Menggugat Teologi Tanah Suci: Suara Profetik dari Gary Burge

Share:

Jesus and the Land: The New Testament Challenge to “Holy Land” Theology karya Gary Burge menawarkan perspektif teologis yang segar dan kritis terhadap pemahaman tradisional tentang Tanah Suci, dengan fokus pada bagaimana Perjanjian Baru membentuk ulang konsep tanah dalam terang iman Kristen. Meskipun tidak semua pembaca setuju dengan kesimpulan Burge, buku ini tetap menjadi kontribusi penting dalam diskusi teologi dan politik kontemporer.

Buku ini tidak hanya membuka percakapan yang dalam, tetapi juga menggugah nurani tentang bagaimana seharusnya orang Kristen memahami tanah yang kerap disebut “suci” itu. Gary Burge menawarkan bukan sekadar kajian biblika, melainkan juga kritik tajam terhadap teologi yang secara otomatis mengaitkan tanah Israel modern dengan janji Tuhan dalam Alkitab.

Mengenal Penulis dan Bukunya

Gary Burge adalah profesor Perjanjian Baru di Wheaton College Graduate School. Dia paling dikenal karena karyanya tentang Injil Keempat; Yohanes (2000); dan Yohanes: Injil Kehidupan (2008). Selain buku ini, ia telah menulis Who Are God’s People in the Middle East? (1993) dan Whose Land? Whose Promise? (2003), yang semuanya menyoroti isu tanah dalam konteks Alkitab dan konflik Israel-Palestina.

Dalam Jesus and the Land, Burge berargumen bahwa Perjanjian Baru tidak mendukung klaim teritorial atas tanah Israel secara mutlak. Sebaliknya, ia melihat Yesus sebagai “pengganti” atau pemenuhan janji-janji tanah dari Perjanjian Lama.

Gary M. Burge bukanlah orang asing di dunia teologi. Selain buku ini, ia telah menulis Who Are God’s People in the Middle East? (1993) dan Whose Land? Whose Promise? (2003), yang semuanya menyoroti isu tanah dalam konteks Alkitab dan konflik Israel-Palestina. Dalam Jesus and the Land, Burge berargumen bahwa Perjanjian Baru tidak mendukung klaim teritorial atas tanah Israel secara mutlak. Sebaliknya, ia melihat Yesus sebagai “pengganti” atau pemenuhan janji-janji tanah dari Perjanjian Lama.

Burge dikenal luas sebagai akademisi yang berani menantang konsensus teologi arus utama di kalangan Evangelikal. Ia bukan hanya pakar Perjanjian Baru, tetapi juga seorang pengamat kritis konflik Israel-Palestina. Beberapa karya sebelumnya seperti Whose Land? Whose Promise? dan Who Are God’s People in the Middle East? memperlihatkan keberpihakannya pada keadilan dan kemanusiaan dalam konflik panjang tersebut.

Dalam pengantarnya, Gary Burge mengilustrasikan betapa luasnya ikatan emosional di antara umat manusia terhadap tanah, menyiapkan fakta bahwa baik Yahudi maupun mereka yang berasal dari keturunan Arab tinggal di tanah yang dikenal secara geografis sebagai Palestina. Dia menutup dengan menyatakan bahwa dia lebih suka “istilah inklusif, Israel-Palestina” daripada “Tanah yang Dijanjikan” atau “Tanah Suci”.

Bab 1: The Biblical Theology of Land (hal. 1-14)

  • Peninjauan tentang bagaimana tanah dipahami dalam Perjanjian Lama sebagai bagian dari janji Allah kepada Abraham.
  • Ia menunjukkan bahwa tanah adalah simbol berkat dan identitas, tetapi juga bersifat kondisional tergantung pada ketaatan umat.

Bab 2: Intertestamental Perspectives (hal. 15-24)

  • Di masa antara Perjanjian Lama dan Baru, tanah tetap penting secara nasional dan religius, tetapi mulai muncul pemikiran spiritual tentang tempat tinggal Allah.

Bab 3: Jesus and the Land (hal. 25-42)

  • Sorotan bahwa Yesus tidak menekankan tanah sebagai pusat misi-Nya.
  • Dalam pengajaran-Nya, seperti di Matius 5:5 (“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi”), penulis menafsirkan bahwa warisan tanah bukanlah klaim politik, melainkan janji eskatologis bagi umat Allah.

Bab 4: The Fourth Gospel and the Land (hal. 43–57)

  • Sebagai pakar Injil Yohanes, Gary Burge menunjukkan bahwa Yesus diposisikan sebagai “tempat suci” yang baru.
  • Contoh 👉 dalam Yohanes 4, percakapan dengan perempuan Samaria menunjukkan bahwa penyembahan tidak lagi terikat pada lokasi geografis, melainkan dalam roh dan kebenaran.

Bab 5: The Early Church and the Land (hal. 58–72)

  • Gereja mula-mula tidak melanjutkan klaim atas tanah secara literal.
  • Fokus bergeser ke komunitas iman yang tersebar dan misi global, bukan pemusatan geografis.

Bab 6: The Epistles and the Land (hal. 73–94)

  • Penelusuran tentang bagaimana surat-surat dalam Perjanjian Baru (terutama Paulus) memperlakukan konsep tanah.
  • Paulus tidak pernah menekankan tanah sebagai bagian dari warisan umat Allah.
  • Warisan yang dijanjikan kepada orang percaya adalah spiritual dan eskatologis, bukan geografis.
  • Dalam Galatia 3 👉 Paulus menyatakan bahwa janji kepada Abraham kini digenapi dalam Kristus, dan tidak lagi terikat pada tanah literal.
  • Implikasi teologisnya, Gereja sebagai tubuh Kristus menjadi “Israel baru” yang tidak terikat pada lokasi fisik, melainkan pada relasi dengan Allah.

Bab 7: The Book of Revelation and the Land (hal. 95–109)

  • Bahasan tentang bagaimana Wahyu memandang tanah dan Yerusalem.
  • Wahyu tidak mengembalikan fokus pada tanah Israel, melainkan memperkenalkan Yerusalem surgawi sebagai pusat harapan umat Allah.
  • Tanah dalam Wahyu bersifat simbolis dan eskatologis, bukan politis atau geografis.
  • Yerusalem baru adalah tempat kediaman Allah bersama umat-Nya, melampaui batas-batas etnis dan nasional.
  • Pesan utama:nya, harapan Kristen bukanlah pemulihan tanah fisik, tetapi penggenapan kerajaan Allah secara universal.

Bab 8: Conclusion: Rethinking the Land (hal. 110–131)

  • Rangkuman argumen dan mengajak pembaca untuk merefleksikan ulang teologi Tanah Suci.
  • Perjanjian Baru secara konsisten menggeser fokus dari tanah ke komunitas iman dan kehadiran Allah.
  • Dukungan teologis terhadap klaim tanah oleh negara modern harus dikaji ulang dalam terang ajaran Yesus dan para rasul.
  • Burge menekankan pentingnya membedakan antara teologi dan politik, serta menghindari pencampuran yang bisa merusak kesaksian gereja.
  • Ajakan reflektif 👉 Gereja masa kini dipanggil untuk menjadi komunitas yang inklusif, transnasional, dan berpusat pada Kristus, bukan pada klaim geografis.

Memahami Tanah dari Perspektif Baru

Berge menyatakan bahwa orang Kristen harus mengkritisi secara serius klaim teologis yang mengidentikkan tanah Israel modern dengan “Tanah Perjanjian” dalam Alkitab. Menurutnya, banyak dari klaim tersebut adalah hasil pembacaan yang tidak utuh terhadap Perjanjian Baru.

Burge menyoroti bagaimana Yesus sendiri dalam Injil-injil Sinoptik dan Injil Yohanes tidak menaruh perhatian pada politik teritorial. Bahkan dalam Yohanes 4, Yesus menyatakan bahwa penyembahan tidak lagi terkait dengan lokasi tertentu—baik Yerusalem maupun gunung mana pun—melainkan dalam roh dan kebenaran. Dengan kata lain, Yesus memindahkan makna kesucian dari tempat ke pribadi dan komunitas yang hidup dalam kehendak Allah.

Penafsiran ini diperkuat dalam Yohanes 15 ketika Yesus berkata, “Akulah pokok anggur yang benar.” Di sini, simbol-simbol yang sebelumnya merujuk pada tanah Israel dan bangsa Yahudi digantikan oleh Kristus sendiri. Menurut Burge, tanah tidak lagi menjadi pusat iman umat Allah. Kekudusan tidak terikat ruang, tetapi terikat pada hubungan dengan Kristus.

Antara Koreksi dan Keseimbangan

Burge menyadari bahwa pendekatannya adalah suara minoritas, terutama di kalangan Evangelikal yang kerap mendukung negara Israel secara teologis dan politis. Namun, ia tidak gentar. Baginya, Perjanjian Baru menawarkan pandangan yang lebih luas—di mana kerajaan Allah melampaui batas-batas geografis, dan di mana umat Allah tidak ditentukan oleh tempat, tetapi oleh kasih karunia dan ketaatan.

Pendekatan Burge sejalan dengan tradisi teologis Gereja Katolik dan Ortodoks yang cenderung memaknai tanah secara spiritual, bukan literal. Bahkan, Gereja-Gereja Timur di Timur Tengah telah lama menekankan bahwa Kristus adalah Tanah Perjanjian sejati. Namun demikian, saya juga mengajukan catatan kritis: pendekatan Burge, khususnya dalam menggunakan Injil Yohanes sebagai landasan utama, dapat berisiko mengabaikan kekayaan keragaman suara dalam Perjanjian Baru dan potensi bahaya anti-Yudaisme yang pernah menyertai penafsiran tradisional Injil tersebut.

Mengapa Buku Ini Penting Hari Ini

Burge tidak sekadar berbicara tentang tanah, tetapi tentang keadilan. Ia mengingatkan kita bahwa setiap bentuk teologi yang mendukung penindasan atas nama janji ilahi harus ditinjau ulang secara serius. Buku ini menjadi ajakan profetik untuk meninjau kembali bagaimana iman Kristen seharusnya berperan dalam konflik Israel-Palestina.

Bagi siapa pun yang berani menggali lebih dalam makna spiritual dari “Tanah Suci,” dan bagi mereka yang rindu melihat iman bekerja untuk perdamaian dan rekonsiliasi, Jesus and the Land adalah bacaan wajib. Ia tidak menawarkan jawaban instan, tetapi membuka ruang refleksi, koreksi, dan, semoga, transformasi.

Penutup: Tanah di Hati, Bukan di Peta

Akhirnya, pesan utama Gary Burge sederhana namun radikal: tanah yang sesungguhnya bukan lagi sebidang wilayah yang bisa diperebutkan, tetapi adalah kehidupan bersama dalam Kristus. Jika kita memahami hal ini, maka “Tanah Suci” bukanlah tempat yang harus diduduki, tetapi sikap hati yang harus diwujudkan—di mana pun kita berada.


error: Content is protected !!