsu, bergerak ke tengah untuk menerima bola hasil wall pass dari rekannya, sebelum seketika berbalik arah dan melepaskan tendangan keras ke gawang lawan. Gerakan ini hampir tidak pernah bisa diantisipasi oleh bek-bek lawan. Sutjipto Suntoro dan Iswadi Idris, sebagai sayap kiri dan kanan, akan saling melengkapi dengan aksi individual mereka, menciptakan ruang dan opsi passing yang lebar. Kombinasi ini menciptakan ancaman ganda: serangan sayap yang mematikan dan penyelesaian akhir yang berbahaya di kotak penalti. Kemenangan telak 9-1 atas Vietnam Selatan pada 3 Mei 1971 adalah bukti konkret dari efektivitas serangan mereka, di mana Iswadi Idris mencetak 4 gol dan Abdul Kadir mencetak 2 gol, sementara Sihasale berdiri di tengah sebagai target man yang selalu siap untuk mencegat bola-bola silang.
Julukan “Kuartet Tercepat Asia” bukan hanya soal kecepatan fisik, tetapi juga kecepatan dalam membaca situasi di lapangan. Mereka bisa bermain dalam tempo tinggi sepanjang pertandingan tanpa kehilangan kontrol bola. Mereka adalah contoh sempurna bagaimana kekompakan tim dapat menciptakan keunggulan di atas kelebihan individu. Warisan mereka tidak hanya dalam bentuk trofi dan rekor, tetapi juga dalam filosofi permainan sepak bola cepat dan atraktif yang mereka perkenalkan kepada Asia. Mereka menunjukkan bahwa Indonesia, sebuah negara kepulauan dengan populasi besar, mampu melahirkan generasi pemain yang tidak hanya tangguh secara fisik, tetapi juga cerdas secara taktis. Karya seni taktis yang mereka ciptakan di lapangan hijau tetap menjadi inspirasi bagi generasi pemain sepak bola Indonesia hingga hari ini.
Legenda Lapangan Hijau: Bakat, Julukan, dan Warisan Tak Tertandingi
Jacob Sihasale bukan hanya seorang pemain sepak bola, tetapi sosok yang telah menjadi legenda hidup dalam sejarah olahraga Indonesia. Warisannya abadi, bukan hanya karena statistik karier yang memukau, tetapi karena bakat istimewa dan karakter yang ditampilkan di lapangan hijau. Salah satu julukan paling populer yang melekat padanya adalah “Si Kepala Emas”. Julukan ini bukanlah basa-basi, melainkan refleksi dari kemampuan superlatifnya dalam memanfaatkan bola di udara. Dengan tinggi badan 1,69 meter, dia tidak memiliki kelebihan fisik untuk bersaing di udara. Namun, dia mampu mencetak gol melalui sundulan dengan rasio 90% menjadi gol. Kemampuan ini membuatnya menjadi ancaman serius dari sepak pojok dan tendangan sudut. Satu contoh nyata adalah gol sundulannya ke gawang tim nasional Malaysia, yang menaklukkan ketangkasan para bek tangguh seperti Santok Singh dan Soh Chin Aun, serta kiper Arumugam. Bakat alamiahnya ini membuatnya menjadi penyelesai serangan yang berbahaya dan sulit diantisipasi.
Namun, warisannya tidak hanya terbatas pada bakat di lapangan. Ada sebuah kutipan dari Pele, legenda sepak bola Brasil, yang menambahkan nilai historis pada kiprah Sihasale: “Dia terlalu hebat untuk bermain di Indonesia; dia seharusnya bermain di klub-klub besar luar negeri”. Kutipan ini, meskipun subjektif, mencerminkan persepsi global tentang kualitas Sihasale pada masanya. Pele, sebagai salah satu pemain terbaik sepanjang masa, memberikan pengakuan bahwa Sihasale memiliki kualitas yang layak berkompetisi di Eropa atau Amerika Latin, bukan hanya di Asia. Hal ini menempatkan Sihasale dalam kategori pemain yang sangat istimewa, yang mungkin terhalang oleh sistem sepak bola Indonesia pada era itu yang belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam pasar transfer global. Pada malam 21 Juni 1972, di Stadion Utama Senayan, Sihasale menunjukkan keanggunan dan sikap senior yang patut dihormati. Saat timnas Indonesia bersiap bertukar jersey dengan para pemain Santos setelah pertandingan, dia menghalangi rekan satu timnya, Risdianto, untuk menyerahkan jersey miliknya kepada Pele. Dengan tenang, dia menyatakan bahwa sebagai pemain senior, hak untuk bertukar jersey dengan Pele adalah miliknya. Adegan sederhana ini menggambarkan integritas, sportivitas, dan rasa percaya diri tinggi yang dimiliki Sihasale sebagai seorang pemimpin dan pemain terhormat.

Sebagai seorang legenda, warisannya tetap hidup di benak para penggemar, terutama suporter Persebaya, Bonek, yang menjulukinya sebagai ikon sepak bola yang dihormati. Jejaknya di lapangan, terutama dalam momen-momen krusial seperti kemenangan 8-0 atas Sri Lanka di Jakarta Anniversary Tournament 1972 di mana dia mencetak hattrick, dan kemenangan telak 7-0 atas Jepang di Merdeka Tournament 1968, akan selamanya diingat. Setelah pensiun, dia melanjutkan pengabdiannya kepada sepak bola dengan menjadi manajer. Dia berhasil membawa Yanita Utama memenangkan Galatama (Divisi Utama) pada musim 1983–84, satu tahun sebelum kematiannya. Meskipun wafatnya pada 7 Juli 1983 di usia 39 tahun, warisannya sebagai salah satu penyerang terhebat sepanjang masa Indonesia tetap utuh. Dia adalah simbol era keemasan sepak bola Indonesia, sosok yang membawa harum nama bangsa, dan teladan bagi semua pecinta sepak bola di negeri ini.